tirto.id - Sejak 24 September 1945--di bawah komando Brigadir Jenderal Dougherty--tentara Australia mendarat di Makassar. NICA pimpinan Mayor Wagner yang membonceng Sekutu, juga ikut mendarat. Kontribusi Belanda dalam Perang Pasifik sebetulnya amat minim, tapi mereka begitu giat memanfaatkan kemenangan Sekutu untuk menduduki kembali Indonesia. Mereka diam-diam mempersenjatai bekas tawanan untuk dijadikan tentara NICA.
“Situasi waktu itu sudah jelas. Di satu pihak Belanda dengan bantuan Sekutu siap menjalankan kembali roda pemerintahan kolonialnya,” kata Maulwi Saelan dalam Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa (2008:52).
Di Makassar, para pemuda pro Republik sudah mulai menurunkan bendera triwarna merah-putih-biru di rumah-rumah yang ditinggali orang Belanda. Suasana kian memanas dan bentrokan siap terjadi.
Suatu hari di awal Oktober 1945, seperti disampaikan Andi Mattalata dalam Meniti Siri dan Harga Diri (2014:172-273), segolongan pedagang di Makassar menolak menjual barang kebutuhan sehari-hari kepada orang-orang Indonesia berdarah Ambon yang pro Belanda. Serdadu-serdadu KNIL lalu mengamuk dan menembaki orang Indonesia yang memakai lencana merah-putih. Aksi balasan terjadi, orang-orang Ambon di Makassar menjadi sasaran amuk massa.
Berkat perintah Dougherty, serdadu-serdadu KNIL asal Ambon itu kembali ke barak. Namun setelah kejadian itu, pemuda pro Republik di Makassar tak bisa tenang. Pemuda-pemuda macam Emy Saelan, Wolter Mongisidi, dan lainnya, termasuk siswa SMP Nasional, pelan-pelan membangun kekuatan.
“Tanggal 28 Oktober 1945, pemuda pelajar melakukan serangan serentak,” tulis Andi Sapada dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan VI (1991:79).
Mereka berhasil merebut stasiun radio dan kampemen KIS (bekas sekolah pelayaran kolonial yang dijadikan tangsi KNIL). Namun, perebutan tempat-tempat itu tak berlangsung lama. Tentara Sekutu yang lebih kuat segera bertindak.
Serdadu KNIL Pro Republik dari Morotai
Menurut Abdul Haris Nasution dalam Seputar Perang Kemerdekaan Indonesia 2 (1977:479), pada 1945 di Makassar terdapat dua golongan KNIL: yang pro Belanda dan yang diam-diam pro Republik.
Mereka yang pro Republik adalah generasi muda yang datang dari Morotai, pernah mengalami Perang Pasifik, serta sempat bergaul dengan tentara Amerika Serikat atau Australia. Mereka mendapat kabar kemerdekaan Indonesia dari Sersan Mamuaya yang mendengarkan radio, dan diam-diam memberi tahu KNIL pro Indonesia lainnya saat di Morotai.
Ahmad Junus Mokoginta dalam Sedjarah Singkat Perdjuangan Bersendjata (1964:45) menyebutkan bahwa terdapat satu kompi KNIL yang dicurigai akan berontak di Morotai dan kemudian dikapalkan ke Makassar. Menurut Nasution, kompi itu dipimpin oleh Kapten Abeng. KNIL golongan muda yang pro Republik ditempatkan di Jalan Goa. Sementara golongan tua yang pro Belanda ditempatkan di Kampemen KIS.
Sehari setelah kompi KNIL dari Morotai mendarat di Makassar, Sersan Salendu dan Sersan Laloan mendatangi Sam Ratulangi di rumahnya untuk meminta arahan. Kedua Sersan ini adalah orang Minahasa sama seperti Sam Ratulangi. Dalam catatan Nasution, Sam Ratulangi menghubungkan mereka dengan pemuda-pemuda Makassar yang pro Republik.
Belanda kemudian mencium gelagat KNIL pro Republik. Sebagai pejabat sipil, Sam Ratulangi tampak berusaha menghindari pertumpahan darah di kalangan orang-orang Indonesia. Namun, dua sersan itu datang lagi ke Ratulangi dan menyatakan mereka bahwa akan "bergerak". Ratulangi mengatakan jika mereka hendak kabur, jangan lebih dari 9 orang dan tidak jauh dari Makassar.
“Maka pada 5 Desember 1945, Laloan dan Salendu, dan kawan-kawan dengan sepasukan sebanyak 9 orang dan membawa serta dua buak truk dan 6 pucuk (senapan otomatis) Bren meninggalkan kota,” tulis Nasution.
Nasution menggambarkan kawan-kawan setangsi mereka sedih karena tak ikut. Namun, jika diperintahkan untuk mencari kawan-kawannya yang kabur, mereka akan bergabung memberontak.
KNIL pemberontak itu lalu bertemu bekas Heiho di Sungguminasa. Empat hari kemudian, setelah Sam Ratulangi berunding dengan tentara Sekutu, satu batalion KNIL yang dibantu satu kompi tentara Australia mengepung mereka pada 9 Desember 1945.
Para pemberontak dikejar dengan tembakan-tembakan. Salendu dan kawan-kawannya kabur ke Sungai Jeneberang, namun terkepung. Meskipun menyamar sebagai seorang pemancing, tetapi akhirnya dia tertangkap. Sedangkan Laloan berhasil lolos setelah bersembunyi di bawah tanaman air.
Salendu dan 5 orang KNIL pro Indonesia lainnya yang tertangkap, juga 10 mantan Heiho, diadili. Mereka diganjar hukuman kurungan 10 tahun. Salendu pernah ditempatkan di Penjara Cipinang. Setelah itu, tak ada lagi kabar tentang Salendu atau Laloan. Sementara Sam Ratulangi jadi tahanan rumah Belanda dan meninggal dalam penahanannya di Serui.
Meski upaya penyerangan dan pemberontakan terhadap Belanda berujung kegagalan, tetapi kaum Republiken di Makassar dan sekitarnya terus bergerak. Bahkan di pengujung 1946, Belanda harus mengerahkan pasukan khusus Depot Speciale Troepen yang dipimpin Kapten Westerling untuk menumpas mereka.
Misi yang bernama Kampanye Pasifikasi itu berlangsung dari Desember 1946 hingga Februari 1947. Westerling dan pasukannya menjelma monster haus darah yang meneror rakyat Sulawesi Selatan.
Editor: Irfan Teguh Pribadi