tirto.id - Sejumlah warga dari desa petani di Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban baru-baru ini menerima uang pembebasan lahan untuk proyek kilang minyak Pertamina-Rosneft. Nominal yang diterima masing-masing keluarga nilainya tidak main-main, bahkan ada yang mendapat Rp26 miliar. Sempat viral warga Desa Sumurgeneng berbondong-bondong membeli mobil baru, totalnya diperkirakan mencapai 190 unit.
Dirangkum dari Kompas(20/02/2021), empat warga desa menceritakan bagaimana mereka membelanjakan uangnya. Setelah dapat Rp15 miliar, seorang warga bernama Ali Sutrisno membeli 4 unit mobil. Ali beralasan ingin punya mobil seperti tetangganya. Selain itu, ada Wantono yang mengaku baru belajar menyetir setelah berhasil beli mobil. Uang senilai Rp24 miliar dipakai Wantono untuk ditabung, dibelikan tanah dan satu unit Mitsubishi Xpander. Siti Nurul Hidayatin membeli 3 unit mobil setelah mendapat Rp18 miliar. Siti juga akan berangkat haji bersama 8 anggota keluarganya, mendirikan TPA, dan menyimpan uangnya di deposito. Sementara itu, warga bernama Taim tidak beli mobil karena lebih memilih menabung dan punya lahan.
Aksi borong mobil di Sumurgeneng menuai perdebatan di dunia maya. Di Twitter, misalnya, ada kubu yang menganggap tindakan beli mobil kurang tepat karena harganya cenderung mengalami depresiasi dan biaya perawatannya tinggi. Kubu lain berpendapat bahwa hak warga desa berhak menikmati kekayaannya, karena mereka juga membeli aset-aset berharga lain seperti lahan pertanian, rumah, ternak, sampai simpanan deposito bank.
Sebelum warga menerima uang ganti untung pembebasan lahan, pihak Kecamatan Jenu sudah beberapa kali menyelenggarakan pelatihan yang difasilitasi Pertamina dan Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) Universitas Airlangga, Surabaya, seperti diutarakan Camat Maftuchin Reza kepada Tempo pada Rabu (17/2). Sosialisasi bertujuan agar uang tidak dihabiskan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif, melainkan juga dialihkan ke dalam bentuk aset tanah, usaha dan pertanian supaya hasilnya kelak bisa dinikmati anak-cucu.
Sejahtera dengan Literasi Keuangan
Penyuluhan kepada warga Tuban merupakan upaya otoritas setempat untuk mengedukasi publik akan pentingnya pengelolaan uang yang baik—belakangan populer dengan istilah pendidikan finansial atau literasi keuangan. Menilik riwayatnya, inisiatif ini mulai digencarkan sejak awal tahun 2000-an oleh klub bangsa-bangsa kaya, Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).
Pemerintah di negara-negara mapan ini mengamati peningkatan jumlah individu yang mengakses produk-produk keuangan. Fenomena itu terjadi bersamaan dengan semakin canggihnya ragam pasar keuangan yang mulai menyasar konsumen ritel. Pemerintah pun merasa perlu memberdayakan masyarakat di pasar keuangan agar bisa mengelola uang dan sumber daya milik pribadi dan rumah tangga dengan lebih baik.
OECD kemudian menyusun kerangka kebijakan yang bisa dijadikan acuan bagi negara-negara dunia untuk mengukur dan meningkatkan pengetahuan warga terkait tata kelola uang. Pada 2011, mereka merilis dokumen (PDF) berjudul “Measuring Financial Literacy: Questionnaire and Guidance Notes for Conducting an Internationally Comparable Survey of Financial Literacy”. Dokumen itu mendefinisikan literasi keuangan didefinisikan sebagai “gabungan dari kesadaran, pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku yang diperlukan untuk membuat keputusan keuangan yang bijaksana dalam rangka mencapai kesejahteraan finansial”.
Annamaria Lusardi dan Olivia S. Mitchell dalam studi (PDF) berjudul “The Economic Importance of Financial Literacy: Theory and Evidence” (2014), mengasosiasikan literasi keuangan dengan sejumlah manfaat penting, mulai dari keputusan untuk menabung dan berinvestasi dengan lebih cerdas, manajemen utang-piutang yang lebih baik, perencanaan pensiun yang lebih matang, partisipasi yang lebih tinggi di pasar saham, sampai akumulasi harta kekayaan yang lebih besar.
Singkatnya, seseorang dengan wawasan atau literasi keuangan yang tinggi, dipandang lebih rasional dalam mengelola harta, utang-piutang, sampai dana pensiun, sehingga hidupnya lebih terjamin sejahtera hingga masa tua.
Literasi Keuangan di Indonesia
Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) didirikan satu dasawarsa silam untuk mengawasi jalannya sektor perbankan, pasar modal, dan industri jasa keuangan non-bank seperti asuransi, dana pensiun sampai layanan berbasis teknologi atau fintech. Seiring waktu, mereka aktif mengedukasi publik tentang literasi keuangan melalui berbagai program pemberdayaan. Salah satu yang berskala besar adalah kampanye kerjasama dengan PT Bursa Efek Indonesia bertajuk “Yuk Nabung Saham”. Program ini dirancang untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam investasi pasar modal. Ada pula program Laku Pandai (Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif) untuk pemerataan ekonomi masyarakat desa dan kota. Selama pandemi, OJK juga rutin menyelenggarakan berbagai webinar literasi keuangan dengan target ibu rumah tangga, pegawai negeri, sampai calon pengantin.
Dikutip dari laman resmi OJK, literasi keuangan penting agar masyarakat dapat memanfaatkan layanan jasa keuangan sesuai kebutuhan, merencanakan keuangan dengan baik, dan terhindar dari risiko investasi dengan instrumen keuangan yang tidak jelas.
“Laporan Kinerja OJK 2019” (PDF) menampilkan hasil survei yang melibatkan lebih dari 12 ribu responden tentang inklusi dan literasi keuangan. Hasilnya, inklusi keuangan—akses masyarakat terhadap lembaga, produk, dan layanan keuangan—mencapai 76 persen. Sementara itu, indeks literasi keuangan mengalami peningkatan dari 29 persen pada 2016, menjadi 38 persen.
Hasil di atas menunjukkan betapa literasi keuangan belum seluruhnya menjangkau masyarakat Indonesia. Pada waktu yang sama, selisih persentase indeks inklusi dan literasi keuangan yang cukup besar mengindikasikan bahwa tingginya akses masyarakat terhadap layanan keuangan belum dibarengi bekal pengetahuan finansial yang kuat. Tanpa pemahaman yang matang tentang tata kelola dan produk jasa keuangan, ada kekhawatiran masyarakat bisa dirugikan dengan kemudahan akses jasa keuangan, terjebak dalam utang, atau jadi korban penipuan.
Investasi bodong adalah contoh kasus yang paling disorot beberapa tahun belakangan. Contohnya banyak, mulai dari MLM Talk Fusion, penipuan oleh pengembang perumahan berbasis syariah, aplikasi investasi MeMiles di kalangan artis, sampai investasi-asuransi BUMN Jiwasraya yang korbannya meliputi nasabah asing. Tanpa dibekali pemahaman dan keterampilan “memainkan” produk investasi, banyak orang dibuat tergiur oleh iming-iming keuntungan atau imbal balik tinggi, yang biasanya berada di atas rata-rata suku bunga acuan umum.
Hal tersebut menjadi salah satu tantangan gerakan literasi keuangan di Indonesia, seperti disampaikan Dr. Dumairy, M.A., dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, kepada Tirto (20/2). Menurut Dumairy, literasi keuangan selama ini cenderung fokus pada perkenalan beragam pilihan investasi selain deposito dan emas, seperti saham, obligasi dan turunannya. Meskipun risiko investasi juga dipaparkan, gerakan ini belum berhasil membikin terampil calon pemain pasar keuangan. “Literasi keuangan belum sampai membekali masyarakat dengan keterampilan untuk melakukan review terhadap untung-rugi bermain saham.”
Literasi Keuangan di Desa
Salah satu hal menarik lain yang bisa ditelisik dari hasil survei literasi keuangan OJK 2019 adalah kesenjangan indeks inklusi dan literasi keuangan antara warga desa dan perkotaan. Pengguna jasa dan produk keuangan di desa tercatat sebesar 68 persen, sedangkan di kota mencapai 83 persen. Terkait literasi keuangan di kalangan penduduk desa, persentasenya berkisar pada angka 34 persen, sementara di perkotaan mencapai 41 persen.
Dilansir dari Antara, OJK menyadari bahwa literasi keuangan di pedesaan, terutama tentang lembaga non-bank, memang masih rendah sehingga program sosialisasi perlu digencarkan lagi. Dalam satu tahun, OJK mengaku bisa menyelenggarakan program literasi keuangan di pedesaan sebanyak enam kali.
Sebenarnya, jauh sebelum istilah canggih “literasi keuangan” digaungkan melalui program-program OJK, wawasan keuangan untuk warga desa sudah diperkenalkan oleh lembaga perbankan. Dumairy mencontohkan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sejak dekade 1970-an sudah masuk ke desa. “Sebagai perintis literasi keuangan, BRI membukakan mata bankir Indonesia bahwa di desa ada banyak uang yang mengalir,” ujarnya.
Langkah bank masuk desa disebut Dumairy sebagai literasi praktis. “Tanpa perlu menggunakan jargon ‘literasi keuangan’, mereka langsung memperkenalkan dan mengakrabkan bank ke orang desa,” tambah Dumairy. Menurutnya, kampanye “melek bank” mendorong orang desa agar tidak takut dengan institusi keuangan.
Beberapa tahun terakhir, fintech juga semakin terlibat dalam pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) melalui sistem peer-to-peer lending. Selainmendorong terwujudnya transaksi keuangan yang lebih inklusif, fintech turut meningkatkan literasi keuangan di masyarakat yang belum terjangkau perbankan besar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai pihak, dari badan pemerintah hingga penyedia jasa-jasa keuangan, sudah bersinergi mengkampanyekan literasi keuangan baik di kawasan perkotaan dan pedesaan. Di samping perlunya penyelenggaraan edukasi keuangan yang lebih gencar, masyarakat juga diharapkan lebih aktif meningkatkan pengetahuan dan kapasitasnya berkenaan dengan tata kelola keuangan. Dengan demikian, masyarakat ikut berperan dalam memberdayakan dan mengedukasi diri tentang pentingnya mengutamakan kebutuhan daripada keinginan.
Editor: Windu Jusuf