tirto.id - Direktur Kantor Hukum dan HAM Lokataru, Haris Azhar menjelaskan, bersama Hakasasi.id telah menemukan 52 bentuk kecurangan Pemilu 2019.
"Karena negara telah menikmati biaya murah partisipasi masyarakat. Jadi penting TPF ini untuk menunjukan bentuk pertanggungjawaban negara. Kalau negara hanya bilang bahwa mereka pahlawan, dikasih R 36 juta, menurut saya simplifikasi berlebihan," kata Haris saat di Kantor Lokataru, Jakarta Timur, Rabu (8/5/2019).
Haris Azhar juga menjelaskan, kecurangan tersebut seperti pengarahan Aparatur Sipil Negara (ASN) kepolisian, serta TNI sebanyak dua kasus.
Kemudian, pengarahan BUMN untuk pemenangan pemilu tiga kasus. Lalu pengarahan kepala daerah, kata dia, kepala desa serta perangkat desa 21 kasus.
Politik uang 'serangan fajar' sebanyak 20 kasus, anggota kabinet/menteri yang tidak cuti sebanyak satu kasus. Selanjutnya Revisi Undang-undang (UU) Pemilu serentak dan Presidential Treshold satu kasus.
Kemudian, adanya peningkatan dana bantuan partai politik satu kasus. Terakhir mengumbarkan dukungan dalam acara-acara resmi kenegaraan sebanyak tiga kasus.
Oleh karena itu, kata Haris, fakta pelaksanaan Pemilu 2019 mesti dibongkar hingga ke akarnya dengan membentuk Tim Investigasi atau Tim Pencari Fakta.
Sebab, kata dia, dalam pemilu ini juga ada korban petugas KPPS meninggal dunia terus bertambah.
Menurut dia, fakta ini penting untuk menghentikan pola penyelenggaraan pemilu yang sama dan tidak perlu takut.
"Makin takut negara, makin menunjukan pemerintah dan penyelenggara itu menutup-nutupi bau amis yang sudah tersebar kemana mana," kata Haris.
Haris juga mengatakan, personel yang terlibat dalam TPF ini bisa diisi dari komisi-komisi negara yang memiliki kewewenangan dan anggaran untuk bersatu membongkar pelanggaran yang sudah disampaikannya.
"Kalau tidak dibongkar, ini akan berikan catatan buruk," ujar dia.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Zakki Amali