Menuju konten utama

KPU Pastikan Tak Ada Kategorisasi Pemilih ODGJ Pada Pemilu 2024

Penyandang disabilitas mental atau ODGJ yang ikut memilih akan didampingi oleh pengampu rumah sakit dan panti sosial masing-masing.

KPU Pastikan Tak Ada Kategorisasi Pemilih ODGJ Pada Pemilu 2024
Ilustrasi Pemilu. foto/IStockphoto

tirto.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjamin pemilih penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu 2024 mendatang.

Menurut Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, bila pada pemilu sebelumnya ada kategorisasi kondisi pemilih ODGJ yang diperkenankan untuk menyoblos, maka pada pemilu kali ini tidak ada kategorisasi.

Hasyim menegaskan, dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya semua warga negara Indonesia yang telah genap berusia 17 tahun berhak menggunakan hak pilih.

"Jadi, ada perubahan di Undang-Undang dari waktu ke waktu. Kalau dulu, ada ketentuan bahwa orang yang sedang terganggu jiwanya tidak diberikan hak pilih. Di Undang-undang sudah direvisi bahwa tidak ada kategorisasi seperti itu lagi," kata Hasyim di Kantor KPU, Kamis (21/12/2023).

Menurut Hasyim, ODGJ yang ikut nyoblos akan didampingi oleh pengampu rumah sakit dan panti sosial masing-masing.

Ia mengatakan, KPU kabupaten/kota akan berkoordinasi dengan dokter atau pengampu rumah sakit dan panti sosial yang merawat para pemilih ODGJ. Kendati demikian, keputusan ODGJ ikut nyoblos atau tidak tergantung pengampu atau dokter yang menanganinya.

Menurut Pakar Kepemiluan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, gangguan jiwa atau disabilitas mental biasanya bersifat episodik. Dengan begitu, kata dia, sudah semestinya hak politik mereka untuk dipilih dan memilih dijamin oleh negara.

“Apalagi memilih bersifat sukarela bukan suatu kewajiban,” kata Titi kepada Tirto, Senin (18/12/2023).

Titi menjelaskan, hak pilih disabilitas mental dijamin dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, serta dikukuhkan didata sebagai pemilih dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015.

“Artinya, penggunaan hak pilih oleh mereka harus dilakukan sendiri, tanpa tekanan, paksaan, apalagi diwakilkan. Jika mereka tidak mampu ke TPS dan menggunakan hak pilih, maka tidak boleh diarahkan apalagi dipaksa oleh pihak manapun,” jelas Titi.

Titi menambahkan, pemaksaan dan manipulasi atas penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak pilih adalah tindak pidana.

Hak penyandang disabilitas mental ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 UU 7/2017 yang menyebut bahwa penyandang disabilitas yang memenuhi syarat mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemilih.

Selain itu, pasal tersebut juga menyatakan mereka memiliki hak sebagai calon anggota DPR, sebagai calon anggota DPD, sebagai calon presiden/wakil presiden, sebagai calon anggota DPRD, dan sebagai penyelenggara pemilu.

Secara konstitusional, hak pilih ODGJ diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XIII/2015 yang melindungi hak pilih penyandang disabilitas.

Dalam Pasal 4 huruf (c) UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas disebut, yang dimaksud dengan penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku.

Mereka antara lain para penderita gangguan psikososial seperti skizofrenia, bipolar, depresi, ansietas, dan gangguan kepribadian. Serta disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.

Baca juga artikel terkait HAK PILIH ODGJ atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - News
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi