Menuju konten utama

LPG 3 Kg Terancam Langka di Tengah Kenaikan Harga Gas Non-Subsidi

Disparitas harga yang lebar antara LPG 3 kg dengan gas non-subsidi berpotensi memicu migrasi konsumsi gas 12 kg ke gas bersubsidi.

LPG 3 Kg Terancam Langka di Tengah Kenaikan Harga Gas Non-Subsidi
Pekerja mengangkut tabung gas elpiji 3 kilogram bersubsidi di Pangkalan Gas di Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu (25/4/2020). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/hp.

tirto.id - Harga gas non subsidi mengalami kenaikan pada 27 Februari 2022. Penyesuaian harga tersebut dilakukan PT Pertamina (Persero) usai adanya lonjakan harga minyak dunia usai adanya invasi yang dilakukan Rusia ke Ukrania. Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina (Persero) Irto Ginting menjelaskan, penyesuaian harga LPG dilakukan saat harga Contract Price Aramco (CPA) memang masih tinggi di 775 dolar AS/metrik, harga tersebut naik sekitar 21 persen dari harga rata-rata CPA sepanjang tahun 2021.

"Kita masih monitor dampak dari perang Rusia-Ukraina terhadap CPA," jelas dia kepada Tirto, Minggu (27/2/2022).

Sementara itu, Pertamina sudah memastikan meskipun ada kenaikan harga di LPG non-subsidi imbas adanya lonjakan harga minyak dunia, harga LPG 3 kg tidak naik. Pemerintah dan Pertamina memutuskan untuk tidak menaikkan harga gas elpiji bersubsidi 3 kilogram (kg) meski tren harga Contract Price Aramco (CPA) terus meningkat hingga Februari 2022.

“Meski tren CPA terus meningkat, LPG subsidi 3 kg tidak mengalami perubahan harga. Harga LPG subsidi 3 kg tetap mengacu kepada HET yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat,” jelas dia.

Pengamat Ekonomi dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi melihat dua kebijakan tersebut berpotensi membuat adanya migrasi dari konsumen menengah yang bisa menggunakan non subsidi turun kelas ke LPG subsidi.

“Karena disparitas harganya cukup tinggi cukup lebar. Kemungkinan ada sebagian konsumen yang 12 kg itu price elasticity, atau sensitivitas harga terhadap pengambilan keputusan itu akan berpengaruh ya. Nah konsumen semacam ini, maka potensi untuk migrasi dari 12 kg ke 3 kg sangat tinggi. Karena tadi disparitas harganya cukup tinggi,” kata dia kepada Tirto, Jumat (4/3/2022).

Fahmi menjelaskan, meskipun strategi yang dilakukan Pertamina adalah untuk mengurangi beban keuangan saat memutuskan untuk menaikkan harga LPG non subsidi di tengah lonjakan harga minyak dunia, akan tetapi kebijakan ini akan berdampak pada peningkatan jumlah konsumen gas melon.

“Ini akan menaikkan juga ke APBN karena apa. Karena APBN itu kan memberikan subsidi ya. Nah sehingga jumlah subsidi salah sasaran itu semakin besar. Kemudian kalau mereka migrasi atau mereka beralih dalam jumlah yang besar maka persediaan gas melon tidak mencukupi,” jelas dia.

Ia menjelaskan saat kondisi tersebut terjadi, maka masalah yang akan timbul selanjutnya adalah kelangkaan LPG Subsidi. Jika kelangkaan terjadi, maka akan ada antrean dan akhirnya kenaikan harga tidak bisa dihindari karena terjadinya permintaan yang tinggi di pasaran.

“Kalau itu tidak bisa dihindari harga gas melon juga akan naik oleh koreksi pasar tadi, karena ada dorongan pasar yang besar, sementara suplainya kan tetap ya. Jadi potensi perpindahan itu akan menyebabkan kelangkaan dan akhirnya gas melon akan naik oleh koreksi pasar,” terang dia.

Dari permasalahan tersebut, ia memberikan solusi agar pemerintah merealisasikan subsidi tertutup untuk penerima gas LPG bersubsidi. Wacana ini, kata dia, sudah tepat dilakukan agar distribusi gas bersubsidi lebih tepat sasaran.

“Jadi memang harus diwaspadai ada perpindahan tadi, yang harus dilakukan adalah merubah sistem distribusi dari terbuka seperti saat ini menjadi tertutup. Terbuka itu artinya siapa pun bisa membeli gas melon tanpa ada sanksi. Nah, kalau tertutup itu memang dijual kepada yang berhak misalnya yang memiliki kartu miskin,” jelas dia.

Namun, pandangan berbeda disampaikan Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira. Ia menilai skema subsidi tertutup tidak tepat jika direalisasikan pada saat ini. Sistem yang belum siap serta data yang belum tersedia dengan benar akan membuat skema ini tidak akan menyelesaikan masalah dari LPG subsidi yang tak tepat sasaran.

“Karena kalau ada opsi untuk bikin supaya subsidi tertutup. Oh, itu bakal chaos. Bakal pengaruh sekali ke data beli dan juga bisa memicu terjadinya kelangkaan. Orang lagi migrasi dari LPG non subsidi ke gas melon sementara kita pemerintah ingin buat subsidi tertutup. Makanya butuh KTP disesuaikan dengan data kesejahteraan sosial. Sementara yang pakai LPG melon itu bukan hanya orang miskin atau warga miskin, UMKM juga butuh itu. Kemudian verifikasi data UMKM ini yang paling buruk,” jelas dia kepada Tirto, Jumat (4/3/2022).

Bhima menjelaskan, langkah yang bisa dilakukan saat ini adalah menambah anggaran subsidi energi di APBN 2022. Migrasi sudah pasti akan terjadi, kondisi ini, kata dia, perlu difasilitasi agar tidak terjadi kelangkaan di pasar imbas masyarakat mampu membeli gas LPG sementara yang miskin dengan keterbatasan ekonomi tidak kebagian.

“Jangan sampai yang mampu pasti akan melakukan antisipasi dengan membeli LPG melon lebih banyak sementara untuk orang yang rentan miskin keluarga yang dianggap tidak mampu itu justru kesulitan karena terjadi kelangkaan pasokan,” kata dia.

Anggaran subsidi energi yang saat ini disediakan masih kurang jika kelangkaan gas LPG subsidi benar-benar terjadi. Bhima mengatakan, anggaran subsidi untuk LPG di 2022 dikurangi, sementara data APBN Kita Februari 2022 realisasi subsidi untuk BBM dan gas Elpiji 3 kg bengkak menjadi Rp10,2 triliun.

Angka itu naik sekitar 347,2% dari realisasi subsidi energi Januari tahun lalu Rp2,3 triliun. Realisasi subsidi terutama subsidi BBM dan gas LPG 3 kg yang dibayarkan ke unit usahanya sebesar Rp10,2 triliun dibandingkan 2021 hanya Rp2,3 triliun.

Sementara anggaran subsidi energi dalam APBN 2022 sebesar Rp 134,02 triliun. Subsidi energi terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG Tabung 3 kilogram sebesar Rp 77,54 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp 56,47 triliun.

Sedangkan di 2021 realisasi subsidi khusus BBM dan LPG sebesar Rp 83,7 triliun. Kemudian subsidi listrik Rp 47,8 triliun. Anggaran subsidi energi untuk BBM dan LPG di 2022 kuota anggarannya malah dikurangi sekitar Rp6 triliun.

Adanya lonjakan konsumsi di sektor yang disubsidi pemerintah bahkan sudah terjadi sebelum adanya lonjakan harga minyak imbas invasi Rusia ke Ukraina. Hal ini perlu diantisipasi dengan segera mengamankan pasokan LPG non subsidi agar tak terjadi kelangkaan di pasar.

“Subsidi 3 kg itu memang harus dinaikkan, paling enggak alokasi subsidi di APBN 2022 itu harus dinaikkan. Harus segera dinaikkan, kemudian jangan ada lagi kenaikan karena udah terlalu sering kenaikan LPG non subsidi, kan udah dua kali. Jadi semakin sering kenaikan LPG non subsidinya, semakin cepat pergerakan migrasinya ke gas melon,” terang dia.

Baca juga artikel terkait KENAIKAN HARGA GAS atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Restu Diantina Putri