Menuju konten utama

Krisis Vaksin di Perancis: 6 dari 10 Penduduknya Ogah Divaksin

Tim peneliti di Institut Pasteur resmi mengakhiri proyek vaksin. Masyarakat Perancis makin anti-vaksin.

Krisis Vaksin di Perancis: 6 dari 10 Penduduknya Ogah Divaksin
Ilustrasi Vaksin di Prancis. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Semangat Perancis nampak meredup dalam kompetisi global pengembangan vaksin COVID-19. Pada Januari, tim peneliti di Institut Pasteur resmi mengakhiri proyek vaksin paling potensial berbasis vektor virus penyakit campak. Setelah setengah tahun lebih berjuang, mereka dihadapkan pada hasil uji klinis tahap pertama yang tak sesuai harapan. Kegagalan lembaga riset kebanggaan Perancis ini semakin membuat suram citra pemerintah dalam penanggulangan pandemi COVID-19.

Beberapa waktu sebelumnya, vaksin yang dikembangkan oleh raksasa biofarma Perancis, Sanofi, sempat terkendala isu tingkat efikasi di kalangan lansia, sehingga harus diundur sampai akhir 2021.

Pemerintah Perancis sejak awal sudah bergantung pada stok vaksin buatan Pfizer-BioNTech dan Moderna. Namun demikian, program vaksinasinya dimulai dengan terseok-seok. Sepanjang minggu pertama distribusi vaksin, Perancis baru bisa menyuntik 500 orang, sedangkan Jerman sudah melakukannya pada 200 ribu orang. Sampai 27 Januari, 1,7 per 100 orang di Perancis sudah divaksinasi. Rasio tersebut tetap lebih rendah daripada Jerman (2,4), Italia (2,6), dan Inggris (11,3).

Kelesuan bangsa Perancis dalam mendorong gebrakan-gebrakan ilmiah selama pandemi menimbulkan pertanyaan tentang kedudukan mereka dalam riset dan inovasi medis di tingkat dunia. Sejak akhir abad ke-19, Perancis menjadi ladang subur bagi otak-otak cemerlang, seperti pemenang Nobel kimia dan fisika Marie Curie, serta pioner mikrobiologi kedokteran Louis Pasteur, pendiri Institut Pasteur sekaligus penemu vaksin untuk rabies, antraks dan kolera unggas. Di bawah naungan semangat Pasteur inilah, berkembang riset-riset tentang bakteri penyebab wabah pes, tuberkolosis, protozoa biang penyakit, sampai HIV/AIDS. Sepanjang riwayatnya selama seratus tahun lebih, Institut Pasteur sudah menjadi rumah bagi 10 orang ilmuwan peraih hadiah Nobel bidang kedokteran dan fisiologi.

Tak tercapainya target vaksin COVID-19 buatan dalam negeri menimbulkan kekecewaan di kalangan politisi. François Bayrou, pemimpin partai berhaluan sentris Mouvement démocrate menilainya sebagai “pertanda kemerosotan negara”. Bayrou menyoroti talenta-talenta Perancis yang “disedot oleh sistem Amerika”, dengan mengambil contoh warga negara Perancis Stéphane Bancel yang menjadi salah satu bos Moderna di AS. Sementara itu, Ségolène Royal dari Partai Sosialis menyalahkan “ideologi liberal” karena sudah membiarkan pemangkasan anggaran publik untuk riset-riset vaksin.

Fabien Roussel dari Partai Komunis terutama menyayangkan perusahaan sebesar Sanofi yang memecat 3.000 karyawannya dalam 10 tahun terakhir, menganggapnya “penghinaan terhadap Perancis, tak mampu memvaksinasi, tak mampu memasarkan vaksin”. Padahal, Sanofi sudah dibantu negara dengan kredit pajak penelitian sebesar 100 sampai 150 juta euro, imbuh Roussel.

Di balik hujan kritik tentang kemunduran industri bioteknologi Perancis, tidak bisa dipungkiri bahwa teknis anggaran memang menjadi kendala dalam progres riset vaksin COVID-19 di sana. Institut Pasteur dikabarkan harus menunggu beberapa bulan sampai menerima kucuran dana dari pemerintah.

Di sisi lain, pendanaan swasta untuk industri riset di Eropa masih lemah. Merujuk pada studi 2019 oleh lembaga konsultan McKinsey, nilai investasi yang diterima oleh start-up dan perusahaan bioteknologi di kawasan Eropa memang menunjukkan tren meningkat. Namun demikian, mereka tetap tertinggal jauh dari Amerika Serikat, yang industri farmasinya disokong oleh sektor swasta dengan pendanaan 5 kali lipat lebih besar.

Temuan tersebut diperkuat oleh hasil riset Januari 2020 dari think tank Terra Nova oleh mantan dirjen kesehatan Komisi Eropa, Anne Bucher. Bucher mendapati pelajaran penting tentang produksi vaksin COVID-19, bahwa kebijakan industri harus dilihat sebagai bagian integral dari strategi persiapan untuk menghadapi krisis kesehatan. Menurut Bucher, pemerintah Uni Eropa belum menyediakan anggaran sebanyak Washington, yang sejak Mei 2020 bisa mengalokasikan USD 10 miliar untuk bekerja sama dengan pihak swasta dalam program Operation Warp Speed, sementara Brussel kala itu baru bisa menyiapkan anggaran sekitar USD 3 miliar.

Skeptisisme terhadap Vaksin

Di tengah kegalauan administrasi Emmanuel Macron terhadap prospek produksi dan distribusi vaksin, Perancis masih dipusingkan dengan masifnya pandangan negatif publik terhadap vaksinasi. Perancis dikenal sebagai salah satu negara yang paling skeptis terhadap vaksin. Survei oleh Odoxa-Backbone untuk France Info dan Le Figaro pada Desember 2020 mengungkap 58 persen atau 6 dari 10 orang Perancis tidak mau divaksinasi.

Uniknya, ada kecenderungan angka penolakan vaksin lebih tinggi di kalangan yang bukan pendukung Presiden Macron. Sekitar 56 % pemilih Macron menyatakan dirinya mau divaksin, sementara 68 % pemilih Marine Le Pen (politisi dari partai sayap kanan Rassemblement national) dan 60 % persen pemilih Jean-Luc Mélenchon (politisi partai sayap kiri La France Insoumise) enggan divaksin.

Peneliti think tank Jean-Jaures, Antoine Bristielle, menyampaikan kepada Al Jazeera bahwa skeptisisme terhadap vaksin umumnya dilandasi oleh “ketidakpercayaan pada pemerintah”, yang berangkat dari skandal kesehatan publik pada dekade 1990-an.

Kala itu ramai pemberitaan bahwa kampanye nasional vaksin hepatitis B berdampak pada kenaikan jumlah penderita multiple sclerosis, terlepas tidak ada hasil studi yang mendukung korelasinya. Pemerintah Perancis juga disorot terkait transfusi darah yang terkontaminasi oleh HIV. Sedikitnya 1.250 penderita hemofilia menerima transfusi dan 400 orang meninggal karenanya. Akibatnya, jajaran eksekutif seperti Perdana Menteri Laurent Fabius beserta Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan harus menghadap pengadilan, meskipun tak sampai dijatuhi hukuman.

Akan tetapi, seperti disampaikan Prof. Jocelyn Raude dari EHESP French School of Public Health kepada Guardian, skeptisisme vaksin COVID-19 hari ini lebih dikompor-kompori oleh skandal vaksinasi flu H1N1 pada 2009.

Pada waktu itu, pemerintah Perancis memborong 94 juta vaksin untuk warganya yang berjumlah 65 juta jiwa, meskipun pesanannya lantas dibatalkan sebagian. Pada akhirnya, H1N1 tidak menjadi wabah. Vaksin hanya diberikan kepada 6 juta orang, sementara belasan juta vaksin sisanya dihancurkan. Biaya yang dikeluarkan untuk vaksin sendiri nyaris mencapai 400 juta euro, atau sekarang nilainya sekitar Rp6,5 triliun. Tokoh partai oposisi menghujani administrasi Presiden Nicolas Sarkozy dengan kritik karena membiarkan uang rakyat terbuang, serta menuduh petinggi pemerintahan bersekongkol dengan perusahaan farmasi.

Masih ada pula skandal obat diabetes Mediator buatan perusahaan Perancis, Servier. Mediator ditarik dari peredaran pada 2009 karena diketahui mengandung unsur berbahaya yang berdampak pada kematian antara 500 sampai 2.000 orang sepanjang rentang pemasarannya selama tiga dekade. Perusahaan Servier dan sejumlah pejabat dari badan regulasi obat-obatan Perancis pun diadili.

“Itulah titik kritisnya,” ujar Raude, “skandal Mediator memvalidasi ide di dalam pikiran masyarakat tentang korupsi antara pejabat dan perusahaan farmasi di Perancis, bahwa itu semua adalah bisnis, alih-alih kesehatan.”

Infografik Program Vaksinasi Prancis

Infografik Program Vaksinasi Prancis. tirto.id/Fuad

Masih dikutip dari Guardian, sejarawan sains Laurent-Henri Vignaud menjelaskan bahwa skeptisisme vaksin lebih didasari oleh “ketidakpuasan tertentu terhadap kelas politik” alih-alih kekhawatiran atas efektivitas atau keamanan vaksin. “Ada ekspektasi tinggi terhadap negara, tapi kita terus-menerus dibuat kecewa seperti yang terlihat dalam program vaksin kali ini: ada yang bilang terlalu lambat, sementara lainnya bilang terlalu cepat. Semuanya kecewa,” kata Vignaud.

Pandangan Vignaud dikonfirmasi oleh ahli geopolitik bidang kesehatan masyarakat dari Université Paris, Lucie Guimier. Ia mengatakan bahwa skeptisisme terhadap vaksin berhubungan dengan sejarah sosial dan politik di dalam negeri. “Di Perancis, kita berharap banyak kepada negara, dan pada waktu bersamaan, kita kritis terhadap negara,” kata Guimier dikutip dari Euronews.

Menurut Guimier, di balik berbagai kekhawatiran akan efektivitas vaksin, perlawanan terhadap vaksin menjadi “pembelaan terhadap kebebasan individu dan penolakan campur tangan negara ke dalam kehidupan pribadi kita”. Guimier menambahkan, gerakan anti-vaksin paling kuat ditemukan di Marseille, yang punya akar sejarah kuat sebagai “kota pemberontak”. Kota ini memang dikenal punya hubungan benci dan cinta dengan ibukota Paris yang dipandang sebagai pusat kekuasaan elite.

Pada September 2020, wakil walikota Marseille, Samia Ghali, ikut menebarkan keraguan ke khalayak terhadap gerakan vaksinasi. Ghali menegaskan tidak akan mendorong vaksinasi COVID-19 kepada anak-anaknya. Ia merasa berhak berpandangan demikian karena “tidak mau dijadikan kelinci percobaan”.

Masih pada September, ratusan warga Marseille berdemo di depan pengadilan niaga kota. Mereka menolak perintah dari Paris untuk menghentikan operasional bar dan restoran selama dua minggu demi meredam menyebaran virus. Padahal, Marseille tengah mencatat kenaikan angka infeksi tinggi yang disebabkan oleh lengahnya warga setempat selama liburan musim panas.

Marseille juga merupakan lokasi markas institusi riset milik Didier Raoult, dokter dan ahli mikrobiologi kontroversial yang mendorong penggunaan obat anti-malaria hidroklorokuin untuk menyembuhkan infeksi akibat COVID-19. Pendekatan Raoult dilakukan tanpa bukti publikasi ilmiah dan dibantah melalui sejumlah hasil studi oleh ilmuwan di berbagai negara karena terbukti tidak efektif bagi penderita COVID-19.

Raoult, bersama dengan para politisi lokal—walikota Michèle Rubirola dan rival politiknya Martine Vassal—menjadi trio perwakilan kota Marseille yang vokal menentang kebijakan Paris sejak pandemi berlangsung, seperti perintah pemakaian masker di ruang publik serta aturan jam malam tempat hiburan yang diterapkan sejak Agustus 2020 silam.

Baca juga artikel terkait VAKSIN COVID-19 atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf