tirto.id - Limbah kopi dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan bakar pengganti gas untuk memasak kebutuhan sehari-hari. Penemuan ini dipaparkan Soni Sisbudi Harsono, Anggota Tim Peneliti Coffee For Social Welfare (CFW) Universitas Jember.
“Kulit kopi dapat dijadikan bahan bakar pengganti gas oleh masyarakat, sehingga dapat menghemat ekonomi. Kini tinggal bagaimana masyarakat diberikan pelatihan untuk mengolah kulit kopi menjadi bahan bakar,” kata Soni di Kampus Universitas Jember, Jawa Timur, Rabu (4/10/2017).
Limbah dari cangkang maupun kulit kopi yang sering ditemukan, Soni menjelaskan, menggunung pada saat musim panen raya kopi. Buangan kopi yang belum mendapatkan penanganan dengan baik ini bahkan bisa menimbulkan potensi sumber penyakit bagi masyarakat yang berada di sekitarnya.
“Limbah kopi itu bersifat asam, sehingga tidak bagus untuk tanah, dan berpotensi menjadi sumber penyakit bagi masyarakat sekitar. Biasanya masyarakat yang berada di sekitar limbah kopi sering sakit-sakitan, sehingga perlu ada upaya mengolah limbah dangan baik dan membawa berkah bagi masyarakat sekitar,” ungkapnya seperti dikutip Antara.
Ia mencontohkan, pada satu kali musim panen dari Mei hingga September, limbah kopi yang berada di sekitar perkebunan wilayah Kawah Ijen Bondowoso mencapai 4 ton. Buangan tersebut hanya akan menjadi sampah selama kurang lebih enam bulan.
“Setelah enam bulan, limbah kopi sudah bisa dijadikan pupuk organik untuk tanaman kopi, namun selama masa menunggu sampah tersebut bisa merusak kondisi tanah karena sifat asam dan air serapan dari sampah kopi tersebut sangat tidak baik ketika musim hujan air,” katanya menjelaskan.
Akibat kondisi tersebut, dosen dari Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Jember itu bersama dengan mahasiswanya berupaya agar limbah kopi bisa dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat.
“Misalnya dapat digunakan sebagai bahan bakar dan proses pembuatan bahan bakar berupa briket berbahan dasar kulit kopi cukup mudah yakni limbah kulit kopi dikeringkan hingga kadar airnya dibawah 12 persen,” jelasnya.
Ukurannya kemudian diperkecil sebelum dicampur dengan bahan lain seperti arang sekam atau grajen kayu yang dicampur dengan lem berbahan ketela yang dibuat sendiri. Setelahnya, campuran tersebut dimasukan pada mesin pencetak kemudian dikeringkan.
Ia menambahkan, untuk memproduksi pelet bahan bakar kompor itu terjangkau bagi masyarakat menengah ke bawah dan guna menghasilkan 1 kilogram briket hanya memakan biaya Rp6.500.
“Setiap kilogram bisa untuk memasak nasi 1 kilogram, masak air dan masak lauk pauk selama 8 jam, sehingga lebih hemat 25 persen dari total biaya gas bersubsidi dan sangat membantu mengurangi pengeluaran belanja rumah tangga,” tambahnya.
Kompor hemat energi dengan bahan bakar limbah kulit kopi yang telah berhasil diproduksi oleh Soni dan timnya, akan diproduksi secara massal untuk dibagikan atau dijual dengan harga murah kepada masyarakat sekitar perkebunan kopi.
“Tidak hanya kulit kopi, ranting, dan daun kopi pun bisa diproses sebagai bahan bakar kompor yang kami produksi. Api pun yang dihasilkan cukup besar bisa digunakan untuk rumah tangga ataupun usaha kecil seperti para penjual gorengan,” jelas Soni.
Melalui kompor buatannya, ia berharap dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama yang berada di sekitar perkebunan kopi dan akan membimbing masyarakat supaya bisa memproduksi kompor dan briket secara mandiri.
“Biaya untuk pembuatan satu kompor tidak lebih dari Rp125.000 dan bahan bakarnya pun tidak harus limbah kulit kopi karena bahan bakar berupa Biopelet itu juga bisa dibuat dari limbah kotoran binatang ternak,” tutupnya.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari