tirto.id - Utang adalah siasat finansial yang sudah dikenal sejak zaman Mesopotamia, menjadi alternatif manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang konon tak ada habisnya. Ia berkembang mengikuti zaman, bertransformasi dalam aneka bentuk dan merasuk ke segala lini sosial. Utang tak mengenal golongan miskin atau kaya.
Utang memiliki makna yang luas. Namun dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, ia diartikan sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul pada kemudian hari karena perjanjian atau undang-undang.
Tanpa mengesampingkan manfaatnya, utang tetaplah utang. Selalu ada risiko yang mengintai. Bagi kreditur – penyedia utang, risiko yang dimaksud antara lain berupa kredit macet atau Non Performing Loan (NPL). Ini terjadi saat debitur – penerima utang – tak mampu ataupun lari dari kewajiban membayar cicilan. Ujungnya, kerugian melanda.
Sedangkan bagi peminjam, konsekuensinya adalah beban bunga yang berlipat dan menggunung. Jika tak mampu membayar, mereka bakal terlilit masalah dan bisa diseret ke ranah hukum. Meski begitu, bermacam alasan dan aneka faktor mendorong tak sedikit orang tetap memilih berutang, baik untuk keperluan konsumtif maupun modal.
Selaras dengan fungsi yang ia miliki, utang berupa kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumtif berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi RI. Ini terangkum dalam penelitian Nurjannah dan Nurhayati yang berjudul Pengaruh Penyaluran Kredit Investasi, Kredit Modal Kerja dan Kredit Konsumtif Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (2017).
Keduanya menganalisa pengaruh tiga macam kredit terhadap pertumbuhan ekonomi periode 2004-2015. Berdasarkan hasil uji koefisien determinasi, diperoleh nilai 0,606. Artinya, sebanyak 60,6% dari pertumbuhan ekonomi negara kita dijelaskan oleh kredit investasi, kredit modal kerja dan kredit konsumtif. Selebihnya dipengaruhi faktor lain.
Semasa pandemi, kebijakan mengenai utang juga masuk dalam rangkaian strategi Pemerintah RI guna memulihkan perekonomian nasional. Melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), pemerintah berupaya mengintegrasikan berbagai langkah untuk meminimalisasi dampak di tingkat individu, rumah tangga hingga korporasi.
Program Utang Modal dari Pemerintah
Ada enam kebijakan utama dalam program ini. Yakni penanganan kesehatan, perlindungan sosial, insentif bagi dunia usaha, dukungan untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), pembiayaan korporasi, serta program sektoral lembaga dan pemerintahan daerah. Regulasinya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020.
Khusus untuk pelaku UMKM, pemerintah memberi kelonggaran terkait pembayaran angsuran dan bunga kredit. Selain penundaan cicilan, mereka juga memeroleh fasilitas subsidi pembayaran bunga dalam jangka waktu tertentu atas kredit yang diambil melalui berbagai program. Mulai dari Kredit Usaha Rakyat (KUR), koperasi hingga Mekaar.
KUR adalah satu di antara program unggulan Pemerintah RI dalam meningkatkan akses pembiayaan UMKM produktif yang tidak punya cukup agunan tambahan atau kekurangan modal. Dananya disalurkan oleh lembaga keuangan seperti perbankan. Program ini terbit sejak 2007 dan skemanya terus mengalami perubahan.
Merujuk catatan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), realisasi KUR mencapai Rp365 triliun atau 97,95% dari target 2022 senilai Rp373 triliun. Total debitur berjumlah 7,62 juta orang, mereka terdiri atas pelaku usaha mikro 66,41%, usaha kecil 31,84%, super mikro 1,74% dan pekerja migran di bawah 1%.
Setelah konsisten meningkat lima tahun terakhir, kinerja penyaluran KUR turun pada 2023. Awalnya, pemerintah mematok target senilai Rp450 triliun, naik 20% dari 2022, tapi kemudian dipangkas menjadi Rp297 triliun. Alasannya karena keterbatasan anggaran subsidi. Sampai Juni 2023, penyalurannya juga masih Rp105 triliun atau 23,44% dari target semula.
Lebih lanjut, selain KUR skema pemodalan lain yang juga ditawarkan pemerintah adalah melalui koperasi. Dalam bukuEkonomi Koperasi (2009), Achmad Solihin dan Etty Puji Lestari menjelaskan bahwa kelahiran koperasi di negara maju dan negara berkembang bersifat diametral.
Di negara maju, koperasi lahir sebagai gerakan melawan ketidakadilan pasar. Sedangkan di negara berkembang, ia dihadirkan sebagai mitra negara untuk menyejahterakan rakyat.
Sasaran pemerintah berikutnya adalah Mekaar, akronim Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera, yaitu layanan pinjaman modal untuk perempuan prasejahtera pelaku UMKM yang diluncurkan PT Permodalan Nasional Madani (PNM) pada 2015.
Namun, skema permodalan tersebut disalahgunakan dan belum lama ini menggegerkan warga Desa Sukabakti, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Di desa itu, ratusan warga yang tidak pernah meminjam uang tiba-tiba terdaftar sebagai debitur. Perkara ini terkuak setelah seorang penduduk ditagih untuk membayar sedangkan yang bersangkutan sama sekali tidak pernah mengajukan utang. Setelah ditelusuri, ternyata lebih dari 400 orang mengalami nasib serupa.
Rentenir Lebih Dekat di “Hati”
Meski pemerintah menyediakan sederet program dan lembaga pinjaman bagi warga – seperti KUR, Mekaar, Bank Perkreditan Rakyat, Pegadaian, Pembiayaan Ultra Mikro (UMi), koperasi – namun faktanya masih banyak masyarakat yang memilih rentenir kendati bunganya bisa mencapai 100% sekalipun. Tentu ada alasan yang menyebabkan ini terjadi.
Secara harfiah, rentenir berasal dari kata rente. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ia didefinisikan sebagai orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengartikannya orang yang meminjamkan uang kepada masyarakat dalam rangka memperoleh keuntungan melalui penarikan sejumlah bunga.
Rentenir sering disebut tukang riba alias lintah darat, kesannya buruk. Tapi menurut Erni Rahayani dan Sotya Partiwi Ediwidjojo dalam penelitian berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaku Usaha dalam Berhubungan dengan Rentenir di Pasar Tumenggungan Kebumen (2021), ia tetap mempunyai sisi positif.
Suka tidak suka, faktanya praktik yang dilakukan kalangan rentenir mampu mempermudah masyarakat tatkala mereka membutuhkan dana cepat. Iming-iming yang diberikan antara lain proses pencairan relatif singkat dan persyaratan tidak rumit. Ia juga dijuluki agen perkembangan karena mampu menopang dinamika perdagangan.
Peran positif rentenir juga disinggung dalam penelitian Ilas Korwadi Siboro berjudulAnalisis Terhadap Fungsi Pinjaman Berbunga dalam Masyarakat Rokan Hilir Kecamatan Bagan Sinembah Desa Bagan Batu (2015). Ternyata, sebagian orang merasa lebih mudah dan efisien meminjam uang dari rentenir ketimbang bank atau lembaga pinjaman lain.
Sejatinya, dalam beberapa dekade terakhir, proses administrasi pembiayaan modal pada bank-bank konvensional sudah jauh lebih fleksibel. Syaratnya tidak terlalu berbelit serta jaminan dan bunga terbilang ringan. Belum lagi, keberadaannya juga sudah menjamur hingga pelosok.
Tapi faktanya, masih saja banyak orang yang justru memilih berurusan dengan rentenir ketimbang institusi legal tatkala memerlukan pinjaman untuk modal usaha. Hal ini disampaikan oleh Irma Novida dan Dede Dahlan dalam penelitian berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Berhubungan Dengan Rentenir (2020).
Ternyata, terdapat beberapa hal yang memengaruhi. Yang pertama soal kebutuhan. Hasil penelitian membuktikan bahwa ia berpengaruh signifikan terhadap masyarakat sehingga mau berhubungan dengan rentenir. Semakin tinggi tingkat kebutuhannya, maka semakin besar pula kemungkinan ia berurusan dengan lintah darat.
Faktor kedua adalah agama. Jika seseorang memiliki pemahaman religius yang baik, maka kecenderungan untuk berurusan dengan rentenir akan semakin berkurang. Begitupun sebaliknya. Selain segi kebutuhan dan agama, faktor jaminan turut menjadi penyebab di balik banyaknya masyarakat yang memilih ke rentenir.
Seperti diketahui, satu di antara syarat mendapatkan kredit dari lembaga keuangan adalah jaminan agunan. Ia bisa berupa apa saja, misalnya sertifikat tanah atau dokumen kendaraan. Selama ini, kalangan rentenir menawarkan jaminan yang lebih rendah ketimbang bank, sehingga mampu memikat calon debitur.
Alasan selanjutnya adalah kemudahan. Menurut peneliti, ini juga satu di antara senjata utama rentenir menarik minat masyarakat. Mereka rela menyambangi rumah ke rumah, toko ke toko, sehingga calon debitur tak perlu lagi repot-repot datang ke bank. Kemudahan lainnya juga termasuk prosedur dan waktu pencairan yang cepat.
Tentu tidak ada data spesifik berapa total putaran uang, debitur, dan jumlah rentenir di republik ini. Yang jelas, praktiknya bermacam-macam, misalnya berkedok koperasi atau pinjaman online. Beberapa laporan menunjukkan keberadaan mereka masih menjamur di tengah masyarakat. Sebab rentenir adalah mereka yang lihai memanfaatkan celah.
Dalam penelitian berjudul Efektivitas Program KUR Mikro untuk UMKM di Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Unit Bangkahulu (2021), Yudi Cahyadi dan Nola Windirah menemukan beberapa kekurangan atau kelemahan dalam program KUR. Antara lain kurangnya sosialisasi serta pemantauan dari petugas. Inilah satu di antara celah bagi para rentenir.
Hal itu selaras dengan hasil penelitian Nur Hidayah Agustin dkk yang berjudul Aksesibilitas UMKM Pedesaan Terhadap Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Syariah Indonesia (2023). Kendati bank penyalur KUR telah melakukan promosi, namun informasi yang diperoleh kalangan UMKM dianggap belum maksimal.
Terbukti, belum ada satupun pelaku UMKM di lokasi penelitian tersebut yang mengajukan kredit pembiayaan. Kondisi itu diakibatkan kurangnya pengetahuan atau pemahaman pelaku usaha, sehingga berbagai manfaat yang ditawarkan oleh program KUR tidak berarti sama sekali. Mereka tetap takut berurusan dengan pihak perbankan karena terkesan rumit.
Selain KUR, koperasi adalah penyedia pinjaman yang bisa dimanfaatkan para pelaku usaha saat membutuhkan tambahan modal. Namun, ia juga sering dijadikan kedok bagi para rentenir dalam melancarkan aksinya. Seperti dituliskan Anwar Sitepu pada studi berjudul Fenomena Rentenir: Studi Eksploratori di Kabupaten Bekasi dan Sekitarnya (2020).
Dari fakta-fakta di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan. Bahwa dibutuhkan upaya lebih untuk menutup celah-celah askes permodalan yang selama ini kerap disusupi lintah darat. Supervisi mutlak perlu ditingkatkan selain menggencarkan edukasi. Kontrol bisa dilakukan dengan memanfaatkan aparatur desa atau instansi pemerintahan di level terbawah.
Editor: Dwi Ayuningtyas