tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut partai politik di Indonesia membutuhkan anggaran Rp16.922 per suara. KPK mengusulkan agar pemerintah memberi bantuan hingga 50 persen dari kebutuhan tersebut atau senilai Rp8.461 per suara.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan angka itu diperoleh dari kajian KPK terhadap 5 partai yakni Golkar, PKB, PDIP, Gerindra dan PKS.
"Pembiayaan parpol oleh negara secara signifikan diperlukan untuk mengambil alih kepemilikan sekaligus kepemimpinan parpol dari individu-individu pemilik uang," kata Febri lewat keterangan tertulis, Rabu (11/12/2019).
"Harapannya, ke depan parpol benar-benar menjadi badan hukum publik yang dimiliki para anggota dan dipimpin secara demokratis oleh anggota sebagaimana semangat UU Partai Politik," imbuhnya.
Febri menerangkan, dana bantuan politik itu kelak tak akan diberikan secara sekaligus, tapi bertahap. Pada tahun pertama pemerintah bisa menggelontorkan 30 persen dari total bantuan, tahun kedua menjadi 50 persen dari total bantuan, tahun ketiga menjadi 70 persen, tahun keempat menjadi 80 persen dan seluruh bantuan parpol akan tuntas pada tahun kelima.
Dengan asumsi 126 juta suara pada Pemilu 2019 lalu artinya pemerintah perlu menggelontorkan total Rp3,9 triliun untuk bantuan politik. Pada tahun pertama pemerintah diperkirakan harus merogoh Rp320 miliar.
"Membandingkan dengan APBN 2019 sekitar Rp2.400 Triliun, angka ini [Rp320 miliar] relatif kecil yakni 0,0046%," kata Febri.
Kemudian pada tingkat provinsi, merujuk pada PP Nomor 1 tahun 2018 yang menyatakan pendanaan parpol tingkat provinsi naik 20 persen dari pendanaan tingkat nasional dan kabupaten/kota naik 50 persen, maka, negara perlu mengalokasikan dana Rp928,7 Miliar pada tahun pertama.
Dengan skema peningkatan bertahap dan estimasi inflasi 5 persen maka hingga tahun kelima negara perlu mengalokasikan dana total Rp11,2 Triliun untuk tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
"Sehingga total secara nasional pendanaan negara untuk keuangan parpol sebesar Rp15,1 Triliun," kata Febri.
Meskipun begitu, KPK memberikan persyaratan atas dana bantuan partai politik tersebut. Pertama partai politik wajib menerapkan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP) yang terdiri atas 5 komponen antara lain kode etik, demokrasi internal parpol, kaderisasi, rekrutmen, dan keuangan parpol.
Dana tersebut pun terbatas hanya dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional parpol dan pendidikan politik, tidak termasuk dana kontestasi politik. Karenanya, KPK juga mewajibkan keuangan parpol diaudit secara berkala oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan hasilnya disampaikan secara berkala.
"Sebab, membangun organisasi parpol yang bersih dan berintegritras ditentukan oleh salah satunya pengelolaan keuangan parpol secara baik," ujar Febri.
Dalam kajian itu pun KPK memaparkan mekanisme bantuan partai politik di 20 negara. Rupanya hampir semua negara memberikan dana bantuan, yang membedakan hanya besarannya. Jepang memberi bantuan 23 persen dari kebutuhan parpol dan Belanda memberi bantuan 35 persen dari kebutuhan partai. Di Malaysia misalnya, pemerintah tidak memberi bantuan kepada parpol, tapi mereka diizinkan berbisnis.
Pada awal 2018 lalu pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik.
Lewat PP itu pemerintah meningkatkan dana bantuan keuangan untuk partai yang mendapat kursi di DPR dari yang sebelumnya Rp108 per suara menjadi Rp1000 per suara sah. Kemudian untuk tingkat DPRD dan pemerintah kota/kabupaten menjadi Rp 1.500 per suara sah.
Akibat PP itu dana yang dikeluarkan dari APBN untuk parpol membengkak. Sebelumnya pemerintah cuma gelontorkan Rp13,5 miliar dalam setahun kini menjadi Rp 111 miliar untuk dana bantuan parpol setiap tahun.
Beleid tersebut ditandatangani Presiden Jokowi pada 4 Januari 2018 lalu dam diundang-undangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pada 5 Januari 2018.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Gilang Ramadhan