tirto.id - “Aku yakin, seharusnya mengirim uang semudah mengirim foto,” kata Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, suatu waktu. “Ya, tentu saja. Harus sederhana dan merupakan sistem transaksi yang aman."
Mimpi Zuckerberg atau Facebook soal sistem transaksi keuangan digital telah lama dipupuk. Mimpi itu bermula sejak 2012, alias tak lama selepas Facebook melakukan penawaran saham perdana (IPO), dalam bentuk percakapan antara eksekutif. Lantas, pada 2014, mimpi itu coba dibangun dengan merekrut David Marcus, bekas presiden PayPal, perusahaan perintis sistem transaksi keuangan digital.
Baru pada 2018, mimpi Facebook memiliki sistem transaksi keuangan digital terwujud. Kala itu, di India, pasar WhatsApp terbesar, Facebook mengujicobakan WhatsApp Pay, sistem transaksi uang digital yang memanfaatkan Unified Payment Interface (UPI), gateway uang digital milik pemerintah India.
Sebagaimana dilaporkan Financial Times, hanya dalam enam bulan sejak diluncurkan, WhatsApp Pay memproses antara 100 juta hingga 150 juta transaksi keuangan. Rata-rata, transaksi yang dilakukan menyangkut uang sebesar 1.000 rupee, yang menjadikan sistem keuangan milik Facebook ini memproses uang sekitar 150 miliar rupee atau sekitar $2 miliar.
Besarnya transaksi WhatsApp Pay di India tercipta karena India merupakan pasar terbesar aplikasi pesan instan ini. Terlebih, WhatsApp menyajikan 13 bahasa lokal yang dianut masyarakat India.
Masuknya sistem pembayaran digital ke WhatsApp mudah diadaptasi masyarakat India karena ini tak asing bagi mereka. Paytm telah lebih dahulu mensosialisasikan sistem pembayaran digital bagi masyarakat India.
Ravi C.S. dalam “Digital Payments System and Rural India: A Review of Transaction To Cashless Economy” (2017) mengungkapkan pemanfaatan Paytm telah mengakar hingga ke wilayah-wilayah pelosok di India. Terdapat 82.746 pedagang di wilayah pelosok India yang sudah terkoneksi dengan Paytm.
Di akhir 2018, mimpi sistem transaksi keuangan digital dipertajam. Kala itu, sebagaimana diwartakan Bloomberg, Facebook menguji coba mata uang kripto yang dapat ditransaksikan via WhatsApp, dengan India sebagai wilayah uji cobanya.
Kini, sebagaimana dilansir The Verge, Facebook berencana benar-benar bangun dari mimpi dan merilis sistem keuangan digital sesungguhnya. Konon, pada 18 Juni nanti, Facebook akan merilis uang kripto bernama Libra, dengan operasional penuh baru terjadi di tahun 2020.
Libra: Ketika Mata Uang Kripto Keluar Jalur
Pada 2007-2008 dunia mengalami masa suram, yakni krisis ekonomi global. Krisis bermula ketika BNP Paribas, bank yang berkantor pusat di Perancis, menyatakan ketidaksanggupan untuk mencairkan sekuritas (surat berharga) dari subprime mortgage, istilah bagi kredit perumahan yang diberikan kepada orang-orang yang memiliki rekam jejak kredit yang buruk, Amerika Serikat.
Kredit berisiko ini menguras banyak dana. Pada 2002, di awal penyaluran, uang senilai $200 miliar terkuras. Tiga tahun berselang, nilainya mencapai $500 miliar.
BNP Paribas sudah tidak sanggup lagi menopang subprime mortgage, sehingga akhirnya ekonomi banyak negara, khususnya yang berhubungan dengan Amerika Serikat, berguguran. Pada 2008, terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi secara global, dari 2,7 persen di 2007 menjadi 1 persen di tahun 2008.
Komoditas dunia terkena imbas. Minyak, misalnya. Pada Juli 2008, bahan bakar ini dihargai di angka $147 per barel. Namun, pada Desember di tahun yang sama, harganya melorot menjadi $47.
Dolar Amerika Serikat, si uang global, juga terkena imbas. Pada triwulan II-2008, nilai tukar dolar mencapai Rp9.193. Dolar kemudian melemah ke level Rp8.007 pada triwulan III-2008. Pelemahan dolar ini salah satu sebabnya ialah hilangnya kepercayaan publik atas dolar, atau atas sistem keuangan konvensional secara keseluruhan.
Keadaan ekonomi dunia yang lemah itu membuat Satoshi Nakamoto, sosok misterius yang hingga kini belum diketahui siapa sebenarnya, meluncurkan Bitcoin. Berdasarkan whitepaper berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System” yang ditulis Satoshi Nakamoto, Bitcoin merupakan versi peer-to-peer dari uang elektronik yang memungkinkan pembayaran online dilakukan secara langsung dari satu pihak ke pihak lain tanpa melalui institusi keuangan.
Secara teknis, Bitcoin memanfaatkan teknologi bernama Blockchain. Blockchain mendesentralisasikan basis data ke seluruh jaringan yang tergabung dengannya. Data yang disebarkan telah terlebih dahulu dienkripsi. Ketika data baru ditambah, seluruh komputer yang terlibat dalam jaringan berkewajiban memverifikasi data (node).
Dalam whitepaper itu, disebutkan bahwa Bitcoin hadir karena adanya dominasi institusi keuangan konvensional, termasuk perusahaan pihak ketiganya, dalam sistem transaksi digital. Institusi keuangan yang jadi penengah tersebut dianggap Nakamoto meningkatkan biaya transaksi dan membatasi.
Bitcoin ingin lepas dari itu. Selain mampu mengurangi biaya transaksi, Bitcoin bisa terhindar dari efek krisis keuangan global.
Sayangnya, selepas 10 tahun Bitcoin hadir, mata uang ini tak membumi. Misalnya, di banyak negara, Bitcoin dianggap ilegal. Lalu, nilai Bitcoin sangat fluktuatif. Pada Februari 2011, nilai 1 Bitcoin setara $1. Pada Desember 2017, nilainya menggelembung menjadi $19 ribu. Namun, tiga bulan lalu nilai 1 Bitcoin hanya berada di kisaran $3 ribu.
Facebook, si raja media sosial, ingin mengatasi permasalahan ini.
Dengan menjadi pemilik aplikasi Facebook, Instagram, dan WhatsApp, mudah bagi Facebook membuat mata uang buatannya membumi. India, seperti disinggung di atas, adalah kisah sukses Facebook. Pekerjaan rumah Facebook adalah melebarkan sayap WhatsApp Pay yang ada di India ke seluruh dunia.
Laporan Wall Street Journal menyebut bahwa sepertiga populasi dunia mengakses Facebook tiap bulannya. Dan orang-orang itu banyak melakukan transaksi jual-beli online. Facebook cukup hadir sebagai perantara, salah satu caranya, dengan menciptakan sistem serupa “Log In With Facebook,” alias “Pay With Facebook.”
Bagaimana mengatasi masalah fluktuasi? Mata uang kripto bikinan Facebook bukan Bitcoin, melainkan sub-uang kripto bernama stablecoin. Stablecoin merupakan mata uang kripto yang dirancang meminimalkan tingkat fluktuasi yang terlalu ekstrem. Caranya adalah dengan tergantung pada aset/komoditas/mata uang konvensional. Stablecoin, misalnya, yang tergantung pada dolar, naik-turunnya tergantung pada naik-turunnya dollar.
Terakhir, mata uang kripto bikinan Facebook tidak hendak lepas dari institusi konvensional dan mendesentralisasikan transaksi yang terjadi. Malahan, Libra akan dibuat Facebook sebagai mata uang yang tersentralisasi, terpusat pada konsorsium bernama Libra Association.
Sebagaimana dilaporkan The Verge, keberadaan Libra akan ditopang oleh konsorsium bernama Libra Association. Rencananya, Facebook ingin konsorsium ini diisi 100 anggota dan tiap anggota menyumbang dana sebesar $10 juta, alias dapat menyumbang $1 miliar.
Uang sebanyak itu akan digunakan Facebook untuk menopang kehidupan Libra, mulai dari pengembangan hingga pemasaran. Lantas, anggota konsorsium yang rela mengeluarkan uang akan memegang kendali node, alias menjadi pihak yang ikut memverifikasi transaksi yang terjadi pada Libra.
Kendali node yang hanya dipegang anggota konsorsium jelas berbeda 180 derajat dibandingkan Bitcoin atau mata uang kripto lainnya. Di Bitcoin, node dipegang siapa pun, yang umumnya ialah penambang. Bitcoin, sekitar 10 menit sekali, merilis informasi terkait transaksi terakhirnya. Rilisan informasi itu tercetak dalam bentuk cryptographic hash, suatu tanda tangan digital unik yang terdiri dari beberapa digit numerik atas suatu data digital. Data digital dalam kasus ini merupakan transaksi Bitcoin yang terjadi. Angka “1000”, misalnya, memiliki hash “40510175845988f13f6162ed8526f0b09f73384467fa855e1e79b44a56562a58”.
Penambang Bitcoin, melalui perangkat komputer atau mesin khususnya, diberdayakan oleh Bitcoin untuk menebak nilai input dari cryptographic hash yang dirilis Bitcoin. Ini dilakukan untuk memvalidasi apakah transaksi Bitcoin yang dilakukan merupakan transaksi sebenarnya ataukah tidak.
Libra meniadakan kerja Bitcoin itu dan seluruh transaksinya hanya dapat diverifikasi anggota konsorsium. Yang unik, Mastercard dan VISA, dua institusi yang dijauhi Bitcoin, jadi anggota konsorsium.
Dengan perbedaan kerja uang kripto dan rekam jejak Facebook yang buruk soal privasi pengguna, upaya Zuck melahirkan sistem transaksi digital ini dapat terkendala. “Saya tidak percaya mereka [Facebook] melakukan apa pun selain untuk meningkatkan interaksi di platform mereka," kata Joshua Gans, profesor manajemen pada University of Toronto.
Editor: Maulida Sri Handayani