tirto.id - Bupati Labuhanbatu, Pangonal Harahap bersama E, ajudannya, dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, pada Selasa (17/7/2018).
Dari penjelasan KPK, berikut kronologis penangkapan Bupati Labuhanbatu tersebut berawal pada Selasa (17/7/2018) KPK mengidentifikasi adanya penerimaan uang dari Effendy Sahputra kepada Pangonal Harahap melalui beberapa pihak perantara. Effendy diduga mengeluarkan cek Rp576 juta. Sore hari, ia menghubungi pegawai BPD Sumut, H, untuk mencairkan cek tersebut.
Lantas jika sudah diuangkan, dana tersebut dititipkan kepada H sebelum diambil oleh orang kepercayaan Pangonal, Umar Ritonga. Sesuai perintah Effendy, Umar menghubungi AT, tangan kanan Effendy lantas menuju Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sumatera Utara.
Selanjutnya, AT melakukan penarikan uang Rp576 juta. Kemudian dia membagi uang tersebut dalam tiga bagian yakni Rp500 juta dimasukkan ke kresek hitam dan dititipkan ke petugas bank, Rp16 juta diambil untuk dirinya serta Rp61 juta ditransfer ke Effendy.
Sekitar pukul 18.15 WIB, Umar menyambangi bank untuk mengambil uang yang telah dititipkan, kemudian ia pergi. Di luar bank, tim KPK menghadang mobilnya sembari memperlihatkan tanda pengenal.
Pria itu hendak melarikan diri dan hampir menabrak petugas lembaga antirasuah tersebut. Saat itu hujan dan terjadi kejar-kejaran antara KPK dan Umar, dia diduga berpindah-pindah tempat dari kebun kelapa sawit dan rawa. Karena tidak berhasil menemukan, akhirnya tim memutuskan untuk mencari pihak lain.
Lantas, pukul 19.28 WIB, tim mengamankan H. Thamrin Ritonga di kediamannya di Labuhanbatu. H dicokok di BPD pukul 19.57 WIB, terakhir KPK menciduk Khairul Pakhri di rumahnya sekitar pukul 22.54 WIB.
Saat bersamaan di hari yang sama, Pangonal dan ajudannya ditangkap di Bandara Internasional Soekarno-Hatta pada pukul 20.22 WIB. Sedangkan pada Rabu (18/7/2018), KPK mengangkut Effendy di rumahnya.
Empat orang yang ditangkap di Labuhanbatu, KPK melakukan pemeriksaan awal di Polres Labuhanbatu. Sedangkan Pangonal dan ajudannya segera dibawa ke kantor KPK pada pukul 21.20 WIB untuk diperiksa lebih lanjut.
KPK menduga pemberian uang dari Effendy kepada Pangonal terkait proyek-proyek di area Labuhanbatu tahun anggaran 2018. Kemudian, uang Rp576 juta itu diduga merupakan bagian dari pemenuhan permintaan Pangonal yang bernilai Rp3 miliar.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pada bulan ini ditemukan cek sebesar Rp1,5 miliar namun tidak dapat dicairkan karena bank tidak memiliki uang sejumlah itu.
Selain itu, uang Rp500 juta yang diberikan Effendy kepada Pangonal melalui Umar dan seorang lainnya yang belum tertangkap bersumber dari pencairan dana pembayaran proyek pembangunan RSUD Rantau Prapat.
Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam dan dilanjutkan dengan gelar perkara, KPK meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan dengan tiga orang tersangka. Mereka adalah Effendy selaku pemberi suap serta Pangonal dan Umar sebagai penerima suap.
Effendy disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Untuk Pangonal dan Umar, mereka dikenakan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
KPK juga memberikan peringatan kepada Umar agar segera menyerahkan diri. KPK juga mengingatkan kepada kepala daerah dan penyelenggara negara agar menghentikan praktik korupsi.
Kepada pihak perbankan, dalam hal ini pegawai BPD Sumut, agar menerapkan prinsip Costumer Due Diligence (CDD) yang lebih ketat di ranah internal, agar modus serupa tidak terjadi lagi.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri