tirto.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turun tangan dalam perkara SHK, seorang asisten rumah tangga yang dianiaya oleh majikan dan rekannya di Apartemen Simprug, Jakarta Selatan.
"LPSK sedang mendalami apa saja kebutuhan yang diperlukan korban akibat peristiwa ini. Termasuk di antaranya menghitung restitusi," ucap Kepala Biro Penelaahan Permohonan LPSK Muhammad Ramdan di Polda Metro Jaya, Rabu, 14 Desember 2022.
LPSK juga berupaya agar delapan tersangka bertanggung jawab membiayai proses pengobatan korban. "Kiranya bisa dipastikan kelancaran proses restitusi ini. Bagaimana aset pelaku menjadi perhatian untuk bisa membiayai atau mengganti peristiwa yang dialami. Termasuk kehilangan dari penghasilan, menjadi poin penting," terang Ramdan.
Lembaga itu bakal mengusahakan hak-hak korban yang ditentukan oleh undang-undang bisa terpenuhi. Hasil visum SHK menunjukkan validitas kekerasan.
"Ditemukan patah tulang tertutup pada tulang tempurung kepala, lebam di kedua mata yang diakibatkan kekerasan benda tumpul," ucap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan.
Lalu jaringan parut di bibir atas, leher, payudara, perut, tangan kanan dan kiri, kasualitas tidak dapat dipastikan karena luka mengalami proses penyembuhan, lecet di pinggul karena gesekan, luka bakar kedua tungkai akibat kekerasan suhu tinggi.
"Luka tersebut mendatangkan bahaya maut bagi korban," kata Zulpan.
Kasus bermula pada Juli 2022. SK (68) dan MK (64), pasutri, menjadi pelaku utama penganiayaan. Awalnya SK tidak sengaja memakai celana dalam milik MK dan dituduh mencuri cokelat. Si majikan pun marah, kemudian menyita ponsel korban, dan kerap memarahinya jika berbuat salah.
SK pun membeli borgol dan rantai. Lalu mengikatkan kedua benda itu kepada korban. Korban diikatkan pada meja makan, kandang anjing, dan jemuran. Akibatnya luka di pergelangan tangan dan kaki korban memburuk. Selanjutnya MK menyuruh enam asisten rumah tangga lainnya untuk turut menganiaya korban.
Mereka menampar, menjambak, menendang, bahkan mencakar korban. Para asisten rumah tangga menuruti instruksi majikan untuk menganiaya lantaran mereka tak mau dianggap berkomplot dengan korban. Penganiayaan itu berlangsung hingga Desember.
Karena korban sakit dan tak bisa menjalankan tugasnya, pasutri itu menghubungi penyalur tenaga kerja untuk menjemput korban. Pada 5 Desember, pukul 23.23 WIB, tenaga penyalur menjemput korban. Lalu esok harinya korban tiba di Pemalang, kampung halamannya.
Para pelaku dijerat Pasal 333 KUHP dan/atau Pasal 170 atau Pasal 315 dan/atau Pasal 44 dan/atau Pasal 45 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP, mereka terancam 10 tahun penjara.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri