Menuju konten utama

Mahalnya Tes PCR Corona, Menkes Terawan Perlu Bikin Batasan Harga

Biaya tes swab masih terlampau mahal, bisa jutaan. Pemerintah pun didesak intervensi sebagaimana mereka lakukan pada tes cepat.

Mahalnya Tes PCR Corona, Menkes Terawan Perlu Bikin Batasan Harga
Anggota dewan mengikuti tes usap (swab test) COVID-19 di Gedung DPRD Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (26/8/2020). ANTARA FOTO/Umarul Faruq/aww.

tirto.id - Sudah sejak Sabtu (22/8/2020) pekan lalu Retno merasa tidak enak badan. Suhu badannya 37,7 derajat celcius dan ia merasa sesak napas. Ia lalu memutuskan mendatangi rumah sakit untuk rontgen dan pemeriksaan laboratorium.

Tes rontgen menunjukkan pneumonia di paru-paru, sementara hasil lab mengindikasikan ada virus, tapi belum jelas virus apa.

Khawatir terpapar COVID-19, Retno mencoba swab test. Namun karena rumah sakit yang ia datangi tidak melayani tes itu, Retno beranjak ke RS Mitra Keluarga Kemayoran Jakarta. “Sampai di situ ditanya, swab-nya mau yang biasa atau yang cepat,” kata Retno kepada reporter Tirto, Rabu (16/8/2020).

Paket tes PCR biasa dibanderol Rp1,5 juta, hasilnya keluar dalam 3-4 hari; sementara PCR Express, yang hasilnya keluar 1-2 hari, seharga Rp2,5 juta. Retno memilih yang pertama.

“Alhamdulillah dikover asuransi, cuma langsung habis limit,” kata Retno.

Ia merasa beruntung, pertama karena tak mengeluarkan uang sendiri. Ia berpikir bagaimana nasib orang-orang yang tidak memiliki uang atau asuransi tapi mau mengikuti tes COVID-19. Kedua, ia pun merasa beruntung keadaannya tak memburuk selama menunggu hasil tes. Ia bertanya-tanya bagaimana nasib orang yang gejalanya makin parah ketika menunggu hasil swab.

Wakil Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Surabaya Arief Bachtiar mengatakan inisiatif warga untuk melakukan tes PCR mandiri masih sangat kurang. Ia menduga itu karena biaya yang harus dikeluarkan relatif mahal bagi sebagian besar orang.

“Masyarakat sudah sadar [pentingnya tes], tapi harganya tinggi. Hanya untuk sekadar ingin tahu saja harus keluar Rp2 juta. Lah kalau hasilnya negatif, kalau hasilnya positif? Nanti dikucilkan kemudian enggak bisa kerja, orang mikirnya aneh-aneh,” kata Arief kepada reporter Tirto, Senin (25/8/2020).

Di Surabaya saja, katanya, tes hanya dilakukan terhadap orang-orang yang terjaring tracing oleh pemerintah kota.

Komisioner Ombudsman Alvin Lie menilai semestinya biaya tes PCR (swab) sekitar Rp500 ribu. Itu diperoleh dari biaya reagen yang mencapai 20-25 dolar AS ditambah biaya operasional laboratorium dan tenaga kesehatan. Itu pun bisa ditekan seiring berjalannya waktu, sesuai dengan perkembangan teknologi yang makin murah dan efektif.

Masalahnya, laboratorium untuk membaca hasil tes masih terbatas sehingga sampel menumpuk dan butuh waktu 5-7 hari untuk mengetahui hasilnya. Keterbatasan di tengah permintaan yang tinggi menjadi penyebab harga membengkak.

Sejumlah rumah sakit pun melihat celah bisnis dengan menawarkan tes yang lebih cepat, katanya. “Di mana pun prinsip ekonomi ketika permintaan besar dan suplai kecil, harga itu tidak akan turun. Bahkan kalau ada yang mau cepat, hari ini diambil sampel 5 jam kemudian hasilnya keluar, bisa, tapi bayarnya 5 juta sampai 6 juta. Itu di Jakarta ada,” kata Alvin, Rabu (26/8/2020).

Karenanya saat ini yang bisa dilakukan pemerintah adalah mempermudah masuknya alat-alat tes dari luar negeri. Salah satunya dengan membebaskan bea masuk dan pajak sehingga kemampuan tes bisa ditingkatkan dan harga turun.

Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Dedi Supratman menilai kebutuhan untuk menurunkan harga tes PCR sudah sangat urgen. Pasalnya, jumlah tes masih sangat jauh dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 1:1.000 penduduk setiap pekan. Dengan asumsi penduduk Indonesia 260 juta orang, artinya harus ada 267.700 orang yang dites setiap pekan.

Saat ini Indonesia baru bisa memenuhi 35,6 persen alias 85 ribu-95 ribu tes per pekan.

“Dari pihak pemerintah harus membantu, jadi ada semacam subsidi sehingga biaya PCR ini tidak terlalu mahal. Artinya pemerintah harus membuat semacam standardisasi, kalau rapid (tes cepat) saja bisa, kenapa PCR enggak?” kata Dedi kepada reporter Tirto, Selasa (26/8/2020).

Di sisi lain, ia menyayangkan rumah sakit yang menyediakan paket tes berdasarkan kecepatan keluarnya hasil. Hasil yang keluar segera lebih baik karena ada potensi orang yang dites berkeliaran selama masa tunggu dan menulari orang lain atau sebaliknya, orang yang dites akan tertular selama masa tunggu. Pada akhirnya jumlah penularan pun terus tinggi.

Jangan Cepat Menghakimi

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G. Partakusuma menjelaskan tes PCR melibatkan proses yang panjang, mulai dari pengambilan sampel, penyimpanan, lalu transfer ke laboratorium, ekstraksi, dan pengetesan. Biaya tes PCR mahal memang disebabkan modal yang mahal.

“Bisa sampai Rp1,5 juta hanya modal untuk pemeriksaannya saja,” kata Lia kepada reporter Tirto, Selasa (26/8/2020).

Di sisi lain, rumah sakit juga harus melakukan tes secara rutin terhadap tenaga kesehatan, dan tentu saja tak mungkin dipungut biaya. Karenanya ia meminta masyarakat tidak cepat menghakimi rumah sakit.

Kendati begitu, Lia juga mahfum pentingnya tes. Maka dari itu menurutnya pemerintah dapat mengatur harga jual reagen dari luar negeri ke rumah sakit. Setelahnya pemerintah bisa mematok standar biaya tes PCR sebagaimana yang dilakukan untuk rapid test--maksimal Rp150 ribu.

Baca juga artikel terkait TES SWAB CORONA atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino