tirto.id - Pada sebuah video yang viral di Twitter, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, nampak berdebat dengan sejumlah orang yang diduga petugas Panitia Pemilih Luar Negeri (PPLN) KJRI Osaka, Jepang.
Basuki atau yang kerap disapa BTP memang memilih menggunakan hak pilihnya di Osaka, Jepang. Ia mencoblos pada 14 April lalu.
“Itu DPTb [Daftar Pemilih Tambahan]. Yang didahulukan harusnya DPT," protes BTP dalam video tersebut.
Dalam video itu, BTP bersikeras agar PPLN Osaka mendahulukan pemilih yang masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) ketimbang Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) atau Daftar Pemilih Khusus (DPK) sesuai dengan peraturan yang diatur dalam UU Pemilu.
Salah seorang WNI yang juga ikut mencoblos pada hari itu, Gugi Yogaswara, menjelaskan kalau seperti halnya di dalam negeri, daftar pemilih di pemilihan umum 2019 di luar negeri juga terdiri dari tiga golongan.
Mereka adalah Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) dan Daftar Pemilih Khusus (DPK). Nama-nama yang terdaftar dalam tiga golongan ini sudah tercatat di PPLN.
Dalam prosedur pencoblosan, pemilih yang sudah terdaftar di DPT mendapat giliran lebih awal, yaitu sejak pukul 8 pagi hingga pukul 4 sore. Setelah itu, akan ada waktu registrasi ulang untuk DPTb dan DPK.
“Saya termasuk DPK. Karena baru di sini dua minggu,” jelas Gugi kepada reporter, Senin (15/4/2019). Ia pun harus menunggu hingga DPT selesai mencoblos semua.
Suasana di lantai 22 Gedung Konsulat Jenderal RI Osaka masih kondusif hingga pukul 3 sore. Namun tiba-tiba calon pemilih yang datang membludak sehingga petugas meminta mereka untuk mengantre. Lobby Gedung KJRI Osaka di lantai satu bahkan dipenuhi WNI calon pemilih yang menunggu giliran untuk mencoblos.
“Antrenya juga enggak jelas. Karena kami enggak ngerti itu untuk golongan apa. Jadi semua bercampur, mau yang sudah terdaftar namanya dengan yang sama sekali belum terdaftar dan benar-benar baru datang,” terang Gugi.
Lantaran situasi yang semakin tak terkendali, BTP yang kebetulan berada di sana untuk mencoblos turun tangan bersikeras meminta PPLN untuk memprioritaskan DPT.
Dalam salah satu video yang beredar, BTP bahkan sempat mengajak 'ribut' petugas PPLN Osaka. “Saya paling senang ribut soal ini. Saya yang bikin peraturannya dulu, jadi saya tahu,” seru BTP.
Untuk konteks insiden BTP, Gugi sendiri tidak yakin mantan Gubernur DKI itu termasuk ke dalam golongan pemilih yang tetap atau bukan. Namun, menurutnya, hal yang disampaikan BTP memang benar, yakni untuk memprioritaskan calon pemilih yang sudah terdaftar sebagai DPT.
“Mungkin caranya saja yang menimbulkan keributan. Dua mobil polisi langsung datang ke depan lobi gedung,” kata mahasiswa S2 Teknik Lingkungan Universitas Kyoto ini.
Gugi, yang termasuk dalam DPK, baru mendapat giliran mencoblos sekitar pukul 7 malam waktu setempat. Sementara calon pemilih lain yang tidak mendapat giliran hingga TPS tutup harus pulang dengan kecewa. Menurut Gugi, ada sekitar lebih dari seratus WNI calon pemilih yang gagal mencoblos hari itu.
Gugi berpendapat bahwa hal tersebut terjadi lantaran ketidak siapan PPLN dalam mengantisipasi membludaknya calon pemilih dan jumlah personel yang kurang.
“Jadi saya kira tidak ada hubungannya dengan kecurangan yang banyak beredar di media sosial,” imbuhnya.
Beda Situasi
Situasi yang cukup berbeda dialami oleh WNI yang justru memilih mencoblos menggunakan pos. Satu jam dari Tokyo, tepatnya di Prefektur Saitama, Siti Imroatus hanya tinggal duduk manis di kediamannya untuk mencoblos surat suara yang sudah ia terima lewat pos akhir Maret lalu.
Ia lebih memilih mencoblos lewat pos lantaran lebih praktis dan nyaman.
Pada akhir 2018 lalu, ia mendaftarkan diri via website PPLN Tokyo yang ia ketahui dari akun Twitter KBRI Tokyo. Setelah terdaftar, ia masih bisa mengecek dan mengubah data diri hingga pertengahan Maret 2019. Kemudian, ia cukup menunggu surat suara sampai di tangannya melalui pos.
Setelah mencoblos, ia cukup memasukkan surat suara ke dalam amplop yang sudah disediakan untuk kembali dikirim ke PPLN Tokyo tanpa perlu membayar biaya perangko.
“Kalau ke TPS ribet. Lagipula di Tokyo cuma ada satu TPS, yakni di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) dan itu jauh dari tempat tinggalku,” tutup Imroatus.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Maya Saputri