tirto.id - Foto dirinya yang tengah bersanding dengan Presiden Sukarno pada awal kemerdekaan, pernah disangka sebagai Habib Hussein Shihab (ayah Muhammad Rizieq Shihab). Dia sebetulnya adalah Muhammad Asad Shahab. Perannya di mula kemerdekaan Indonesia sangat penting. Dia mengabarkan proklamasi kemerdekaan ke negara-negara Timur Tengah sehingga mereka akhirnya mendukung kemerdekaan Indonesia.
Asad berusia 35 tahun ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustius 1945. Kala itu, dia bekerja sebagai redaktur majalah mingguan Tidar (1936-1938) dan menjadi kontributor koran Mesir berbahasa Arab al-Mughattan (1938-1942).
Dalam buku 90 Tahun Bung Karno dalam Kenangan (1991:105) Asad mengaku bahwa setelah Sukarno menjadi Presiden Republik Indonesia dan Hatta sebagai wakilnya, dia diajak bicara tentang bagaimana cara menyebarkan berita proklamasi ke luar negeri. Sebelumnya, yakni pada zaman Jepang, Asad memang kerap bertemu dengan Sukarno ketika masih ada lembaga yang bernama Poesat Tenaga Rakjat (Poetera) dan Jawa Hokokai.
Asad, menurut AM Shahab dalam Sang Penyebar Berita Proklamasi RI: Perjuangan M. Asad Shahab dan Arabian Press Board (2017:4), menyiarkan berita proklamasi ke luar negeri, dalam hal ini negara-negara Arab, melalui sebuah kantor berita bernama Arabian Press Board.
Kantor berita ini berdiri pada 2 September 1945. Arabian Press Board tempatAsad Shahab, Dzya Shahab, dan beberapa wartawan lainnya bekerja, beralamat di Gang Tengah nomor 19, Salemba Tengah, Jakarta. Menurut Solichin Salam dalam obituari tentang Asad yang tayang di Berita Buana (11/11/1985), tiap tiga minggu sekali Arabian Press Board mengeluarkan buletin tiga bahasa, yakni: Arab, Inggris, dan Indonesia. Kantor berita yang loyal kepada Republik Indonesia itu kerap disatroni aparat keamanan NICA.
Menurut Asad, saat itu produk berita Arabian Press Board menguasai koran-koran di Timur Tengah.
“Liga Arab di bawah Sekjen Abdurachman Azzam menghubungi Arabian Press Board untuk meminta banyak informasi tentang Indonesia. Negara-negara Arab mengakui kemerdekaan Indonesia, bahkan utusan liga Arab Dr Abdul Mounim datang ke Yogyakarta,” ungkap Asad.
Kala itu, Yogyakarta adalah ibukota Republik. Abdul Mounim rela datang jauh-jauh menembus blokade udara. Artinya, itu bukan sekadar perjalanan jauh, tapi juga perjalanan yang berbahaya.
Menurut AM Shahab, Arabian Press Board juga punya koresponden di sejumlah negara seperti Irak, Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, Maroko, Argentina, Singapura, dan Malaya. Sementara di dalam negeri, kantor berita tersebut punya koresponden di Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan, Palembang, dan lain-lain. Pesatnya kegiatan Arabian Press Board yang ternyata tidak hanya di negara-negara Arab, membuatnya berubah nama menjadi Asian Press Board.
Alwi Shahab, salah seorang keponakan Asad, pernah sebentar bekerja di kantor berita ini. Setelah Asian Press Board digabungkan dengan Antara, Alwi tetap bekerja di sana. Ia dikenal sebagai penulis populer yang banyak menulis tentang sejarah Jakarta--yang tak sekadar bersumber dari literatur sejarah, tapi juga kesaksian-kesaksiannya.
Hubungan Asad dengan Sukarno
Menurut Asad, Asian Press Board disatukan dengan Antara pada tahun 1962. Dia mulanya tidak setuju dengan penggabungan itu dan berseberangan dengan Sukarno. Masa itu adalah masa ketika PKI amat kuat setelah menjadi pemenang nomor 4 pada Pemilu 1955 sehingga mempunyai banyak wakil di parlemen dan konstituante.
Sementara Asad adalah penentang komunis yang sedang dekat dengan Sukarno. Dia merasa Asian Press Board menjadi incaran komunis di masa Perang Dingin.
“Asian Press Board dan pimpinannya selalu menjadi kambing hitam [harian] Bintang Timur dan Suara Rakyat--kelak menjadi Harian Rakyat. Kantor berita Antara saat itu sudah dikuasai kaum komunis,” kata Asad seperti dikutip AH Shahab dalam Sang Penyebar Berita Proklamasi RI: Perjuangan M. Asad Shahab dan Arabian Press Board (2017:127).
Asad Shahab tidak tinggal diam terhadap menguatnya komunis di Indonesia. Majalah Pembina dimanfaatkannya untuk melawan kelompok kiri.
Meski kerap berseberangan, Asad tidak menjadi pembenci Sukarno. Dia yang tinggal di luar negeri dari tahun 1964 hingga 1984 itu masih tetap punya kesan baik kepada Sukarno sebagai pejuang kemerdekaan. Dia masih mengingat bagaimana untuk pertama kalinya mendengar pidato Bung Karno di gedung pertemuan Indonesia, Gang Kenari, Jakarta sekitar tahun 1928.
"Pidatonya berapi-api membangkitkan semangat rakyat Indonesia," ujarnya.
Setelah 1928, Asad tidak lagi mendengar Sukarno berpidato di tempat umum. Era 1928 hingga 1942 adalah masa pembuangan panjang Sukarno oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Setelah 1942, barulah Asad bertemu kembali dengan Sukarno bersama-sama menjadi bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Asad yang lahir di Jakarta, 23 September 1910, juga wafat di Jakarta pada 5 Mei 2001.
Editor: Irfan Teguh