tirto.id - Di Kampung Hutapungkut, Kotanopan, Mandailing Natal, Hajjah Saharah Lubis meradang. Ia tak sudi anak laki-lakinya, Abdul Haris Nasution bin Abdul Halim Nasution, jadi tentara kolonial pada tahun 1940. Anaknya yang lain disuruhnya untuk menjemput Haris--begitu Nasution dipanggil.
“Ini ongkosmu ke Bandung, ambil kembali si Haris,” kata Saharah, seperti ditulis Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas; Kenangan Masa Muda (1989:67). Menurut Nasution, orang-orang Hutapungut tidak senang bekerja sebagai tentara Belanda.
Meski demikian, Nasution nyatanya bergeming. Dia tetap pada pilihannya: menjadi prajurit. Menurutnya, ada kesempatan menarik dalam pelatihan perwira yang diikutinya di Bandung. Setelah lulus dari Akademi Militer Bandung, dia berpangkat Letnan Muda KNIL.
Selain Nasution, orang Batak lainnya yang belajar di Akademi Militer Bandung dan menjadi serdadu KNIL adalah Tahi Bonar Simatupang yang biasa dipanggil Sim. Jika Nasution di bagian infanteri, maka Simatupang pada bagian zeni. Dalam buku Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos (1991:84) Simatupang mengatakan, dia memilih zeni karena bagian ini mempunyai pengetahuan yang menyerupai kecakapan insinyur teknik sipil. Artinya, jika suatu saat dia berhenti sebagai tentara, maka ada ada bidang pekerjaan lain yang bisa dilakukannya.
Namun, Simatupang juga punya mimpi di kemiliteran. Dia ingin membuktikan bahwa suatu hari Indonesia bisa membangun tentara sendiri. Dia ingin membungkam omongan Meneer Heintje, guru sejarahnya di SMA Kristen Salemba, yang mengatakan bahwa Indonesia tidak bisa membangun tentara. Setelah lulus dari Akademi Militer Bandung, Simatupang sempat jadi perwira penghubung KNIL sebelum tentara Jepang menguasai Indonesia.
Sebelum Simatupang, sudah ada pemuda Batak lain di korps zeni. Tapi bukan pada bagian tempur, melainkan sebagai opzichter (pengawas) bangunan, yaitu Friedrich Silaban. Setelah lulus dari sekolah teknik menengah kolonial (Koningen Wilhelmina School) di Jakarta pada tahun 1931, Silaban dihadapkan pada situasi ekonomi global yang terpuruk. Dulu orang-orang menyebutnya “zaman meleset” (pelesetan dari malaise): depresi ekonomi dunia sejak 1929 dan ikut menghantam Hindia Belanda. Untuk bertahan hidup, Silaban akhirnya bekerja di KNIL.
Menurut laporan Bataviaasch Nieuwsblad (03/03/1934), Silaban sudah bekerja sebagai pengawas bangunan di korps zeni KNIL sejak 1934. Sementara Setiadi Sopandi dalam Rumah Silaban (2008:9-10) menyebutkan, pemuda Batak kelahiran 16 Desember 1912 ini pernah dikirim ke Palembang dan Pontianak sekitar tahun 1937-1939. Dalam masa dinasnya, Silaban pernah memenangkan sayembara pada 1935, yaitu rancang bangun rumah Walikota Bogor dan sebuah hotel di daerah pergunungan.
Pada zaman jepang, ketiganya menjadi orang bebas: tak terikat dinas militer Belanda, juga tidak ditawan Jepang. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Nasution dan Simatupang menjadi petinggi TNI. Begitu pula perwira-perwira Batak didikan Jepang. Sementara Silaban belakangan dikenang atas karya arsitekturnya, salah satunya Masjid Istiqlal.
Tentara Kolonial, Federal, dan Nasional
Orang-orang Batak, seperti dicatat Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia? Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkata Darat (1988:1), baru bisa diterima sebagai serdadu kolonial tanpa masa percobaan sejak tahun 1929. Pada tahun itu, anggota KNIL kebanyakan berasal dari Ambon, Minahasa, dan Jawa. Serdadu-serdadu bawahan dari tiga suku itu banyak yang menerima penghargaan militer Bintang Ksatria Kerajaan Belanda seperti Miitaire Willemsorde kelas empat.
Sebelumnya, sebagaimana dilansir Sumatra Post (28/12/1929)--jika ingin menjadi serdadu KNIL--orang Batak terlebih dahulu harus menjalani masa percobaan. Artinya, pada awalnya mereka kurang begitu dipercaya oleh Belanda. Namun pada masa itu, Tarutung pernah kedatangan seorang Batak yang telah menjadi sersan kelas dua KNIL. Dia datang dari Bandung dengan tujuan merekrut 60 orang Batak untuk dijadikan serdadu KNIL.
Sekitar tahun 1940-an, di Sidikalang dan Siborongborong terdapat orang Batak pensiun KNIL yang menjadi anggota veteran, Bond van Inheemsch Gepensioneerde Militairen (perkumpulan pensiunan militer). Dalam majalah Trompet nomor 73 Februari 1940 disebutkan, Kopral M. Mandjuntak, Prajurit Infanteri kelas satu Koeasa Saragi, dan Prajurit Infanteri kelas satu P. Sitokang menjadi pengurus organisasi pensiunan tersebut di Sidikalang.
Sementara di Siborongborong, juga disebut majalah Trompet nomor 72 Januari 1940, yang jadi organisasi pensiunan militer itu adalah Kopral Simandjoentak, Prajurit A. Simbolon, dan Prajurit infanteri kelas satu Lamisana Radja.
Setelah Indonesia merdeka, orang Batak banyak yang menjadi tentara federal Negara Sumatra Timur. Pasukan ini semacam batalion keamanan yang bernama Barisan Pengawal Negara Sumatra Timur, berjumlah empat batalion. Julukannya Blauw Pijpers (Biru Tua), mengikuti warna seragamnya.
Dalam pasukan ini terdapat Nokoh Barus, sosok yang pernah dilatih Jepang dan melakukan pemberontakan terhadap balatentara fasis tersebut. Selain dia, ada juga Djomat Purba, mantan Inspektur Polisi Medan yang dijadikan komandan tertingginya dengan pangkat kolonel. Juga Letnan KNIL Manus Manik yang baru pulang dari Belanda.
Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit (1995:402), Manus Manik berada di Belanda ketika Perang Dunia II berkecamuk di Eropa. Serdadu kelahiran 7 Juli 1914 itu sejak 1945 menjadi letnan cadangan kelas dua infanteri dinas khusus yang ditempatkan di Srilangka. Sejak 1947 pangkatnya menjadi letnan kelas satu.
Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, para mantan tentara federal Negara Sumatra Timur kemudian masuk TNI. Menurut Kawilarang dalam biografinya yang berjudul A.E. Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1988:178), Manus Manik juga masuk TNI berpangkat mayor dan bertugas di Komando Tentara dan Teritorium Sumatra Utara. Sementara Nokoh Barus menjadi komandan pasukan di Jawa Tengah--di bawah komando Ahmad Yani--dengan pangkat kapten.
Editor: Irfan Teguh