tirto.id - Pemerintah Malaysia mendeportasi 17.921 warga negara Indonesia (WNI)/ Pekerja Migran Indonesia - Bermasalah (PMI-B) yang telah menjalani hukuman. Warga Indonesia yang dideportasi terdiri atas 12.570 laki-laki dan 4.956 perempuan serta 213 anak lelaki dan 182 anak perempuan.
Kepala Penerangan dan Sosbud Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Johor Bahru Dewi Lestari mengungkapkan jumlah warga yang dideportasi pada tahun 2016 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015.
"Jumlah yang dideportasi tahun 2016 mengalami peningkatan sebanyak 1,33 persen dibandingkan 2015 yang berjumlah 17.682 orang," kata Dewi Lestari di Johor Bahru, Rabu, (18/1/2017) seperti dikutip dari Antara.
Dewi menjelaskan WNI yang dideportasi dari Malaysia pada umumnya melanggar aturan keimigrasian, seperti datang secara ilegal, melampaui izin tinggal atau tidak memiliki izin kerja.
Selain itu ada 39 orang yang terjerat pidana. Mereka berasal dari Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Aceh dan Sumatera Utara.
"Dalam deportasi tersebut, KJRI Johor Bahru telah melakukan proses identifikasi, pengecekan kewarganegaraan dan mempersiapkan kelengkapan dokumen SPRI/SPLP bagi WNI/BMI-B yang dideportasi," kata Dewi.
Sejak 1 Juli 2007, KJRI Johor Bahru menjadi koordinator pemulangan WNI dari seluruh wilayah Semenanjung Malaysia.
"Pendeportasian WNI dilakukan dengan kapal laut dari Pelabuhan Pasir Gudang menuju Tanjung Pinang dimana WNI tersebut untuk sementara ditampung pada Dinas Sosial Tanjung Pinang," katanya.
Dari Dinas Sosial Tanjung Pinang mereka diberangkatkan menuju Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya atau langsung menuju ke wilayah asal mereka.
Selain itu pemerintah Malaysia juga menerapkan program pulang sukarela dalam menangani Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI).
"Dengan program ini PATI dapat pulang ke negaranya dengan membayar denda relatif lebih murah dan tidak menjalani hukuman, namun akan dimasukkan dalam blacklist (daftar hitam) larangan masuk ke Malaysia selama lima tahun," ujar Dewi.
Penulis: Mutaya Saroh
Editor: Mutaya Saroh