tirto.id - Pada Pemilihan Presiden Brasil yang berlangsung 2 Oktober silam, tak satu pun kandidat berhasil menembus ambang batas suara minimal 50 persen. Akibatnya, seperti sistem di Indonesia, tak ada yang keluar sebagai pemenang. Dua kandidat dengan perolehan suara tertinggi akan bertarung lagi pada 30 Oktober nanti.
Kandidat pertama, yang berhasil mengantongi suara 48 persen, ialah presiden dua periode sekaligus figur karismatik pendiri Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores), Luiz Inácio Lula da Silva—atau populer dipanggil Lula. Mengekor di urutan kedua dengan 43 persen suara adalah sang petahana, Jair Bolsonaro.
Sementara Lula dari sayap kiri, Bolsonaro merupakan politikus berhaluan sayap kanan jauh yang mendewakan era kediktatoran militer Brasil dan didukung oleh kalangan konservatif terutama penganut Kristen Evangelikal.
Kampanye berlangsung sengit menjelang putaran kedua—lengkap dengan bumbu hoaks tentang agama, iblis, sampai kanibalisme.
Bolsonaro diisukan dekat dengan Freemasonry, organisasi persaudaraan yang aktivitasnya kerap diasosiasikan dengan ritual iblis. Potongan video wawancara Bolsonaro tahun 2016, berisi ucapan tentang kesediaannya makan daging manusia, juga beredar luas.
Di kubu seberang, Lula digosipkan punya relasi dengan kalangan pemuja setan. Tudingan ini sulit dipisahkan dari latar belakang basis pendukung Lula yang biasa dibingkai oleh lawan politiknya sebagai ateis atau komunis—kontras dari pendukung agamis Bolsonaro.
Saking masifnya tudingan negatif terhadap Lula, Partai Buruh sampai merilis pernyataan resmi di media sosial untuk menegaskan bahwa “Lula percaya pada Tuhan dan seorang Kristiani” serta “Lula tidak membuat perjanjian atau bicara dengan iblis.”
Perseteruan berlanjut di forum debat yang disiarkan di televisi pada 17 Oktober. Alih-alih membahas kebijakan atau program kerja, Lula dan Bolsonaro malah bertukar ejekan personal. Lula menyebut Bolsonaro sebagai “diktator kecil” dan “raja berita bohong”. Lula juga menganggap “kelalaian” Bolsonaro sudah mengakibatkan kematian 680 ribu jiwa rakyat selama pandemi Covid-19. Bolsonaro lantas menuding Lula punya masa lalu “memalukan” karena pernah terjerat korupsi.
Iklim kebencian begitu kuat bahkan sampai merenggut korban jiwa. September kemarin, misalnya, tersiar kabar bahwa pendukung Bolsonaro membunuh pendukung Lula. Sebelumnya, pada bulan Juli, staf lokal dari partai penyokong Lula tewas ditembak oleh sipir penjara federal pendukung Bolsonaro.
Dalam situasi penuh ketegangan tersebut, Bolsonaro malah gemar melakukan tudingan tak berdasar, bahwa pemilu sudah dicurangi dan hasil survei prapemilu tidak bisa dipercaya karena merugikan dirinya. Tindak tanduknya sekilas mengingatkan pada sikap ngotot Donald J. Trump—yang juga diidolakan Bolsonaro—ketika menolak hasil pemilu presiden Amerika Serikat dua tahun silam.
Siapa Bakal Menang?
Di balik beragam drama kampanye dan tragedi yang mengiringi, sejumlah besar pemilih suara tampaknya berharap kondisi Brasil bisa berubah jadi lebih baik di bawah arahan Lula, seorang mantan pandai besi dari keluarga petani miskin.
Seminggu menjelang hari pemilu final, survei menunjukkan dukungan buat Lula masih konsisten lebih tinggi daripada Bolsonaro.
Kandidat yang gugur pada pemilihan putaran pertama, politikus tengah-kanan Simone Tebet dan tokoh sosial-demokrat Ciro Gomes (total menerima 7 persen suara), juga mengumumkan dukungannya untuk Lula. Hal ini otomatis membuka peluang suara dari pendukung mereka dialihkan kepada sang mantan presiden.
Angin segar untuk Lula tak bisa dilepaskan dari fakta bahwa dia memang mewariskan kenangan indah bagi rakyat Brasil, terutama kalangan pekerja dan kelompok kelas bawah. Sederet prestasi ia torehkan saat menjabat presiden.
Di bawah administrasi Lula sepanjang tahun 2003-2010, sekitar 20 juta penduduk diangkat dari lubang kemiskinan. Angka kemiskinan ekstrem berhasil ditekan dari 12 persen pada 2003 jadi 4,8 persen lima tahun kemudian. Saat Lula meninggalkan istana Brasilia, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja administrasinya nyaris mencapai 90 persen.
Setelah mengakhiri masa jabatan, Lula sempat mendekam di penjara selama 580 hari karena dituduh terlibat korupsi dan pencucian uang yang menjadi bagian dari skandal korupsi terbesar dalam sejarah Amerika Latin. Akibatnya, ia dilarang ikut maju lagi dalam Pilpres2018 (yang dimenangkan Bolsonaro). Meski begitu Mahkamah Agung membatalkan hukuman pidana Lula tahun lalu dan mengizinkannya terjun ke politik praktis lagi.
Menarik juga untuk menelisik latar belakang di balik tingginya antusiasme rakyat untuk memilih kembali Lula, politikus berusia 77 tahun yang idealnya sekarang sudah menikmati masa pensiun bersama anak-cucu.
Menurut Brian Winter dalam artikel di Foreign Affairs, popularitas dan kebangkitan Lula sekarang bisa jadi sifatnya sebatas simbolis—atau berkaitan dengan “nekrofilia ideologis”, istilah yang diperkenalkan oleh tokoh intelektual asal Venezuela, Moisés Naím.
Dalam konteks Pilpres Brasil, nekrofilia ideologis bisa dimaknai sebagai sikap publik yang sudah gerah dengan situasi krisis berlarut sekaligus masih terkenang atau bernostalgia tentang kejayaan masa lampau. Pendek kata, mereka jadi lebih tertarik pada ide-ide atau visi kemakmuran yang cenderung sudah usang dari wajah-wajah familier, alih-alih figur baru dan kebijakan lebih segar atau berorientasi ke masa depan.
Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa kembalinya pemimpin populer ke panggung politik setelah vakum sekian lama bukanlah jalan pintas keluar dari krisis.
(Bersambung...)
Editor: Rio Apinino