tirto.id - Pemprov DKI Jakarta akhirnya memberikan izin bagi 80 mal untuk beroperasi kembali secara terbatas pada hari ini, 15 Juni 2020. Pasar, pusat perbelanjaan dan mal dibuka secara bertahap pada pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menuju transisi new normal (kelaziman baru) hingga akhir Juni 2020.
Secara bersamaan, perkantoran dan sektor usaha retail lainnya juga akan dibuka dengan ketentuan pengunjung pasar dan mal hanya boleh diisi 50 persen.
Ketua Asosiasi Persatuan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat menjelaskan, dengan mal beroperasional kembali diharapkan perekonomian nasional bisa kembali bergerak.
“Semoga dengan akan dibukanya kembali pusat belanja di DKI akan turut serta memberikan kontribusi positif atas bergeraknya roda perekonomian nasional,” terang dia.
Upaya ini juga diharapkan bisa jadi penyelamat para tenaga kerja di sektor ini yang sudah banyak dirumahkan imbas tekanan ekonomi dari pandemi virus Corona dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah kota termasuk DKI Jakarta.
Mal Buka, Fasilitas Hiburan Masih Tutup
Namun, operasional mal tetap harus memenuhi protokol kesehatan dengan sejumlah pembatasan dan tidak semua gerai dibuka. Beberapa kategori layanan hiburan yang masih dikaji untuk dibuka kembali yakni bioskop, pusat kebugaran, karaoke dan permainan anak.
“Kategori yang belum akan buka pada 15 Juni dan sedang akan dipertimbangkan untuk buka di fase berikutnya adalah lebih ke arah leisure yaitu sinema, [tempat] fitness, karaoke, arena permainan anak dan tempat kursus anak,” ujarnya, (7/6/2020).
Sebab kapasitas pengunjung mal hanya dibatasi 50 persen, serta beberapa fasilitas belum beroperasi secara optimal. Jumlah karyawan pun pada pembukaan mal tahap I hanya akan dioperasionalkan 50 persen.
“Pengaruh kapasitas pengunjung 50 persen terhadap pendapatan para retailer secara linear berkurang. Demikian pula jumlah karyawan juga akan berkurang sekitar 50 persen pada tahap awal dibukanya pusat belanja,” paparnya.
Dibukannya kembali operasional mal membuat para pengusaha mendapat angin segar. Meski demikian, bukan berarti dampaknya akan dirasakan segera setelah mal dibuka.
Ketua umum APPBI Stefanus Ridwan memprediksi mal masih akan sepi hingga setahun mendatang. Masyarakat pasti masih khawatir ke pusat keramaian mengingat pandemi virus Corona belum usai.
"Mungkin kondisi seperti ini akan berjalan setahun, lalu merangkak naik pelan-pelan. Rasa was-was masih terasa. Kalau pun ke mal, mereka diprediksi hanya seperlunya lalu secepatnya kembali ke rumah," ujar Stefanus, Selasa (9/6/2020) lalu.
Selain itu, lanjut dia, faktor keuangan masyarakat yang belum membaik akibat terdampak COVID-19 juga turut mempengaruhi konsumen untuk mengurangi aktivitasnya ke pusat-pusat perbelanjaan.
Mal Dibuka Bisa Picu Gelombang Kedua COVID-19
Meski tak bisa dipungkiri ekonomi nasional harus kembali bergerak salah satunya lewat pembukaan pusat perbelanjaan dan mal, tetapi upaya ini bukan tanpa risiko.
Ketua Pusat Kajian Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Puskakes Uhamka) M Bigwanto menjelaskan kasus pasien positif pada pekan kedua Juni lalu mencapai angka tertinggi di atas 1.000 orang. Jika mal yang bisa menjadi pusat keramaian dibuka lagi 15 Juni maka bisa meningkatkan risiko klaster baru COVID-19.
“Klaster pasar sekarang sudah mulai bermunculan. Pasar tradisional yang cenderung padat dan minim pengawasan lebih berisiko dibanding mal, meskipun tidak ada jaminan mal akan aman. Kecuali pengawasan dan disiplin masyarakat benar-benar terjadi, tapi jelas itu sulit dilakukan,” katanya pada Tirto, Kamis (11/6/2020).
Alih-alih menggerakkan ekonomi, risiko lonjakan kasus baru penularan virus Corona malah bisa terjadi dan pemerintah malah gagal mencapai tujuan membangkitkan ekonomi lewat kelaziman baru atau new normal.
“Kalau mal dan pasar dibuka, kita akan balik lagi ke posisi awal. Jadi 3 bulan PSBB sia-sia,” ujarnya.
Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal juga menyebut, langkah pemerintah untuk mengizinkan mal dibuka kembali hanya berdasar pada penyelesaian masalah dengan skema paling instan.
“Jadi kondisi seperti ini sebetulnya tidak akan mengobati dalam jangka panjang. Mestinya pemerintah fokus ke wabahnya karena sumber masalahnya disitu. Karena tidak bisa diatasi semata mata dengan relaksasi, instan banget kalau gitu,” ujar dia pada Tirto, Kamis (11/6/2020).
New Normal Bikin Masyarakat Lengah
Langkah instan pemerintah menerapkan new normal di tengah penularan corona yang masih tinggi membuat pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah berpendapat serupa. Bahkan, langkah new normal yang dilakukan pemerintah akan membuat masyarakat lengah terhadap wabah.
“Banyak masyarakat yang masuk new normal bukannya tambah waspada, tapi malah lengah dan enggak peduli lagi. Ini yang bahaya,” kata dia pada Tirto, Kamis (11/6/2020).
Lebih parah lagi, saat masyarakat yang kena dampaknya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan turun. Kerugian tersebut yang harus dibayar ketika pemerintah tidak bisa menyelesaikan permasalahan wabah.
“Tentu yang paling akhir adalah penilaian masyarakat ke pemerintah. Itu yang paling mahal, nantinya masyarakat cenderung masa bodoh,” tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Maya Saputri