tirto.id - Cina terus menunjukkan diri sebagai negara adidaya dalam berbagai bidang, seperti hal Rusia dan Amerika Serikat. Tak terkecuali dalam mendirikan stasiun ruang angkasa. Mereka resmi meluncurkan stasiun luar angkasanya pada Juli lalu.
Selama ini, tercatat hanya ada dua negara raksasa dunia yang punya pangkalan stasiun luar angkasa, yakni Rusia dan Amerika. Rusia menjadi negara pertama yang berhasil mengirimkan stasiun ruang angkasanya yang bernama Salyut pada 1971. Kini Rusia memiliki stasiun antariksa bernama Mir, sedangkan Amerika Serikat salah satu negara yang bergabung dalam stasiun antariksa gabungan ISS (International Space Station).
Adapun Cina telah membangun laboratorium untuk meluncurkan program stasiun luar angkasa bernama Tiangong sejak tahun 2011 lalu. Seperti ditulis Xinhua, stasiun ruang angkasa ini diperkirakan memiliki berat sekitar 60 ton dan terdiri dari modul inti dengan dua unit laboratorium untuk percobaan.
Panjang modul pusatnya 18,1 meter, dengan diameter maksimum 4,2 meter, dan berat peluncuran 20 hingga 22 ton. Modul laboratorium akan lebih pendek dengan hanya 14,4 meter, namun memiliki diameter dan berat yang sama.
Profesor Jiang Guohua dari Pusat Penelitian dan Pelatihan Astronot Cina, seperti dikutip The Guardian, mengatakan bahwa fasilitas yang ada akan dirancang untuk bertahan selama sekitar satu dekade dan mendukung tiga astronot bekerja pada ilmu pengetahuan mikro, ruang radiasi biologi, dan astronomi. Program ini juga independen untuk negara Cina dan tidak berhubungan dengan peluncuran satelit negara lainnya seperti pada stasiun luar angkasa ISS.
Pada 2022 nanti ditargetkan proyek ini sudah menempatkan kru antariksa sendiri secara bertahap dan dibagi menjadi tiga modul besar dalam peluncurannya.
Tiangong-1 tercatat sebagai tahap pertama yang telah diluncurkan pada 2011 lalu dan mengakhiri masa tugasnya pada Maret lalu setelah mengorbit setinggi 370 kilometer. Diperkirakan, Tiangong-1 akan mendarat di bumi pada tahun 2017 nanti.
Tiangong-2 sebagai konstruksi stasiun luar angkasa kedua juga telah diluncurkan di Gurun Gobi pada Kamis, 15 September 2016 kemarin. Dengan berat 8,6 ton, Tiangong-2 nantinya mengorbit di ketinggian 380 kilometer dan memiliki teknologi yang telah terverifikasi sebagai konstruksi dari stasiun antariksa mereka.
Dua astronot juga akan dikirimkan melalui penerbangan misi Shenzhou-11 ke Tiangong-2, membawa proyek penelitian mereka yang berhubungan dengan perbaikan peralatan pengorbitan, pengobatan medis dalam pesawat antariksa, fisika dan biologi antariksa, penelitian panas dan atom yang ada di ruang angkasa. Mereka akan bertugas selama 30 hari.
Sedangkan pada tahap akhir di Tiangong-3 nantinya akan memiliki kapasitas 3 awak astronot yang menopang kehidupan selama 40 hari. Dengan panjang 18.1 meter berdiamater 4.2 meter dan berat 22 ton akan melengkapi sebuah stasiun luar angkasa Tiangong secara utuh yang akan dimulai pada tahun 2022 nantinya.
Sebelumnya, pada 15 Oktober 2003, Cina juga telah berhasil mengirimkan manusia pertamanya untuk terbang ke luar angkasa menggunakan Shenzhou-5 dengan dibawa oleh roket Long March 2F. Ini juga mencatatkan Cina sebagai negara ketiga yang mengirimkan awak manusianya secara independen setelah sebelumnya dilakukan oleh Uni Soviet yang kemudian menjadi Rusia dan oleh Amerika Serikat.
Simbol Politik
Sulit memungkiri bahwa program penempatan stasiun luar angkasa ini selain untuk kepentingan penelitian dan eksplorasi luar angkasa juga memenuhi ambisi negara itu untuk sejajar dengan negara adidaya lainnya.
Jejak proyek luar angkasa Republik Rakyat Cina sebenarnya diawali dari pengembangan nuklir di Cina. Pertemuan untuk membahas tentang negara tersebut harus menjadi kekuatan nuklir dilaksanakan pada musim dingin tahun 1955 yang dipimpin langsung oleh Mao Zedong.
Ketika itu faktor dari Amerika Serikat yang mengancam akan menggunakan senjata nuklir saat Perang Korea berlangsung juga berperan. Bagi Mao Zedong, program penangkal nuklirlah yang akan menjamin keamanan negara Cina yang baru berdiri.
Pada bulan Mei 1956 diputuskan untuk mendirikan sebuah lembaga penelitian rudal Akademi Kelima dibawah Kementerian Pertahanan Nasional. Tahun berikutnya, 1957 tercatat Uni Soviet meluncurkan satelit pertamanya di dunia bernama Sputnik I untuk mengorbit bumi, sekaligus menjadi penanda penguasaan Uni Soviet terhadap roket.
Melihat itu, Mao menegaskan lagi bahwa Cina harus sejajar dengan negara superpower lainnya. Untuk mempercepat proyek tersebut, bantuan dari Uni Soviet diterima meski kemudian terhenti karena perpecahan Sino-Soviet pada 1959an.
Kebijakan Cina juga berubah dengan pengembangan nuklir secara mandiri pada 1959 setelah perpecahan tersebut. Hasilnya tidak mengecewakan, Cina berhasil menguji coba bom nuklirnya pada tahun 1964 di sebuah lokasi Lop Nor di Cina Barat Laut yang perangkat itu dinamai 596.
Baik sepeninggalan Mao Zedong maupun masa Perang Dingin, proyek luar angkasa Cina terus bergerak secara bertahap termasuk pengembangan rudal. Hingga sampai pada pencapaian tahap stasiun luar angkasa untuk mengejar ketertinggalan kurang lebih 40 tahun dari Amerika Serikat dan Rusia.
Saat ini, stasiun luar angkasa yang masih aktif mengorbit adalah International Space Station (ISS) yang diluncurkan sejak tahun 1998 silam. ISS pada akhirnya juga menjadi proyek bersama lima badan antariksa seperti Jepang, Rusia, Kanada, Uni Eropa dan Amerika Serikat sendiri.
Sebelumnya, seperti yang tercatat stasiun luar angkasa pertama di dunia adalah Salyut milik Uni Soviet dengan periode 1971 sampai 1986. Memiliki dua jenis, Durable Orbital Station (DOS) untuk sipil dan stasiun Almaz sebagai militer.
Dua tahun berselang, Amerika Serikat tidak mau kalah dengan meluncurkan stasiun luar angkasa bernama Skylab pada 1973 sampai 1976 dengan mendukung tiga kru. Disusul kembali dengan hadirnya stasiun luar angkasa bernama Mir milik Uni Soviet dan kemudian Rusia pada periode 1988 sampai tahun 2000 lalu.
Dengan hadirnya stasiun luar angkasa Tiangong yang dijuluki Istana Surga, praktis ISS yang selama ini menjadi gabungan negara-negara Eropa, Amerika dan bahkan Rusia akan mendapat pesaing dari Cina.
Oleh salah satu staf penasihat NASA mengatakan bahwa proyek itu sebagai simbol politik yang kuat dalam fase terakhir berkembang pesatnya program luar angkasa Cina.
Sedangkan Professor Michael Sheehan dari Swansea University menuliskan untuk BBC, dalam hal ini Cina telah mencapai kemampuan seperti negara adidaya dalam urusan program luar angkasa berawak. Dan sejak meluncurnya Tiangong-1 serta penerusnya adalah bukti simbolis Cina muncul sebagai negara adidaya di abad 21.
Lebih lanjut, Cina juga telah mengakuisisi banyak teknologi baru dan vital seperti kapal induk, kereta api berkecepatan tinggi, sistem anti-satelit dan sebagainya tidak hanya untuk memenuhi kemajuan negaranya secara mandiri dan pertumbuhan ekonomi mereka, sekaligus sebagai simbol lain yang membedakan kekuatan besar dari para pesaing mereka.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani