tirto.id - Undang-Undang Pilkada kembali digugat di Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, ia digugat agar mengakomodasi gagasan menghadirkan pilihan kotak kosong di seluruh daerah. Gugatan tersebut dilayangkan tiga orang warga dengan Nomor Perkara 120/PUU/PAN.MK/AP3/09/2024 pada pekan lalu. Ketiga orang itu adalah Heriyanto, Ramdansyah, dan Muhammad Raziv Barokah.
Terkait gugatan tersebut, Komisioner KPU RI, Idham Holik, mengatakan bahwa kolom kotak kosong dalam surat suara hanya ada di daerah yang pilkadanya memiliki pasangan calon tunggal. Hal itu, jelas Idham, mengacu pada Pasal 54C Ayat 2 UU Pilkada.
"Salah satu prinsip penyelenggaraan pilkada adalah berkepastian hukum. Dalam Pilkada Serentak Nasional 2024, kolom kosong yang tidak bergambar hanya ada di pilkada dengan satu pasangan calon sebagaimana diatur dalam Pasal 54C Ayat 2 UU Nomor 10 Tahun 2016," kata Idham kepada Tirto lewat pesan WhatsApp, Rabu (11/9/2024).
Namun, Idham enggan berkomentar lebih jauh ihwal gugatan terkait penyediaan kolom kotak kosong yang dilayangkan ke MK. Menurut Idham, hal itu merupakan kewenangan MK.
"Saya tidak bisa mengomentarinya karena hal tersebut sepenuhnya kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi," ucap Idham.
Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi II DPR RI, Guspardi Gaus, mengatakan bahwa dirinya menghormati gugatan yang dilayangkan para penggugat. Dia berkata hal itu merupakan hak yang dijamin konstitusi.
"Ya masyarakat elemen bangsa boleh saja mengajukan gugatan uji materi ke MK. Hal itu dijamin oleh UU," kata Guspardi saat dihubungi Tirto, Rabu sore.
Dia berharap Hakim MK betul-betul mendalami substansi gugatan sebelum memutus perkara tersebut. Legislator Fraksi PAN itu juga mengatakan bahwa pilkada memiliki mekanisme tersendiri untuk mengajukan calon.
Bahkan, kata dia, pilkada saat ini sudah demokratis. Pasalnya, yang mengajukan pasangan calon tidak hanya partai politik, tapi juga perseorangan pun bisa melakukan hal serupa.
Namun, Guspardi tak yakin soal penyediaan kolom kotak kosong di surat suara. Menurutnya, bila ada yang tak suka dengan partai politik, tinggal mencoblos pasangan jalur independen.
"Rasanya tidak mungkin. Substansi daripada pilkada itu, kan, aktualisasi perintah UU. Kalau ada yang tidak suka dengan parpol, kan, ada calon perseorangan," tukas Guspardi.
Salah satu penggugat, Muhammad Raziv Barokah, mengatakan bahwa mereka meminta MK mengakomodasi suara kosong (blank vote) pada pilkada yang diikuti oleh dua atau lebih pasangan calon. Penggugat merasa parpol sudah gagal menangkap kemauan rakyat sebab kerap mencalonkan sosok yang tidak dibayangkan oleh masyarakat.
Raziv mencontohkan hal tersebut di gelanggang Pilkada Jakarta. Menurutnya, pilihan warga mayoritas mendorong Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama maju sebagai kontestan di Pilkada Jakarta. Namun, parpol malah “mengawinkan” paslon yang tak sesuai kehendak publik.
“Kalau proses kandidasinya benar, kotak kosong enggak laku. Orang enggak akan enggak milih. Tetapi, kalau prosesnya tidak benar, ya, kotak kosong akan laku atau laris. Sehingga, pemerintahan tidak akan bisa berjalan dengan baik,” kata Raziv dalam keterangannya yang dikonfirmasi Tirto, Selasa (10/9/2024).
Para pemohon memohon agar MK menyatakan Pasal 79 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap sepanjang tidak dimaknai: surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 Ayat 1 Huruf b memuat foto, nama, dan nomor urut calon, dan kolom kosong sebagai wujud pelaksanaan suara kosong.
Pemohon juga meminta agar MK merevisi Pasal 85 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2015 dan Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2015 agar pemilih bebas untuk mencoblos kolom kotak kosong di surat suara, serta menghitungnya sebagai suara sah.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fadrik Aziz Firdausi