tirto.id - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta bantuan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyempurnakan daftar rekomendasi yang sebelumnya telah dikeluarkan Kementerian Agama. Ada 200 nama mubalig yang masuk dalam daftar.
Dalam waktu dekat, MUI dan Kemenag akan memusyawarahkan penambahan nama itu.
Lukman bersikukuh bahwa Kemenag berkewajiban memberi rekomendasi mubalig, kendati banyak menuai kritik. Menurutnya, langkah tersebut sudah tepat untuk merespons aspirasi yang berkembang di masyarakat.
"Masa sesuatu yang mereka harapkan lalu kami cabut lagi? Kan tidak pada tempatnya," kata Lukman di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Ditjen Bina Masyarakat Kementerian Agama, Muhammad Yamin, enggan berkomentar soal rencana pertemuan bersama MUI tersebut.
"Ndak bisa [berkomentar]. Nanti saja kalau sudah selesai," ujarnya kepada Tirto melalui sambungan telepon, Kamis (24/5/2018).
Selain membantu Kemenag, MUI ternyata juga punya rencana sendiri. Mereka hendak menstandardisasi ulama-ulama yang ada di Indonesia--gagasan yang sebetulnya telah dikemukakan sejak tahun lalu, tapi kemudian menguap begitu saja.
Urgensi Standardisasi
Wakil Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat Fahmi Salim mengatakan standardisasi diperlukan sebagai upaya meningkatkan kualitas para mubalig yang ada di Indonesia. Standardisasi, katanya, jadi makin diperlukan karena semakin banyak kegiatan yang menghadirkan mubalig untuk berceramah atau sekadar memimpin doa. Mubalig, dalam keterangan Fahmi, jadi mirip seperti komoditas.
"Karena konsumsi masyarakat, mubalig harus berkualitas. Jadi masyarakat yang menerima dakwah itu harus memilih konsumsi yang berkualitas," ujarnya saat dihubungi Tirto, (24/5/2018).
Fahmi menekankan bahwa standardisasi versi MUI tak seperti sertifikasi yang biasa dilakukan organisasi profesi. Kalau standardisasi MUI sama seperti sertifikasi, itu sama saja dengan membatasi para mubalig dan menghilangkan kebebasan berdakwah. Padahal, lanjutnya, Islam menganjurkan setiap orang untuk berdakwah—sampaikanlah walau hanya satu ayat, demikian salah satu hadis.
"Kalau sertifikasi itu kesannya bisa buruk. Seakan-akan mereka berlomba-lomba hanya mendapatkan sertifikat yang sifatnya cenderung ekonomis. Filosofi dakwahnya sudah lain," imbuhnya.
Standardisasi versi MUI bertujuan untuk memetakan kompetensi mubalig berdasarkan keilmuan, pengalaman dan pemahaman kebangsaan. Para mubalig yang telah distandardisasi bakal dikelompokkan secara vertikal: ada yang layak jadi mubalig dengan kompetensi tingkat provinsi, nasional hingga internasional.
MUI tidak mulai dari nol kalau niat ini benar-benar direalisasikan. Mereka telah punya pedoman dakwah yang dirumuskan olehnya dan enam orang lain, yaitu Abdusshomad Buchori, Solahudin Al-Aiyub, Cholil Nafis, Risman Muchtar, Ahmad Zubaidi, dan Samsul Maarif. Dalam pedoman itu juga terdapat materi-materi yang diprioritaskan dalam berceramah serta kode etik mubalig.
Lantaran itulah, menurut dia, proses standardisasi bisa diserahkan kepada MUI saja, alih-alih diurusi juga oleh Kemenag.
"Saya kira MUI saja sudah mewakili. Karena ormas itu kan menginduk ke MUI," ujarnya.
Ketua PBNU Masyudi Syuhud mengaku sangat setuju jika mubalig distandardisasi. Ia berpendapat bahwa menyebarkan ajaran Islam memang dibutuhkan kompetensi. Terkait siapa yang perlu melakukan standardisasi, menurut dia, tak perlu terpusat. Sebaiknya diserahkan ke masing-masing ormas.
Kalaupun tujuan utamanya gagal dan masih banyak mubalig yang isi ceramahnya mengganggu ketertiban umum, maka menurut Masyudi hal itu bisa dimaklumi. "Setidaknya kita bisa tahu bagaimana kompetensi keilmuan mubalig kita secara umum," katanya kepada Tirto.
Mereduksi Dakwah
Berbeda dengan narasumber lain, Ketua Perhimpunan Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Azhar, menganggap standardisasi oleh MUI justru cenderung mendegradasi makna dakwah. Sebab, kata dia, kualifikasi seorang pendakwah tak hanya dilihat dari caranya berkomunikasi atau konten ceramahnya, tapi juga perilaku.
"Dalam Alquran itu kan ada pesan bahwa setiap muslim harus sadar bahwa menyampaikan yang makruf dan mencegah mungkar itu adalah kewajiban, dan itu adalah dakwah. Jadi kalau [ada] standardisasi, seakan-akan dakwah itu profesi, kerjaan, padahal bukan," terangnya.
Meski tak sepakat dengan penilaian seperti itu, Dahnil setuju soal poin peningkatan kualitas. Namun, hal itu tak perlu dilakukan pemerintah. Cukuplah ormas Islam yang sudah ada untuk melakukannya.
"Buatlah pelatihan itu. Dai-dai ini difasilitasi dong. Itu lebih konstruktif ketimbang standar yang nantinya malah mendegradasi makna dakwah."
Peran pemerintah dalam pandangan Dahnil seharusnya sebatas membantu saja. Itu pun jika dibutuhkan.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino & Maulida Sri Handayani