tirto.id - Korea Utara memang menerapkan sistem kediktatoran yang bersifat totaliter. Tapi Anda keliru jika menganggap tidak ada pemilihan umum di negara itu.
Korut menggelar pemilihan 687 anggota Majelis Rakyat Tertinggi pada 10 Maret 2019. Lembaga tersebut difungsikan sebagai badan legislatif nasional. Anggotanya mewakili berbagai distrik di seluruh negeri. Mereka dipilih setiap lima tahun sekali, sementara anggota badan legislatif daerah dipilih per empat tahun sekali.
Pada pukul 11.00 waktu setempat pemimpin tertinggi Korut Kim Jong-un tiba di Kim Chael University of Technology untuk memberikan hak suaranya. Ia memilih presiden kampus, Hong So-hon, untuk menjadi wakil Majelis Rakyat Tertinggi. Rakyatnya banyak yang sudah memilih sejak bilik suara dibuka pagi hari.
Mengutip CNN World, dua hari berselang Komite Pemilihan Pusat mengumumkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu mencapai 99,99 persen. Pemilu juga dianggap sukses maksimal karena seluruh pemilih memilih kandidat yang tertera di surat suara, alias tidak ada surat suara yang tidak sah.
Bagaimana proses pemilu itu dijalankan adalah fenomena yang unik sekaligus menantang konsep pemilihan umum yang biasa dijalankan di negara lain.
Analis Fyodor Tertitskiy menjelaskan pada BBC bahwa pemilu legislatif adalah agenda yang wajib diikuti oleh warga Korut yang berusia 17 tahun ke atas. Aturan ini menjadi pencerahan mengapa tingkat partisipasinya di tiap pemilu nyaris mendekati sempurna.
Beberapa orang konon ada yang diperbolehkan untuk izin tidak ikut pemilu, biasanya karena sedang dalam kondisi sakit berat. Mengingat betapa kerasnya rezim Korut dalam menegakkan setiap aturan, muncul lelucon bahwa di hari pemilihan tidak ada orang yang meninggal, dan semua dalam kondisi sehat wal afiat.
Loyalitas tiap warga diukur dari antusiasme pada hari H. "Sebagai sebuah tanda loyalitas, kamu diharapkan datang ke lokasi pemilihan sedini mungkin, yang artinya akan melahirkan antrean yang panjang," kata Tertitskiy.
Tertitskiy memaparkan bagaimana proses pemilihan dikoordinasikan dan diawasi betul oleh petugas pemilu yang dibantu aparat keamanan negara. Pemilih dibawa ke bilik untuk diberi surat suara. Tidak seperti surat suara di pemilu pada umumnya, kertas itu hanya mencantumkan satu nama kandidat.
Kandidat tunggal adalah calon anggota Majelis Rakyat Tertinggi untuk perwakilan distrik di mana proses pemilihan dilaksanakan. Ia hasil pilihan masing-masing partai peserta pemilu. Korut memang dikontrol oleh Partai Buruh Korea, namun tidak menjadi satu-satunya partai di negara yang didirikan Kim Il-sung itu.
Dua partai lainnya adalah Partai Sosial Demokratik Korea dan Partai Chondoist Chongu. Tidak banyak informasi yang diperoleh tentang keduanya. Tapi mereka selalu mendapat kursi minoritas di Majelis Rakyat Tertinggi (di bawah 10 persen dan 5 persen, sementara sisanya, di bawah 2 persen, jadi jatah wakil independen).
Kedua partai bersama Partai Buruh Korea membentuk Front Demokratik untuk Reunifikasi Tanah Air. Koalisi inilah yang mengontrol Majelis Rakyat Tertinggi.
Dengan kata lain, pemilu di Korut sesungguhnya hanya formalitas memilih orang-orang yang sudah ditunjuk oleh koalisi tersebut untuk bertugas sebagai legislator nasional maupun daerah selama lima tahun ke depan.
Ujung-ujungnya kembali ke Partai Buruh Korea, alias rezim Kim Jong-un, sebagai pemegang kursi mayoritas di majelis sekaligus menjadi kekuatan terbesar di koalisi (selalu di atas 85 persen).
Saat surat suara sudah di genggaman, pemilih dihadapkan pada dua pilihan: mendukung kandidat atau menolaknya. Jika mendukung, pemilih dipersilakan keluar dari bilik untuk memasukkan surat suara ke kotak suara yang diletakkan di tempat terbuka. Sekali lagi, agar proses memasukkannya mudah diawasi.
Terakhir, si pemilih diharapkan bergabung ke grup penggembira di luar gedung pemilihan untuk mengekspresikan kegembiraan karena telah diberi kesempatan untuk ikut pemilu. Media pemerintah selalu menggambarkan pemilu sebagai acara yang meriah sebab orang-orang bersemangat untuk merayakannya.
Secara teoritis, si pemilih punya hak untuk menolak kandidat. Caranya adalah dengan memasukkan surat suara ke kotak khusus penolakan.
Tapi, menurut Fyodor, imbasnya adalah si pemilih akan ditangkap aparat kepolisian rahasia lalu dicap sebagai orang gila. Itu baru satu konsekuensi. Intinya: menolak kandidat tunggal yang tercantum di surat suara adalah tindakan yang berisiko besar.
Roger Cavazos, mantan letnan tentara AS dan pengamat Korea Utara, berkata pada Al-Jazeera bagaimana orang yang menolak kandidat tunggal akan otomatis dicap sebagai pengkhianat negara. "Sebab dianggap menantang sistem Bimbingan Pemimpin Tertinggi karena menolak pilihan yang ditawarkan," imbuhnya.
Roger melanjutkan, di tataran minimum, ketidakloyalan seorang warga negara Korut akan berdampak pada pengawasan ekstra ketat serta hukuman seperti dipecat dari pekerjaan. “Sebab tempat tinggal seseorang terkait pekerjaannya, kehilangan mata pencaharian hampir selalu berarti kehilangan rumah.”
Mina Yoon adalah pembelot dari Korut yang berhasil keluar dari negara tersebut pada 2011. Kepada Telegraph ia mengungkapkan alih-alih berfungsi sebagai manifestasi demokrasi, pemilu di Korut kerap dipakai sebagai alat sensus belaka.
Pemerintah pusat mempercayakan tugas ini kepada inminban, organisasi lokal di tingkat dusun yang beroperasi selayaknya Rukun Tetangga (RT) di Indonesia.
Warga yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih dikumpulkan dan dikoordinasikan kepala inminban ke tempat pemungutan suara. Di mana-mana biasanya sudah terpasang poster propaganda pemilu dengan tulisan “semua memilih kandidat”. Terpampang juga wajah keluarga Kim, yang membuat banyak warga membungkukkan badan sebagai tanda hormat.
Kepala inminban sudah memiliki daftar pemilih lengkap, dan akan menginvestigasi nama-nama yang tidak hadir di pemilu. Hal ini menjadi kekhawatiran khusus bagi otoritas di wilayah dekat perbatasan karena dikhawatirkan yang bersangkutan telah membelot ke Cina atau Korea Selatan atau negara lain.
“Seringkali selama masa pemilihan, di mana pemerintah menyadari para pembelot dan orang-orang yang dinyatakan hilang,” kata Mina Yoon.
Hari pemilihan menurut Mina adalah waktu yang sangat ironis karena warga Korut tidak diperbolehkan untuk mengekspresikan pandangannya. Mengingat negaranya totaliter, kesadaran berdemokrasi di Korut juga amat sangat minim.
“Pemerintah Korut tidak pernah mengajari siswa sekolah soal mengapa pemilu itu penting. Orang-orang tidak tahu tentang hak untuk memilih. Pemilu justru jadi ajang pendidikan patriotisme. Saat sosialisasi pemerintah mengumpulkan orang-orang di alun-alun untuk meneriakkan slogan seperti 'Ayo usir tentara AS dari Korsel!',” kata Mina.
Pengurusan administrasi pemilu dilakukan satu bulan sebelum hari pemilihan. Oleh sebab itu mereka yang sedang melakukan perjalanan bisnis di tempat yang jauh diminta untuk pulang kampung. Sekali lagi, keikutsertaan dalam pemilu adalah wajib untuk setiap warga negara yang memenuhi syarat.
“Para pembelot di Cina mempertaruhkan nyawa mereka untuk kembali ke Korea Utara. Aksi mereka seharusnya bersifat rahasia. Jika pemerintah tahu mereka berstatus hilang, maka pemerintah bisa menyakiti keluarga atau orang-orang yang mereka cintai,” ungkap Mina.
“Mereka yang terbiasa dengan kehidupan di Cina, yang lebih baik daripada di Korea Utara, cenderung melarikan diri lagi," imbuhnya.
Pada akhirnya banyak pengamat politik yang menilai pemilu di Korut selayaknya lelucon lima tahunan. Andrei Lankov, direktur lembaga think tank Korea Risk Group, berkata pada Guardian bahwa pemilu Korut adalah hasil dari kebutuhan untuk melegitimasi rezim dengan merekayasa prosedur demokratis.
Tradisi itu menurut Andrei dilakukan oleh negara komunis bergaya Soviet lawas. “Rezim di negara-negara itu percaya bahwa mereka mampu menghasilkan demokrasi yang belum pernah dilihat dunia, sehingga mereka membutuhkan pemilihan umum untuk menjadi bagian dari legitimasi rezim,” jelasnya.
Partisipasi orang-orang di bilik suara dilakukan sebagaimana mereka menjalankan “ritual-ritual wajib” lain. Tujuannya tak lain untuk memperkuat rasa kesetiaan kepada pemerintah dan persatuan sosial. Mengapa pemilu dirasa efektif untuk mencapai tujuan tersebut?
“Sebab manusia mencintai simbolisme,” pungkas Andrei.
Editor: Windu Jusuf