tirto.id - Sebelum Lionel Messi, ada Ladislao Kubala yang lebih dulu ditahbiskan sebagai dewa di Camp Nou. Di era 1950-an, reputasi Kubala begitu moncer di mata pendukung Barcelona. Namanya dipuja dan dielu-elukan setiap sang pemain mencetak gol kemenangan.
Kubala menghabiskan waktu di klub Catalunya ini selama 11 tahun. Mengumpulkan 357 pertandingan, 281 gol, serta 15 trofi—4 di antaranya adalah La Liga. Pencapaian mengesankan itulah yang menempatkan Kubala pada status legenda.
Sepakbola adalah cara Kubala menghadapi kehidupannya yang berliku. Ketertarikan terhadap olah raga tersebut sudah mekar sejak usianya kecil. Ibunya berharap Kubala menghabiskan banyak waktu dengan buku. Tapi, Kubala kadung jatuh hati pada sepakbola.
Bakatnya mengolah kulit bulat, tulis The Guardian, sudah muncul ketika ia bergabung dengan klub lokal Hungaria bernama Ferencvaros, dan mencetak 19 gol di kompetisi liga. Usianya waktu itu masih 18 tahun. Tak lama setelahnya, Kubala pindah ke Ceko dan bergabung dengan Slovan Bratislava.
Akhir 1940-an, rezim komunis Uni Soviet menguasai Hungaria. Keadaan ini membuat Kubala muak. Ia tak ingin terlibat dalam propaganda rezim. Maka dari itu, ia memutuskan untuk melarikan diri agar tak diminta berpartisipasi dalam wajib militer.
Tahun-tahun berikutnya lalu menjadi petualangan Kubala. Ia berpindah dari satu negara ke negara yang lain dan hidup dalam pengasingan. Ia pernah menyamar sebagai prajurit Soviet demi bisa menyusup ke Austria, tinggal di sebuah kamp pengungsi di Roma, sampai membentuk tim sepakbola yang berisi para eksil dari negara-negara Eropa Timur—yang kisahnya kemudian diangkat ke film berjudul Kubala: Stars In Search of Peace.
Keadaan itu membuat otoritas Hungaria melayangkan surat kepada FIFA. Isinya meminta Kubala dilarang beraktivitas di dunia sepakbola karena mangkir dari panggilan negara. FIFA pun menyetujui dan menjatuhkan hukuman kepada Kubala.
Bagi pesepakbola, hukuman FIFA tak ubahnya mimpi buruk. Bayangan akan karier yang hancur seketika muncul di depan mata. Namun, dalam kasus Kubala, yang terjadi tidaklah demikian. Larangan bermain dari FIFA tak menghentikan terang sinarnya sebagai pesepakbola.
Kuat, Penuh Gaya, Lima Trofi dalam Semusim
Selalu ada harapan di tiap penderitaan. Penampilan Kubala di kesebelasan yang berisikan para eksil rupanya menarik perhatian petinggi klub-klub besar di Eropa, terutama Real Madrid dan Barcelona. Oleh kedua klub itu, Kubala jadi rebutan. Pada akhirnya, pilihan Kubala jatuh ke Blaugrana.
Ada banyak versi cerita tentang kesepakatan kontrak antara Kubala dan Barcelona, demikian tulis Alex Leonard dalam “The Great Refugee: How Laszlo Kubala Became a Barcelona Legend” yang terbit di These Football Times (2017).
Cerita yang terkenal ialah Kubala diperdaya oleh Pep Samitier, Kepala Pemandu Bakat Barcelona, untuk menandatangani surat kontrak saat dirinya tengah mabuk. Barcelona ingin ambil langkah agar tak kalah cepat dari Madrid.
Pertanyaan berikutnya: Bagaimana dengan status Kubala yang kena hukuman dari FIFA? Rumor yang berkembang, seperti dicatat Jimmy Burns dalam bukunya La Roja: A Journey Through Spanish Football (2012), Samitier menggunakan koneksi orang dalam rezim diktator Franco untuk mengatasi masalah birokrasi tersebut.
Terlepas dari tingkat akurasi kebenarannya, yang jelas, Kubala tetap bermain untuk Barcelona.
Debut Kubala baru terjadi hampir satu tahun usai kontrak ditandatangani. Tak butuh waktu lama baginya untuk nyetel dengan tim. Di bawah asuhan Ferdinand Daucik, Kubala berhasil mencetak 26 gol dalam 19 pertandingan di musim pertamanya. Ini termasuk ketika ia menjebol gawang Sporting de Gijon sebanyak tujuh kali—menjadi rekor yang belum terpecahkan sampai sekarang.
Di akhir musim, Barcelona berhasil menggondol lima piala sekaligus: gelar liga, Copa del Generalísimo, Copa Eva Duarte, Piala Latin, dan Copa Martini Rossi. Barca di era ini, yang diisi para pemain sekaliber Kubala, Ramallets, Seguer, Biosca, Segarra, Gonzalvo III, Basora, César, Moreno, dan Manchón, lantas dijuluki El Barca de les Cinc Copes (Barca dengan Lima Trofi).
Lebih dari setengah abad berselang, prestasi Barca era Kubala berhasil disusul dan dilewati oleh skuat yang dilatih Pep Guardiola dengan enam piala dalam satu musim.
Sebagai pemain depan, Kubala punya kemampuan lengkap: insting menjebol gawang di atas rata-rata, tendangan akurat, serta kecerdasan membaca arah permainan. Tak cuma itu saja, ia juga punya fisik yang kuat, berotot, dan agresif—berkat perkenalannya dengan tinju di masa muda.
Sid Lowe bahkan, dalam bukunya Fear and Loathing in La Liga: Barcelona Vs Real Madrid (2012), menggambarkan Kubala seperti “Hulk” dengan “otot-otot yang beriak”. Namun, meski dikenal punya fisik prima, Kubala tetap memperhatikan estetika permainan. Apa yang melekat pada sosok Kubala merupakan terobosan baru di sepakbola era 1950-an.
“Ia tak bisa dihentikan,” kenang rekan satu timnya, Joan Segarra. “Ia memiliki banyak gerakan sehingga [pemain] lawan tak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Ia akan melewati satu, dua, dan tiga [pemain] dengan mudah dan penuh gaya, sebelum akhirnya ia menghancurkan mereka lewat gol.”
Popularitas Kubala seketika melambung. Di kalangan para pendukung, muncul sebutan “Kubalamania” yang loyal serta meramaikan stadion tiap Kubala bermain. Berkat Kubala pula, keanggotaan klub meningkat—dan jumlahnya bejibun.
Pemandangan ini ditangkap jajaran petinggi klub. Sadar bahwa ketenaran Kubala mendatangkan banyak penonton, pihak manajemen menjanjikan mereka pembangunan stadion baru, dengan kapasitas yang proporsional—dua kali lebih besar ketimbang bangunan lama di Les Corts (26.300 penonton).
Janji ini diucapkan Francesc Miro-Sans, Presiden Barca, saat kampanye pada 1953. Setelah terpilih jadi presiden lagi, Miro-Sans merealisasikan janjinya. Stadion baru itu diberi nama Camp Nou dan resmi dibuka pada September 1957.
Bintang Tanpa Legitimasi
Kepergian Daucik pada 1954 sedikit-banyak berpengaruh pada mental Kubala. Baginya, Daucik tak sekadar pelatih; tapi mentor, saudara, sekaligus sahabat. Kedatangannya ke Barca juga tak bisa dilepaskan dari andilnya.
Saat Duacik hengkang, prestasi Barca sedang tersendat. Pamor Kubala tertutup kedahsyatan Real Madrid yang saat itu tengah memulai kampanyenya untuk menguasai sepakbola Spanyol dan Eropa. Dari rentang waktu 1956 sampai 1961, Madrid lima kali menyabet Piala Champions secara beruntun, empat kali juara La Liga, dan sekali menggondol Piala Interkontinental.
Kunci kejayaan Madrid kala itu berada pada duet maut Alfredo Di Stefano dan Ferenc Puskas. Di Stefano merupakan penyerang ulung: mencetak 216 gol dalam 284 pertandingan di Madrid. Sedangkan Puskas, yang datang ke Madrid saat usianya sudah menginjak angka 31, terkenal dengan kemampuan kaki kirinya serta reputasinya membikin 84 gol dalam 85 pertandingan bersama tim nasional Hungaria.
Demi memutus hegemoni Madrid, Barca mendatangkan Helenio Herrera pada 1958. Sesaat setelah ditunjuk, Herrera segera merombak sistem kepelatihan. Ia menambah durasi berlatih dan menggenjot mental para pemain. Metode Herrera mampu menghasilkan dampak positif. Barca memulai misinya begitu baik. Bahkan, mereka dapat mengalahkan Madrid empat gol tanpa balas.
Namun, upaya Herrera runtuh akibat konfliknya dengan Kubala. Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics (2008) menulis bahwa konflik keduanya berpusat pada citra juga taktik. Herrera dianggap tidak nyaman dengan status dan kelakuan Kubala di Barca.
Di luar lapangan, Kubala punya gaya hidup yang amburadul. Ia peminum berat, suka pesta, dan sering kali absen latihan. Klub bukannya tak mengetahui polah Kubala. Namun, mereka tak berupaya menegurnya karena tahu Kubala adalah aset yang berharga.
Keadaan ini mendorong Herrera untuk mengambil langkah apa pun agar Kubala dipecat. Bagi Herrera, Kubala hanya benalu yang menggerogoti keharmonisan tim dengan sikap indisipliner. Herrera kemudian datang ke jajaran direksi untuk menyampaikan aspirasinya. Alih-alih mendukung, para bos justru membela Kubala. Saat itu juga, Herrera paham bahwa kariernya di Barca sudah berakhir.
Kendati bergelimang prestasi, Kubala nyatanya kurang diapresiasi di luar Eropa. Pasalnya, pencapaiannya di klub hanya sebatas berjaya di level domestik. Sementara di tingkat negara, Kubala juga tak dapat berbicara lebih mengingat ia diboikot oleh negaranya sendiri, Hungaria.
Padahal, bila tak diboikot, Kubala mungkin saja mampu berprestasi mengingat timnas Hungaria saat itu sering disebut sebagai tim terbaik di eranya. The Magnificent Magyars, begitu julukannya, bisa melaju sampai final Piala Dunia 1954 sebelum akhirnya dikalahkan Jerman Barat dengan skor tipis 3-2.
Bayangkan apa jadinya Hungaria bila Kubala diperbolehkan bermain dan membentuk duet maut bersama Ferenc Puskas.
Kekurangan-kekurangan itu, toh, tidak melunturkan kehebatan Kubala sebagai pesepakbola. Melihat Kubala adalah menyaksikan bagaimana seseorang menggunakan sepakbola untuk lari dari penindasan, pencarian jati diri, dan membangun loyalitas. Dari sini, tak salah memang jika pada 1999 ia dipilih sebagai Pemain Terbaik Barcelona Abad 20.
“Kubala adalah salah satu [pemain] yang terbaik yang pernah ada. Permainannya natural, kegembiraannya nyata bagi para penggemar. Yang paling aku ingat darinya adalah semangat persahabatannya. Ia menunjukkan kesetiaan sebagai teman,” kata Alfredo Di Stefano.
Editor: Eddward S Kennedy