tirto.id - Setelah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia resmi berdiri sebagai sebuah negara yang berdaulat di atas kaki sendiri. Proklamsi kemerdekaan memang membuat rakyat saat itu merasakan bebas dari kekuatan asing yang telah lama membelenggu mereka.
Akan tetapi, bukan berarti Indonesia telah selesai dari persoalan kenegaraan. Saat itu, para pemimpin harus menyelesaikan berbagai masalah, seperti kehidupan politik, ekonomi, dan sosial.
Salah satu yang harus diselesaikan adalah pembentukan alat kelengkapan negara. Alat kelengkapan ini penting dibentuk agar Indonesia dapat menjalankan sistem kenegaraannya dengan baik.
Lantas, bagaimana perkembangan kehidupan politik Indonesia pada masa awal kemerdekaan? Simak ulasan dalam artikel ini.
Pembentukan Alat Kelengkapan Negara
Sebagai negara yang telah menyatakan kemerdekaan, penting bagi Indonesia untuk segera membentuk alat kelengkapan negara. Pembentukan tersebut dilaksanakan melalui sidang atau rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang saat itu menjadi satu-satunya lembaga resmi.
Sidang tersebut dilaksanakan selama tiga hari, yaitu 18 Agustus 1945, 19 Agustus 1945, dan 22 Agustus 1945. Berikut adalah hasil sidang PPKI yang dilaksanakan selama tiga hari sebagaimana dikutip Bagus Setiawan, dkk dalam Indonesian History (2014: 113-114).
- Hasil sidang 18 Agustus 1945
Pada sidang hari pertama, PPKI menjadikan Piagam Jakarta dan rancangan UUD 1945 dan materinya adalah pemilihan presiden-wakil presiden. Setelah melalui pembicaraan yang serius, dihasilkan beberapa keputusan sebagai berikut:
- Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945;
- Mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Wakil Presiden;
- Membentuk Komite Nasional sebagai badan pembantu Presiden sebelum membentuk DPR/MPR.
- Hasil sidang 19 Agustus 1945
Setelah menghasilkan tiga keputusan, sidang pun dilanjutkan dengan bahasan mengenai kabinet, provinsi, dan satuan militer. Dari pembahasan tersebut dihasilkan keputusan, sebagai berikut:
- Menetapkan 12 kementerian yang bertugas membantu Presiden;
- Membagi wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi dan menunjuk para gubernurnya;
- Akan membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
- Hasil sidang 22 Agustus 1945
Sidang pun kembali dilanjutkan pada 22 Agustus 1945. Pada sidang ini diputuskan tiga keputusan, yaitu:
- Membentuk dan mengesahkan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP);
- Menetapkan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai satu-satunya partai politik di Indonesia;
- Memutuskan untuk membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dengan segera.
Penegakan Hak-Hak Bangsa dengan Kekuatan Senjata
Kemerdekaan yang telah dinyatakan Indonesia, ternyata tidak serta merta membuat Belanda diam dan melepaskannya begitu saja. Mereka masih ingin merebut Indonesia.
Seperti yang dikutip dari tulisan Ratna Hapsari dan M. Adil dalam Sejarah (2014: 395), disebutkan bahwa Belanda sangat berharap kepada Inggris untuk membantu mereka. Akan tetapi, saat itu Inggris tidak memiliki kekuatan penuh, sehingga Belanda memikirkan jalan lain.
Hingga pada akhirnya, Belanda bersama NICA (Nederlands Indies Civil Administration) dan sekutu memasuki kota-kota besar Indonesia. Hal ini berlanjut hingga tahun 1946. Saat itu, terdapat beberapa pertempuran yang harus dihadapi oleh TKR, di antarnya Agresi Militer I & II Belanda, Pertempuran Surabaya, Pertempuran Medan Area, Palagan Ambarawa, dan lain-lain.
Penegakan Hak-Hak Bangsa dengan Diplomasi
Jalur diplomasi merupakan salah satu jalan yang ditempuh Indonesia untuk menyelesaikan pertempuran serta mempertahankan kedaulatan kemerdekaannya. Jalur ini dimulai pada 1946, ketika Syahrir yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri melakukan perundingan dengan Indonesia.
Akan tetapi, perundingan yang dilakukan mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan di Indonesia, sehingga perundingan menemui jalan kegagalan. Perundingan kembali berlanjut di Linggarjati pada 12 November 1946 dan mengesahkan kesepakatan Linggarjati.
Namun, Belanda mengingkari perundingan dengan melakukan agresi militer pertama ke beberapa wilayah Indonesia, sehingga kesepakatan dibatalkan. Kemudian, perundingan kembali dilakukan di atas Kapal Renville pada Januari 1948.
Perjanjian Renville kembali menemui kegagalan akibat Belanda yang melakukan agresi militer keduanya di Indonesia pada Desember 1948. Perundingan kembali dilanjutkan pada 1949 yang diawali dengan Konfrensi Inter Indonesia.
Setelah melalui beberapa perundingan, pada akhirnya melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan pada 23 Agustus 1949 – 2 November 1949 diputuskan bahwa Belanda secara resmi menyerahkan kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949.
Penulis: Alhidayath Parinduri
Editor: Alexander Haryanto