tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menghitung dampak politik di dalam kasus Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP), yang kemungkinan akan menjerat sejumlah tokoh politik. Yang dipikirkan KPK hanyalah ranah pidananya saja.
"Untuk dampak politik kami tentu tidak menghitung itu. Karena fokus KPK adalah menangani kasus di jalur hukum. Kita akan fokus saja kepada proses-proses terdakwa yang diajukan ini akan kita proses dalam lebih lanjut," jelas Kepala Biro Humas dan Informasi KPK, Febri Diansyah di kantornya Jalan Kuningan Madya, Jakarta Selatan, Rabu (8/3/2017).
Kalaupun ada yang menuduh KPK menimbulkan kegaduhan politik, Febri menyebut KPK tidak ambil peduli. Hal tersebut dikarenakan selama ini KPK dikenal sebagai instansi hukum bukan lembaga politik.
"Kemudian informasi terkait fakta dan bukti-bukti akan kita kumpulkan lebih lanjut. Kita berjalan di jalur hukum dan akses politik tapi bukan di ranah politik. Mengenai segala macam (tuduhan) kita tidak memusingkannya. Kita harapkan (semua) patuh dan tempatkan hukum pada posisi pertama," jelas Febri Diansyah.
Kasus E-KTP ini adalah kasus yang cukup lama ditangani oleh KPK. Sejak kasus ini diusut pertama kali pada 2011 yang diperkuat dengan 'nyanyian' sumbang Nazaruddin menyebut proyek E-KTP sebagai proyek bancakan instansi terkait, baru tiga tahun setelahnya KPK menetapkan tersangka kasus ini. KPK menetapkan tersangka pertama kasus ini Sugiharto pada 22 April 2014.
Sugiharto diketahui sebagai mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri. Dalam kasus ini, ia sebagai pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan E-KTP ini juga menjerat mantan atasannya, yang dulu menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Irman. Irman resmi ditetapkan oleh lembaga anti rasuah pada 30 September 2016 lalu.
Tercatat 300 saksi dipanggil ke gedung KPK sejak perkara kasus korupsi e-KTP bergulir tiga tahun terakhir. Beberapa pejabat negara pernah memenuhi panggilan KPK untuk menjalani pemeriksaan. Di antaranya Mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga pernah dipanggil dua kali oleh penyidik KPK.
Terlebih adanya ucapan Ketua KPK Agus Rahardjo yang menyebut banyaknya warna bendera politik yang akan menjadi tersangka berikutnya, membuat DPR kehilangan kenyamanannya.
Ketua DPR yang juga politisi Partai Golkar, Setya Novanto, menyetujui kasus e-KTP diusut tuntas, tapi diharapkan tidak ada pernyataan-pernyataan yang mengakibatkan kegaduhan politik, Rabu (8/3/2017). Padahal Setya Novanto, yang kerap disapa Setnov ini, juga pernah dipanggil KPK sebagai saksi dalam penyelidikan kasus ini.
Oleh karena itu, dalam penantian sidang perdana E-KTP yang tinggal menunggu hitungan jam Febri menghimbau kepada semua pihak agar tidak mengganggu KPK mengungkap kasus E-KTP.
"Kami berharap kewenangan KPK jangan diganggu lagi sama semua pihak. Apalagi terkait dengan ini. Dan terus terang bukan kali pertamanya berbagai pihak ingin bergerak untuk melemahkan KPK," terang Febri.
Pakar hukum dari Universitas Trisakti Yenthi Garnasih membenarkan kebijakan hukum kerap dikaitkan dengan masalah politik. Namun, sejauh KPK meyakini bahwa untuk mengedepankan kasus hukumnya, tidak ada guncangan politik.
"KPK tidak usah mengkhawatirkan masalah politik. Karena ranah KPK adalah hukum. Biar saja DPR misalkan merasa menimbulkan guncangan. Tidak masalah. Karena dalam melakukan pemberantasan tindakan korupsi pasti hentakan diperlukan," jelas Yenti Garnasih.
Mantan anggota Panitia Seleksi pimpinan KPK tersebut meyakini bahwa pilihan 9 srikandi pansel KPK tidak mengecewakannya. Dia juga mengimbau kepada Ketua KPK untuk tetap maju memberantas korupsi. Sekalipun, berbagai macam intimidasi dan intervensi menyambangi pribadi pimpinan KPK saat ini.
"Saya yakin pilihan kami tidak salah. Maju terus mengungkap kasus asal positif dia melakukan korupsi, ya tangkap. Ini merupakan ajang KPK membuktikan diri bahwa KPK bukan mengejar korupsi kecil saja, seperti yang dulu ditertawakan oleh DPR. Kini, buktikan bahwa perkara kakap akan dituntaskan dari tugas pemimpin sebelumnya," tutup Yenthi Garnasih.
Persidangan perdana untuk kasus Kasus korupsi e-KTP digelar Kamis (9/3/2017) pukul 10.00 WIB di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Pekan lalu, berkas perkara kasus dugaan korupsi pengadaan proyek setebal 24 ribu lembar dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sidang kedua tersangka Irman dan Sugiharto dijadwalkan di ruang terpisah di Pengadilan Tipikor, Jakarta. Majelis hakim yang menangani kasus rasuah ini adalah John Halasan Butar-Butar dan hakim anggota Franki Tambuwulun, Emilia, Anshori, dan Anwar.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Maya Saputri