tirto.id - Gerakan mahasiswa akan menggelar unjuk rasa menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih pada Minggu 20 Oktober 2019 mendatang. Mereka bahkan disebut akan berdemo saat Joko Widodo-Ma'ruf Amin dilantik di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.
Sebagai wakil rakyat yang seharusnya mendengarkan aspirasi masyarakat, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet justru meminta para mahasiswa tak menggelar unjuk rasa.
“Saya berharap kepada adik-adik mahasiswa untuk mengurungkan niat demo karena harus menghormati peristiwa pelantikan presiden besok, karena peristiwa sangat sakral bagi bangsa kita dan akan disaksikan oleh dunia,” kata Bamsoet di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Selasa (8/10/2019).
Politikus Partai Golkar itu meminta mahasiswa untuk menjaga nama baik bangsa dengan tak menggelar aksi unjuk rasa di saat Jokowi-Ma'ruf Amin dilantik pada 20 Oktober nanti. Apalagi saat itu banyak kepala negara sahabat yang diundang.
“Jadi kalau adik-adik mahasiswa demo itu kurang elok bagi bangsa kita, bangsa kita sendiri, jadi kami berharap para adik-adik urungkan niat demo itu karena yang kita utamakan adalah nama baik bangsa,” kata Bamsoet.
Tak hanya itu, mantan ketua DPR RI itu justru melempar bola panas ke Mahkamah Konstitusi. Ia menyebut persoalan revisi UU KPK bisa diajukan ke MK untuk diuji materi karena secara perundang-undangan, MK yang berwenang.
“Jadi salah alamat kalau demonya ke DPR karena tugas DPR sudah selesai,” kata Bamsoet.
Semestinya DPR Tampung Aspirasi
Kepala Kajian Aksi Strategis BEM UPN Veteran Jakarta, Dzuhrian Ananda menyebut keenganan Bamsoet agar tak ada aksi demonstrasi di hari pelantikan menggambarkan ketakutan lembaga DPR/MPR. Semestinya ia menampung aspirasi masyarakat, apa pun tuntutannya.
“Jadi saya rasa apa yang dinarasikan Bamsoet adalah bentuk ketakutan pemerintah bahwasannya pelantikan presiden akan digagalkan,” ujar Dzuhrian saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (9/10/2019).
Padahal, demonstrasi merupakan sarana penyampaian pendapat di muka umum yang dilindungi undang-undang. Jadi sepanjang dilakukan sesuai regulasi yang ada, maka demonstrasi sah-sah saja dilakukan.
Dzuhrian pun memastikan aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa beberapa waktu lalu sama sekali tak ada narasi untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah ataupun menggagalkan pelantikan presiden-wakil presiden.
"Kami tetap bertahan pada tuntutan kami, pada tujuan tuntutan kami,” kata Dzuhrian.
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menganggap DPR sebagai wakil rakyat tidak mampu membaca keresahan-keresahan yang terjadi pada rakyatnya, dengan melarang demonstrasi hanya karena menjaga nama baik saat pelantikan.
Menurut Rivanlee, adanya demonstrasi justru menunjukkan negara telah mengakomodir hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapatnya.
"Keliru jika menilai demo sebagai standar untuk mengukur nama baik bangsa," kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Rabu (9/10/2019).
Baru dilantik pada awal Oktober 2019, DPR/MPR periode 2019-2024 sudah melarang masyarakat untuk menggelar aksi unjukrasa. Hal ini mau tak mau membuat cap buruk lebih awal untuk lembaga legislatif ini, padahal mereka pun belum bekerja.
“Itu pernyataan memalukan, karena citra yang dia bayangkan juga salah," kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati kepada reporter Tirto.
Asfinawati mengatakan, demonstrasi sah dilakukan di negara yang menganut sistem demokrasi.
Ia menyebut, tak perlu khawatir bangsa ini akan tercoreng nama baiknya hanya karena aksi demonstrasi digelar berbarengan dengan pelantikan presiden-wakil presiden.
“Sebenarnya korupsi itu yang memalukan nama baik bangsa,” kata Asfinawati.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz