tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap memproses Gubernur Aceh Irwandi dan Bupati Bener Meriah Rahmadi dengan menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001. Mereka tetap mengacu kepada UU Tipikor meskipun Aceh menerapkan hukum khusus.
"Apakah ada aturan lain misalnya yang berlaku di Aceh yang bersifat spesifik. Tentu saja itu tidak menjadi domain KPK. Jadi kami fokus pada penggunaan atau penerapan undang-undang tindak pidana korupsi lebih dahulu saat ini," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis (5/7/2018).
Sebagai informasi, pemerintah Aceh menerapkan hukum qanun yang merupakan penyempurnaan penerapan syariat islam. Hukum tersebut diterapkan sejak tahun 2015.
Febri menerangkan, KPK justru mendapat informasi ada rencana tersangka mengajukan justice collaborator. KPK mengapresiasi sikap tersebut. Namun, KPK berharap niatan tersebut dilakukan secara tulus dan terbuka. Tersangka pun diharap bisa membuka maksud kode-kode dalam proses korupsi.
"Nanti saja kalau sudah ada pengajuan secara resmi. Tapi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa selama proses pemeriksaan tersebut mulai ada kesadaran dan sikap kooperatif dari salah satu tersangka. Jadi kami harap nanti semuanya juga seperti itu untuk membuka seterang-terangnya," kata Febri.
KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus suap terkait pengalokasian dan penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) Tahun Anggaran 2018 pada Pemerintah Provinsi Aceh.
Empat tersangka itu antara lain Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (IY) dan Bupati Bener Meriah Provinsi Aceh Ahmadi (AMD) serta dua orang dari unsur swasta masing-masing Hendri Yuzal (HY) dan T Syaiful Bahri (TSB).
Diduga, pemberian uang oleh Bupati Bener Meriah kepada Gubernur Aceh sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari Rp1,5 miliar yang diminta Irwandi. Ini terkait fee ijon proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang bersumber dari DOKA Tahun Anggaran 2018.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari