tirto.id - Pada 14 Maret 2019, Paul Joyce menulis artikel “Party Mood Turns into Anxious Wait for Liverpool” di The Times. Dalam artikel itu, Joyce menceritakan bagaimana suasana di Melwood, tempat latihan Liverpool, setelah Premier League musim 2019-2020 resmi ditunda karena COVID-19. Pemain-pemain Liverpool, kata Joyce, “merasa frustasi.”
Menurut Joyce, perasaan pemain-pemain Liverpool tersebut datang bukan tanpa sebab. Liverpool -- sampai liga dihentikan pada pekan ke-29 -- masih berada di puncak klasemen, dengan mengoleksi 82 angka, unggul 25 angka dari Manchester City yang berada di posisi kedua. Dari sembilan pekan yang tersisa, mereka bahkan hanya butuh dua kemenangan lagi untuk memastikan gelar liga ke-19 yang sudah ditunggu selama 30 tahun.
Namun, hitung-hitungan matematis itu ternyata tak ubahnya motor tua yang teronggok di dalam gudang. COVID-19 tiba-tiba muncul, dan satu-satunya hal pasti selama pandemik ini masih mewabah adalah ketidakpastian: kapan sisa musim 2019-2020 dapat benar-benar dilanjutkan? Juni, Juli, atau malah tidak sama sekali?
“Tidak seorang pun dari kita tahu bagaimana jadinya,” kata Jurgen Klopp. Ia kemudian melanjutkan dengan sebuah harapan: “Tapi kita harus memiliki keyakinan bahwa otoritas akan mengambil keputusan berdasarkan penilaian dan moralitas yang tepat.”
Nyaris Juara Tiga Kali
Tiga puluh tahun adalah waktu yang tak sebentar. Ia jauh lebih panjang dari dinasti Sir Alex Ferguson di Manchester United, era Premier League yang penuh lampu sorot, hingga masa tayang sinetron “Tersanjung” di Indosiar. Apalagi periode panjang itu diiringi pula dengan berlapis penderitaan.
Ya, Liverpool hanya bisa memandang ketika Manchester United, Arsenal, Chelsea, hingga Manchester City bergantian mengangkat gelar liga. Kejayaan mereka pada era 70-an dan 80-an luntur begitu saja. The Reds beberapa kali finis di papan tengah, dan ironisnya, ketika mereka berjarak amat dekat dengan gelar juara, mereka tak cukup hebat untuk meraihnya.
Tercatat tiga kali Liverpool nyaris menjadi juara.
Nyaris juara yang pertama bagi Liverpool terjadi pada musim 2008-2009. Kala itu, di bawah asuhan Rafael Benitez, Liverpool memiliki skuat mumpuni. Ada Pepe Reina di bawah mistar, Xabi Alonso dan Javier Mascherano sebagai double pivot, Steven Gerrard, hingga Fernando Torres di lini depan. Henry Jackson di situs This is Anfield bahkan menyebut tim ini sebagai “tim terbaik setelah era emas”.
Asa Liverpool untuk meraih gelar muncul ketika mereka menghajar Manchester United 1-4 di Old Trafford pada Maret 2009. Kemenangan itu, ditambah kekalahan United di kandang Fulham pada pekan berikutnya, membuat jarak mereka tinggal sejengkal untuk menyalip United di puncak klasemen. Para pengamat sepakbola Inggris pun kemudian tak sedikit yang berpendapat bahwa musim 2008-2009 akan jadi milik Liverpool.
Namun, saat Phil McNulty mengatakan “Liverpool akan membuat Sir Alex Ferguson menderita” dalam salah satu kolomnya di BBC, seperti para pengamat sepakbola Inggris lainnya, ia luput akan satu hal: United punya mental juara, satu-satunya hal penting yang tidak dimiliki oleh Liverpool pada saat itu.
Walhasil, United langsung bangkit pada perkembangan berikutnya. Mereka menang 3-2 atas Aston Villa dengan susah payah dan perjuangan berdarah-darah hingga menit akhir pertandingan. Setelah itu anak asuh Alex Ferguson itu tak pernah lagi menengok ke belakang: meraih tujuh kemenangan dan satu hasil imbang. Liverpool, yang berhasil memenangi 10 dari 11 pertandingan terakhir, pun harus puas finis di peringkat kedua.
Nyaris juara berikutnya bagi Liverpool terjadi pada musim 2013-2014. Dan kita, para penggemar sepakbola, tentu tahu penyebabnya: Pada pekan ke-36, Liverpool, yang saat itu masih memimpin liga, kalah 0-2 dari Chelsea.
Banyak yang menyebut bahwa penyebab utama dari kekalahan tersebut adalah terpelesetnya Steven Gerrard pada penghujung babak pertama. Seandainya Gerrard tak terpeleset, Demba Ba tak akan mencetak gol, dan pertandingan kemungkinan besar akan berakhir dengan hasil berbeda. Saking terkenalnya kejadian itu, Gerrard Brand sampai membuat tulisan panjang di Sky Sports.
Brand tak luput mengutip penyesalan Gerrard yang begitu lirih: “Sampai sekarang, itu adalah hari yang paling sulit di dalam hidupku. Apapun yang akan terjadi sampai aku mati nanti, aku tak akan pernah bisa melupakannya.” Namun, yang menarik dari tulisan tersebut adalah penjelasan Brand sebelum Gerrard terpeleset: Gerrard sudah biasa melakukan sentuhan seperti itu, dan ia, tulis Brand, “bisa melakukannya sambil tidur”.
Lantas, apakah kekalahan itu terjadi hanya karena kesalahan Gerrard?
Paul Joyce dalam tulisan lain di The Times mempunyai pandangan berbeda dari pengamat bola kebanyakan. Ia menilai bahwa terpelesetnya Gerrard sebetulnya hanyalah narasi tambahan di balik kekalahan tersebut. Liverpool, menurut Joyce, memang pantas kalah hari itu. Mereka terlalu percaya diri dan Jose Mourinho berhasil memanipulasi kelebihan lawannya itu dengan sempurna.
Jengkel karena jadwal pertandingan itu terlalu mepet dengan pertandingan Liga Champions, Mourinho memilih memainkan segerombolan pemain cadangan, termasuk Tomas Kalas yang menyebut dirinya sebagai “spesialis pemain sesi latihan” dalam pertandingan itu. Mark Schwarzer dan Mohamed Salah yang terbiasa menjadi karib bangku cadangan pun masuk jajaran pemain utama. Meski demikian, cara bermain Chelsea tetap sangat Mourinho: bertahan total dan mengandalkan serangan balik.
Lain itu, Mourinho juga punya strategi tambahan untuk memainkan emosi pemain-pemain Liverpool. “Manfaatkan waktu sebaik-baiknya,” kata Mark Schwarzer, kiper Chelsea, soal pesan Mourinho sebelum pertandingan. “Setiap bola keluar, tunda jalannya pertandingan sebisa kalian, dan buat Liverpool frustasi.”
Mourinho pun tak luput ambil bagian untuk memaksimalkan strategi itu. Ia sempat dilabrak Gerrard dan Jon Flanagan karena menahan bola yang ke luar lapangan. Padahal pertandingan baru memasuki menit ke enam.
Singkat cerita, dua pendekatan Mourinho itu ternyata manjur. Ia sukses mengubah rasa percaya diri pemain Liverpool menjadi luapan emosi yang tak terkendali. Walhasil, tak kunjung mampu membongkar pertahanan Chelsea, The Reds pun menyerang dengan mengesampingkan akal sehat.
Joyce mengingatkannya dengan catatan statistik: “Pada babak kedua Liverpool menguasai 77% penguasaan bola, melakukan 329 umpan sementara sang lawan hanya melakukan 98 umpan. Tapi yang perlu digarisbawahi: 15 dari 17 percobaan tembakan yang mereka lakukan terjadi dari luar kotak penalti.”
Dua pekan setelah itu, Manchester City membungkus gelar liga dan Liverpool harus gigit jari. Anak asuh Brendan Rodgers itu finis di urutan kedua, hanya tertinggal satu angka dari City.
Nyaris juara yang terakhir lantas terjadi pada musim lalu, 2019-2020. Kala itu, Liverpool sebetulnya tampil sangat hebat di sepanjang musim. Mereka berhasil mengumpulkan 97 angka dan hanya mengalami sekali kekalahan dalam 38 pertandingan. Sayangnya, ketika penggemar Liverpool semakin sering menyanyikan lagu “We’re going to win the league” setiap pekannya, City ternyata masih lebih hebat dari mereka.
Liverpool, menurut Rory Smith dari New York Times, pun menjadi tim terbaik yang gagal meraih gelar liga. Namun, meski kegagalan itu menyakitkan, Smith memberi pesan terang benderang, “Liverpool punya kebanggaan. Dan juga punya kekuatan: kekuatan untuk berjuang dalam perebutan gelar sampai akhir, kekuatan untuk mengalahkan lawan-lawannya, dan kekuatan untuk terus berproses.”
Lalu, apakah tim yang sekarang, yang sudah belajar dari banyak kegagalan dan mendekati kesempurnaan itu, pantas meraih predikat nyaris gagal juara yang ke empat?
Sebagai gambaran untuk menjawab pertanyaan itu, pada Jumat (24/4/2020), Liga Belanda Eredivisie telah resmi diakhiri tanpa ada juara, degradasi, dan promosi, sekalipun masih tersisa sembilan pekan lagi. Hal tersebut didasari oleh keputusan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, sehari sebelumnya. Semua acara publik, termasuk sepak bola profesional, dilarang hingga 1 September mendatang, untuk memutus penyebaran pandemi virus corona.
Tebak siapa yang justru jadi bulan-bulanan ketika berita mengenai berakhirnya Liga Belanda Eredivisie muncul? Ya, suporter Liverpool.
Hebat Luar Dalam
Pada 17 Februari 2019, dalam tulisannya yang berjudul “Liverpool The Best Hunters in History” di The Times, James Gheerbrant menganalisis kehebatan Liverpool musim ini. Ia menyebut bahwa ada banyak faktor, termasuk penampilan gemilang Alisson dan Virgil van Dijk, kemampuan dalam memanfaatkan bola mati, hingga umpan-umpan silang Trent-Alexander Arnold dan Andrew Robertson yang menyerupai seni. Namun ada satu faktor paling penting yang ia jelaskan secara mendalam: evolusi gegenpressing.
Sejak menangani Liverpool pada tahun 2015, Jurgen Klopp selalu menerapkan gegenpressing yang ia sebut sebagai “playmaker terbaik di dunia”. Segera setelah kehilangan bola, para pemain Liverpool akan menekan pemain lawan sekuat tenaga, terutama di daerah pertahanan lawan. Sayangnya, senjata utama Klopp tersebut justru lebih banyak melukai pemain-pemainnya sendiri: Liverpool seringkali kehabisan tenaga saat liga mendekati akhir musim kompetisi.
Belajar dari pengalaman tersebut, Klopp lantas mengubah cara anak asuhnya dalam melakukan gegenpressing. Tetap bertujuan untuk merebut bola di daerah lawan, gegenpressing tidak lagi dilakukan untuk menekan pemain lawan yang menguasai bola, melainkan menekan ruang yang dimilikinya.
Rinciannya, tulis Gheerbrant, “Liverpool secara sistematis akan mematikan segala opsi yang Anda miliki dengan menempatkan Anda di jalan buntu.”
Hasil dari pendekatan anyar ini ternyata mujarab. Pemain-pemain Liverpool tak perlu lagi banyak buang tenaga untuk merebut bola di daerah lawan. Statistik mencatat: jumlah tekel mereka menurun, tapi mereka lebih sering merebut bola di daerah lawan.
Musim lalu Liverpool rata-rata melakukan 16,1 kali tekel dan rata-rata hanya 4,89 kali merebut bola di daerah pertahanan lawan. Musim ini (setidaknya hingga Februari 2020), meski rataan tekel Liverpool hanya mencapai 15,2 per pertandingan, mereka rata-rata 6,62 kali merebut bola di daerah lawan, tertinggi dibanding tim-tim Premier League lainnya.
Yang menarik, tidak seperti tim 2008-2009 dan 2013-2014, kehebatan Liverpool di dalam lapangan tersebut juga didukung dua hal fundamental untuk meraih gelar: mental juara dan rasa percaya diri yang tidak berlebih.
Apa yang terjadi pada Desember 2019 lalu bisa menjadi contoh. Kala itu, Liverpool baru saja mengalahkan Leicester City 4-0 dan membuat mereka kokoh di puncak klasemen dengan selisih 13 angka. Namun, saat tim-tim lain mulai lempar handuk dan para pengamat sepakbola Inggris meyakini bahwa musim ini akan menjadi milik Liverpool, Jurgen Klopp justru mengatakan:
“Tidak pernah ada satu tim pun yang memimpin liga dengan jarak sejauh ini gagal menjadi juara. Namun, kata-kata seperti justru terdengar buruk bagi kami. Mengapa kami harus memikirkannya?”
Untuk semua itu, siapapun dan apapun seharusnya tak mampu menghalangi Liverpool menjadi juara liga pada musim ini, tak terkecuali COVID-19. Tim ini terlalu luar biasa untuk, sekali lagi, tiga kali nyaris menjadi juara liga.
Editor: Eddward S Kennedy