tirto.id - Komisi Yudisial (KY) meminta majelis hakim supaya tetap independen dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama,
"Kemerdekaan dan independensi hakim diperlukan untuk menjamin imparsialitas dan keadilan dalam memutus perkara," ujar Juru Bicara KY Farid Wajdi seperti dikutip Antara, Rabu (3/4/2017).
KY mengimbau seluruh pihak supaya menghormati prinsip independensi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
"Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan, yakni bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis," tegas Farid.
Selain independensi, hakim tetapi juga memiliki akuntabilitas sehingga dapat menjalankan peradilan yang bersih, dipercaya oleh masyarakat dan menjadi kekuasaan kehakiman yang berwibawa, tambah Farid.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjadwalkan sidang pembacaan putusan perkara penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada Selasa (9/5) di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta.
Jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut hakim menjatuhkan hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun kepada Ahok karena menilai tindakan Ahok memenuhi unsur pidana sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sebelumnya juga beredar kabar Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) akan melakukan aksi pada 5 Mei atau aksi 505 untuk menuntut keadilan pada hakim yang akan menjatuhkan vonis terhadap Ahok.
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) Bachtiar Nasir berdalih aksi itu bukan dalam rangka menekan proses hukum, melainkan agar hakim mempertimbangkan yurisprudensi kasus penistaan agama.
"Kami tegaskan saat ini kami tidak pada posisi ingin menekan hukum. Kami hanya ingin menuntut keadilan yang merupakan hak kami sebab terlalu terang di depan mata ketidakadilan ini seakan-akan tidak ada yurisprudensi sebelumnya," kata Bachtiar di Tebet, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Bachtiar menerangkan, ketidakadilan sudah terlihat saat persidangan tidak menuntut terdakwa penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama dengan pasal 156 tentang penodaan kepada golongan daripada pasal 156a tentang penodaan kepada agama.
Dalam persidangan, kata Bachtiar, jaksa tidak menggunakan yurisprudensi dari perkara-perkara penistaan agama sebelum kasus Ahok. Ia mengaku sudah mengetahui skenario tersebut sejak awal, sehingga proses ini pun dinilai telah mencederai peradilan.
"Ini bukan saja mempermainkan hukum. Hukum untuk hukum itu sendiri, bukan hukum untuk sebuah keadilan, tetapi ini juga sudah mengusik rasa keadilan umat Islam Indonesia sebagai stakeholder terbesar bangsa ini, sebagai pemberi pengaruh besar bangsa ini," kata Bachtiar.
Penulis: Agung DH
Editor: Agung DH