tirto.id - Negara Sudan sedang bergejolak karena kudeta militer (mengambil alih kekuasaan). Mereka membubarkan pemerintahan sipil dan menangkap para pemimpin politik, bahkan menyatakan keadaan darurat.
BBC News melaporkan, kudeta militer itu dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah Burhan. Alhasil, protes pun meletus di beberapa kota termasuk ibu kota Khartoum, bahkan tiga orang dilaporkan meninggal karena ditembak angkatan bersenjata.
Para pengunjuk rasa itu berada di jalan-jalan ibu kota dan mereka menuntut untuk tetap dipimpin pemerintahan sipil.
Kepada kantor berita AFP, seorang demonstran bernama Sawsan Bashir mengatakan: "Kami tidak akan meninggalkan jalan-jalan sampai pemerintah sipil kembali dan transisi kembali."
Sedangkan pengunjuk rasa lainnya, Haitham Mohamed mengatakan: "Kami siap memberikan hidup kami untuk transisi demokrasi di Sudan."
Setelah kudeta itu terjadi, tentara dan pasukan paramiliter pun dikerahkan di kota Khartoum, bandara kota ditutup, penerbangan internasional ditangguhkan, internet juga padam. Selain tiga korban tewas, 80 lainnya dilaporkan mengalami luka-luka.
"Ada ketegangan dan juga kekerasan karena orang-orang mencoba pergi ke markas tentara ... mereka disambut dengan tembakan," kata pembela hak asasi manusia Duaa Tariq kepada BBC.
Tariq mengatakan, ada ketakutan dan kebingungan di jalan-jalan, tetapi juga solidaritas di antara para pengunjuk rasa. Para pemimpin dunia telah bereaksi dengan waspada terhadap langkah militer tersebut.
Perdana Menteri Ditangkap
Para militer juga dilaporkan menangkap Perdana Menteri Sudan, Abdallah Hamdok dan istrinya. Mereka ditahan dan menjadi tahanan rumah bersama anggota kabinet dan para pemimpin sipil lainnya. Namun, sampai saat ini belum ada yang mengetahui keberadaannya.
Orang-orang yang ditahan itu adalah bagian dari pemerintah transisi yang dirancang untuk mengarahkan Sudan menuju negara demokrasi setelah masa pemerintahan Presiden Omar al-Bashir.
Kabarnya, Abdallah Hamdok sempat ditekan untuk mendukung kudeta tetapi ia tak mau dan justru mendesak orang-orang untuk melanjutkan protes damai untuk "membela revolusi".
AP News melaporkan, Kepala militer, Jenderal Abdel Fattah Burhan sebagai pemimpin kudeta sudah mengumumkan di TV nasional kalau dia sudah membubarkan pemerintah dan Dewan Berdaulat, sebuah badan gabungan militer dan sipil yang dibentuk setelah penggulingan Omar al-Bashir.
Burhan lantas mengatakan, salah satu dorongan intervensi dari militer adalah pertengkaran di antara faksi politik. Ketegangan itu meningkat selama beberapa minggu selama masa transisi menuju demokrasi di Sudan.
Jenderal Burhan juga mengumumkan keadaan darurat dan mengatakan militer akan menunjuk pemerintah teknokratis untuk memimpin negara itu dalam pemilihan selanjutnya pada Juli 2023. Dia menegaskan kalau militer akan bertanggung jawab atas hal itu.
“Angkatan Bersenjata akan terus menyelesaikan transisi demokrasi sampai penyerahan kepemimpinan negara kepada pemerintah sipil yang terpilih,” katanya.
Dia menambahkan, konstitusi akan ditulis ulang dan badan legislatif akan dibentuk dengan partisipasi “pria dan wanita muda yang membuat revolusi ini.”
Menurut Kementerian Penerangan, yang masih setia kepada pemerintah sipil, menyebut pidato Jenderal Burhan sebagai “pengumuman perebutan kekuasaan oleh kudeta militer.”
Editor: Iswara N Raditya