tirto.id - Mendengarkan Luby Sparks adalah sebuah pengalaman seru. Band yang dibentuk di Tokyo pada 2016 silam ini menggabungkan pendekatan rock alternatif yang bersandar pada gitar, serta atmosfer dreamy pop yang kuat. Hasilnya, seperti kata mereka, adalah gabungan dari rasa sedih dan riang. A happy sadness.
Sebagai band yang tumbuh besar di Tokyo, kota kosmopolitan yang jadi mangkuk salad banyak kebudayaan pop, mereka berani menerabas batas batas, termasuk batas referensi bermusik maupun batas negara. Album pertama mereka, Luby Sparks (2018), direkam di London. Album ini mendapat sambutan cukup meriah, dan melahirkan hits seperti "Tangerine", "Thursday", dan "Sparks".
Luby Sparks juga mengalami beberapa peristiwa penting sepanjang usia yang nyaris menginjak sewindu ini, salah satunya adalah pergantian vokalis. Tak lama setelah merilis album perdana, vokalis Emily Obaidey memutuskan hengkang.
Dari rekomendasi seorang teman, Erika Murphy, perempuan blasteran Jepang-Skotlandia-Irlandia pecinta Paramore dan All Time Low, lantas mengikuti audisi sebagai vokalis Luby Sparks. Dari rumahnya di Prefektur Hyogo, Erika pergi ke Tokyo dan bertemu dengan Natsuki Kato, bassist sekaligus pendiri Luby Sparks. Natsuki meminta Erika untuk menyanyikan lagu-lagu Luby Sparks, dan voila, ada reaksi kimia di sana.
Maka selanjutnya adalah Luby Sparks yang kamu lihat dan dengar sekarang. Dengan Erika sebagai vokalis, Luby Sparks kembali merintis jalan baru lewat album kedua, Search + Destroy (2022). Mereka juga mengadakan beberapa tur, seperti tur Amerika Serikat di Maret 2023, dan tur Cina yang sempat tertunda karena pandemi dan akhirnya terlaksana di September 2023.
Panggung Joyland 2023 adalah kali pertama Luby Sparks datang ke Indonesia. Mereka cukup terkejut melihat banyak penonton antusias dengan penampilan mereka di hari kedua Joyland 2023, Sabtu (25/11).
"Penontonnya sangat menyenangkan. Aku melihat beberapa orang menyanyikan lagu-lagu kami. Rasanya senang dan cukup terkejut melihat kami punya fans di sini," kata Erika.
Malam itu, beberapa jam setelah mereka manggung, Tirto.id berkesempatan ngobrol dengan formasi lengkap Luby Sparks: Natsuki, Erika, Tamio Sakuma (gitar), Sunao Hiwatari (gitar), dan Shin Hasegawa (drum).
Dalam perbicangan sepuluh menit ini, mereka bercerita tentang nostalgia pertemuan sebelum jadi band, proses penulisan lagu, hingga rencana mereka ke depan. Jawaban dari Luby Sparks banyak diwakili oleh Natsuki, yang memang pendiri band ini, dan sesekali ditimpali oleh Erika.
Pertanyaan klise, tapi mungkin banyak orang yang belum tahu. Bagaimana kalian bisa bertemu dan akhirnya bisa membentuk Luby Sparks?
Natsuki: Jadi awalnya kami bertemu di klub musik di kampus. Sebenarnya itu bukan kampusku, tapi mereka punya banyak klub musik. Jadi kami ketemu di sana, dan waktu itu kami main musik yang berbeda ketimbang yang sekarang.
Saat itu kami fokus pada musik kulit hitam seperti musik soul atau R&B. Sebenarnya aku sangat menyukai musik indie seperti indie rock atau rock alternatif. Ya kira-kira musik seperti itu lah, ya.
Lalu aku keluar dari klub musik itu dan memutuskan untuk membentuk band sendiri dengan lagu-lagu saya sendiri.Aku coba memainkan rock alternatif atau shoegaze atau dream pop atau indie rock. Jadi kemudian kami bertemu di klub yang sama dan kami memutuskan untuk membentuk bersama. Dan pada awalnya kami mengover musik seperti My Bloody Valentine, atau The Pains of Being Pure at Heart. Setelahnya baru kami coba bikin lagu sendiri.
Kemudian Tamio bergabung dengan band kami karena kami bertemu di klub musik lain. Dia memainkan Sonic Youth, Smashing Pumpkins. Kami lantas memainkan lagu-lagu My Bloody Valentine. Ternyata kami nyambung. Jadilah kami memutuskan buat ngeband bareng. Setelah merilis album pertama, vokalis kami, Emily Obaidey, keluar.
Beberapa teman yang satu lingkaran kemudian mengenalkan Erika (Murphy, vokalis) pada kami. Setelah ngobrol dan audisi, Erika bergabung. Dan kami merilis album kedua kami tahun lalu.
Search + Destroy adalah album terbaru kalian yang dirilis pada 2022 silam. Mendengar judulnya, aku membayangkan adanya pengaruh Iggy Pop dan The Stooges dalam album ini.
Aku sebenarnya hanya tahu lagu itu saja. Tidak terpengaruh yang gimana-gimana. Tapi judul itu memang menarik perhatianku. Waktu itu aku sedang mencari-cari nama album. Dan kebetulan, lagu terakhir di album ini adalah "Seek + Destroy". Jadi menulis ulang judulnya, aku mengganti kata and dengan simbol +.
Menurutku simbol itu penting untuk visual. Terlihat seperti jenis musik yang ingin kami mainkan, musik-musik dari awal 2000-an. Aku sering melihat beberapa lagu dari dekade itu memakai simbol + atau - di judulnya. Karenanya aku pilih simbol itu.
Band ini berasal dari Tokyo. Hampir semua orang yang suka musik, tahu kalau Tokyo adalah kota yang vibrant perkara musik. Dari tempat manggung skala kecil sampai besar, record store, toko alat musik, semua ada. Menurut kalian, bagaimana Tokyo memengaruhi kalian dalam bertumbuh kembang?
Menurut kami, Tokyo memang sangat berpengaruh. Sebagai kota yang jadi tempat bertemunya banyak kebudayaan, kami bisa menemukan berbagai referensi musik di sini. Dan ini membentuk pola pikir kami soa musik. Kami semua kebetulan terpengaruh oleh musik-musik barat yang berkiblat ke Inggris dan Amerika Serikat. Tapi kami juga terpengaruh oleh musik-musik dari band Jepang.
Secara khusus, karena kami tinggal Tokyo, kami sering main bersama dengan band-band lain yang juga dari Tokyo. Jadi kami sering bertemu dengan band yang punya pengaruh musikal sama dengan kami.
Musik kalian seringkali mengoplos musik dreamy dan atmosferik dengan rock yang energetik. Seperti di lagu "Depression". Menurutku lagu ini dengan kuat menunjukkan pengaruh rock alternatif, terutama Smashing Pumpkins era Siamese Dreams. Bisa diceritakan gak bagaimana proses kalian membuat lagu?
Jadi yang paling sering prosesnya adalah begini. Tamio membuat chorus dan reff. Lalu Erika membuat melodi lagunya. Aku biasanya menambahkan elemen-elemen seperti synthesizer. Tamio dan Erika kebetulan punya selera yang sama, musik rock dengan suara gitar yang berat dan kencang.
Erika: Iya, kebetulan kami punya selera yang sebenarnya masih berdekatan. Jadi ini mempermudah kami dalam membuat lagu.
Natsuki: Betul. Selera kami memang mirip-mirip. Yang agak berbeda mungkin dia (menunjuk Shin Hasegawa, drummer). Dia adalah drummer dengan basic jazz. Dia memang suka sekali jazz. Gaya ngedrumnya sebenarnya berbeda dengan jenis musik yang kami mainkan.
Lagu-lagu kalian banyak bercerita tentang patah hati, juga kehilangan seseorang yang dicintai. Kalian memang sering menulis lagu seperti itu ya?
Erika: Sering? Aku sih gak cuma sering, malah aku selalu menulis seperti itu (tertawa).
Berarti kalian tipe band yang menulis lagu dari pengalaman pribadi, atau dari orang-orang terdekat gitu?
Natsuki: Buatku, gaya nulis lirikku seperti menulis cerita. Bukan cerita personal, juga bukan cerita teman. Aku biasanya menulis musik dari film. Aku sangat terpengaruh oleh film, terutama film-film tua dan klasik. Karena itu aku banyak menulis lagu tentang patah hati, tapi tidak melulu sedih.
Jadi mungkin liriknya akan terbaca sedih, tentang hal-hal yang bikin nelangsa. Tapi musiknya pop dan mungkin agak riang. Kamu tahu kan, kombinasi dari hal sedih dan musik ceria itu rasanya menyenangkan buatku pribadi. Mungkin seperti The Cure, happy sadness.
Erika: Kalau buatku sih aku menulis apa yang kualami. Karena aku kan vokalis. Jadi ketika aku menulis lagu, aku membayangkan bagaimana lagu ini lebih mudah dinyanyikan, bukan secara teknik, tapi lebih ke perasaan ketika bernyanyi. Karena ketika aku nyanyi, aku ingin menyampaikan perasaan dan emosiku. Jadi karena itu, aku memilih untuk menulis pengalamanku sendiri, karena aku ingin merasa dekat dengan apa yang kunyanyikan.
Pertanyaan terakhir, apa rencana kalian ke depan setelah ini. Album baru, single, tur, atau apa?
Sekarang kami sedang menulis lagu. Kami sudah bikin banyak lagu. Dan sepertinya album ketiga ini akan lumayan berbeda dari album pertama dan kedua kami.
Editor: Nuran Wibisono