tirto.id - Pada 1966, Mao Zedong, yang mendirikan Republik Rakyat Cina pada 1949 setelah memimpin ribuan gerilyawan untuk menghantam fasis Jepang dan fasis lokal seperti Chiang Kai-sek, punya masalah besar. Coleman Lowndes, dalam paparannya berjudul “This photo triggered China’s Cultural Revolution” untuk Vox, memaparkan masalah itu: Mao telah uzur.
Butut dari uzurnya Mao jelas banyak. Di usia senja, Mao, melalui Lompatan Jauh ke Depan (1958-1962)--program ciptaan Mao yang menjanjikan rakyat Cina kemakmuran dalam tempo singkat dengan memaksa angkatan kerja di pedesaan untuk bercocok tanam di tanah milik negara dan memproduksi baja dalam volume besar secara nonstop. Ditambah bencana alam, kebijakan gegabah ini membuat jutaan rakyat Cina sengsara dan mati kelaparan.
Selepas Nikita Khrushchev naik tahta di Uni Soviet, pengganti Joseph Stalin itu mencanangkan “de-Stalinisasi” untuk melucuti segala warisan Stalin--suatu hal yang menurut Mao sangat mungkin menimpa dirinya ketikatak lagi berkuasa. Padahal, Mao ingin dikenang selayaknya Vladimir Lenin dan Karl Marx.
Di saat bersamaan, desas-desus memburuknya kesehatan Mao--dan bahkan kabar kematiannya--menyebar di tengah masyarakat Cina. Mao, singkat cerita, butuh suatu gerakan untuk mengamankan nama baiknya. Gerakan itu, yang diumumkan pada 16 Mei 1966 melalui dokumen "The May 16 Notice” oleh Komite Sentral Partai Komunis Cina, ialah Revolusi Kebudayaan Proletariat Besar.
Austin Ramzy, dalam paparannya untuk The New York Times, menyatakan pada dasarnya Revolusi Kebudayaan merupakan gerakan elit politik untuk menegaskan bahwa Mao masih berkuasa dan--melalui tangan pemuda--menghabisi lawan-lawan politiknya, mengobrak-abrik hierarki Partai Komunis, dan menghajar kaum intelektual--kaum yang dicap sebagai “musuh kelas” dan dituduh memiliki ikatan dengan Barat.
Tentu saja Mao butuh stimulus untuk memenangkan hati kaum muda agar bergabung dengan Revolusi Kebudayaan. T tak lama selepas Revolusi Kebudayaan dicetuskan, Mao berenang di Sungai Yangtze untuk menunjukkan dirinya yang sudah berusia 72 tahun itu masih kuat, masih berjiwa muda. Sebuah foto yang dipotret fotografer pribadi Mao--yang tidak diketahui identitasnya--mengabarkan keperkasaan Mao itu ke seluruh penjuru negeri. Foto yang akhirnya dimasukkan oleh Majalah Time sebagai satu dari seratus foto paling berpengaruh di dunia.
Sayangnya, foto propaganda yang mengawali Revolusi Kebudayaan itu dibantah oleh foto-foto karya Li Zhensheng.
Li Zhensheng: Memotret Kebaikan Revolusi Kebudayaan, Lalu Membongkar Keburukannya
Nama Li Zhensheng diberikan oleh kakeknya. Artinya: “seperti lagu tenar, yang pemiliknya akan populer di seluruh penjuru dunia”. Li adalah seorang fotografer asal Cina, yang lahir pada 22 September 1940 di Dalian, Cina dari keluarga revolusioner. Ayahnya seorang juru masak di kapal, bergabung menjadi anggota Partai Komunis.
Di usia belia, Li tinggal di kota Dalian dan belajar melukis di Pusat Seni Rupa Rakyat Dalian dengan jadwal tiga malam per pekan. Ketika Mao memulai program Lompatan Jauh ke Depan (The Great Leap Forward) akhir dekade 1950-an, Li yang telah dianggap masuk angkatan kerja diwajibkan ikut bekerja sebagai buruh untuk memproduksi besi. Namun, karena ia menilai dirinya kurang cakap di pekerjaan itu, Li meminta tugas lain: menjadi bagian dari tim pelukis mural. Mural propaganda Mao, dan Li akhirnya melukis mural naga yang sedang mengarungi ombak ganas, simbol dari Lompatan Jauh ke Depan.
Usai menjadi bagian tim pelukis mural, Li kembali ke sekolah di mana ia diminta gurunya untuk membentuk klub fotografi dan menjadi ketuanya atas partisipasinya sebagai tim mural Mao. Tiruan kamera 120mm Brownie buatan Cekoslovakia yang dimiliki sekolah menjadi kamera pertama yang digenggam Li. Dari klub fotografi inilah Li jatuh hati pada dunia fotografi.
Selepas lulus sekolah menengah, Li pergi kuliah di jurusan sinematografi di Sekolah Film Changchun, di Provinsi Jilin. Sayangnya, pada 1963, akibat program Lompatan Jauh ke Depan yang tidak berjalan mulus, kampus itu tutup dan Li kemudian bekerja di Harbin sebagai pewarta foto The Heilongjiang Daily.
Kelak, Li merasakan betapa sebagai pewarta foto di Cina yang tengah bergolak membuatnya tak punya banyak pilihan selain ikut menyanjung Revolusi Kebudayaan. Sebagaimana ditulis Li dalam Red-Color News Soldier (2003), ia “juga percaya kepada Mao”, seperti halnya rakyat Cina kebanyakan.
Menurut Li, sikap percaya kepada Mao muncul karena “ia sedang berupaya untuk mencegah Cina ‘mengubah warnanya,’ bahwa kita semua bergerak maju menuju kemakmuran dan negara yang kuat.” Karena rasa percaya ini--yang dirasakan mayoritas rakyat Cina--banyak pelajar di Cina bergabung menjadi bagian Garda Merah.
Kembali merujuk tulisan Ramzy, Garda Merah merupakan pasukan khusus Mao yang didirikan untuk melancarkan program Revolusi Kebudayaan. Garda Merah diisi kalangan pelajar. Musuh-musuh politik Mao, termasuk tetua Partai Komunis yang menentangnya, jadi sasaran utama. Di bawah kampanye melenyapkan “Empat Tua” (gagasan, adat istiadat, budaya, kebiasaan tua), Garda Merah melakukan penghancuran situs-situs bersejarah. Perlahan Garda Merah menjadi brutal, sesuatu yang lambat disadari Li.
Sebagai pewarta foto The Heilongjiang Daily, Li turut bertugas meliput Revolusi Kebudayaan. Yang unik, untuk memperoleh akses hampir tanpa batas ke acara-acara Revolusi Kebudayaan, Li kemudian memakai pita merah bertuliskan “Prajurit Berita Merah". “Saya perhatikan bahwa orang-orang yang mengenakan pita Prajurit Berita Merah dapat mengambil foto dengan bebas.”
Li diberi Leica M3 dan Rolleiflex, yang kemudian diganti perusahaan dengan kamera murahan buatan Shenzhen lengkap dengan 15 rol film 35 mm dan 120 mm saban bulannya. Namun, yang patut diperhatikan Li, selama hajatan besar Mao itu, “pewarta foto dilarang keras menjepret ‘potret negatif’ Revolusi Kebudayaan. Melalui ratusan rol film itulah Li sukses memotret situasi di sekitar Revolusi Kebudayaan di Cina, tepatnya di Provinsi Heilongjiang, di sekitar kota Harbin.
Yang menarik, Li ternyata bukan hanya mengambil ‘foto positif’ Revolusi Kebudayaan, tetapi juga ‘foto negatif.’ Beberapa fotonya ialah tentang eksekusi enam penjahat biasa dan dua pembangkang yang menurut Li, “ditembak selepas dibariskan”.
“Tidak ada yang meminta saya mengambil potret mayat, tapi itulah yang saya lakukan,” tegas Li.
Alasannya, Li menilai Revolusi Kebudayaan seiring waktu melenceng dari yang dijanjikan Mao. Revolusi Kebudayaan berkembang menjadi program pembantaian musuh-musuh Mao demi menjaga citra dan warisan Sang Tetua. Pada Agustus 1966, Li bahkan melihat langsung kebrutalan Garda Merah. Kala itu, anggota Garda Merah memukuli warga sipil dan gubernur Li Fanwu sambil meneriakkan yel-yel “antek-kapitalis!” dengan alasan yang dibuat-buat.
Catatan sejarah menyebut, Garda Merah membantai banyak rakyat Cina. Diperkirakan 500.000 hingga delapan juta rakyat tewas.
Alasan lain, sebagaimana dituturkan lewat buku yang ia tulis: “Guru saya di Wu Yinxian, yang memotret Mao pada dekade 1930-an, sekali waktu pernah berkata bahwa tugas seorang pewarta foto bukan hanya sebagai saksi sejarah, tetapi (dan terutama) adalah mencatat sejarah.” Baik dan buruk Revolusi Kebudayaan, menurut Li, adalah sejarah yang sama-sama harus dicatat.
‘Foto negatif’ Revolusi Kebudayaan yang dibidik Li tidak pernah terbit di The Heilongjiang Daily. Ia memilih menyimpan negatif ‘foto negatif’ Revolusi Kebudayaan di laci khusus yang dirancangnya sendiri di kantornya. Sayangnya, meskipun tidak terbit, cukup banyak orang tahu Li menyalahi aturan tugas sebagai pewarta foto dalam aksi-aksi Revolusi Kebudayaan. Li ketahuan memotret aksi-aksi bengis Garda Merah. Pada 1 Oktober 1968, Li bahkan diburu Garda Merah. Di sekitar kantornya terpampang poster bertuliskan: “Hantam Li Zhensheng! Hancurkan maskasnya.”
Atas aksi Li, rekan-rekannya di kantor tidak menyukainya. Bahkan, Li dituduh sebagai “borjuis baru”--kelas sosial yang jelas-jelas menjadi sasaran utama Garda Merah.
Untunglah, ketika Garda Merah menyerbu kantor Li, ia telah memindahkan negatif ‘potret negatif’ ke rumahnya. Dan ketika Mao meninggal pada 1976, Li memperoleh kepercayaan bahwa potret-potret kekejaman Revolusi Kebudayaan tidak akan berakhir di lacinya, melainkan di tangan publik dunia. Pada 2003, hampir 40 tahun selepas Revolusi Kebudayaan usai, melalui bukunya itu, tragedi Revolusi Kebudayaan terpampang jelas oleh foto-foto karya Li, meskipun Pemerintah Cina getol berupaya membuat bukunya tidak terbit.
Pada 23 Juni lalu Li berpulang.
Editor: Windu Jusuf