tirto.id - Setelah menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam sebagai tersangka, KPK saat ini masih memeriksa sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Sultra dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian izin eksplorasi di Kabupaten Buton dan Bombana periode 2009–2014.
"Hari ini penyidik melakukan pemeriksaan saksi-saksi dari pemerintahan Sultra di Polda Sulawesi Tenggara, Kendari," kata pelaksana tugas (Plt) Kabiro Humas KPK Yuyuk Andriati di Jakarta, Rabu (24/5/2016).
Dalam pemeriksaan tersebut, saksi yang didatangkan antara lain Staf Ahli Bidang Pembangunan Sekretariat Daerah Sultra Amal Jaya dan Kahar Haris, Kepala Bidang Tata Lingkungan dan Amdal Sultra Aminoto Kamaludin, Kepala Dinas ESDM Sultra Burhanuddin, Sekretaris Daerah kabupaten Konawe Kepulauan Cecep Trisnjayadi, dosen Universitas Haluoleo La Ode Ngkoimani, PNS Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kolaka Utara Masmur, PNS Setda Sultra Lukman Abunawas, dan sejumlah saksi lainnya.
Sebelumnya, KPK juga sudah melakukan penggeledahan di kantor Gubernur Sultra di Kendari, kantor Biro Hukum pemprov Sultra di Kendari, kantor Dinas ESDM pemprov Sultra di Kendari, rumah di kelurahan Anaiwoi kecamatan Kadia di Kendari, rumah di kelurahan Korumba kecamatan Mandonga di Kendari, rumah jalan Taman Suropati Kendari dan rumah di jalan Made Sabara, kantor di kawasan Pluit, rumah di kawasan Bambu Apus Jakarta Timur dan rumah di Patra Kuningan pada Selasa (23/8/2016).
"Hasil penggeledahan adalah dokumen kaitan dengan perkara yaitu penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi dan IUP peningkatan ekplorasi menjadi produksi PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) tahun 2009-2010 dan dokumen lain yang ada hubungan dengan perkara," tambah Yuyuk.
Sejak 22 Agustus 2016 lalu, KPK juga sudah mencegah Nur Alam bepergian ke luar negeri.
"Untuk tersangka sudah dikeluarkan surat permintaan cegah bepergian keluar negeri sejak 22 Agustus 2016," ungkap Yuyuk.
Saat ini KPK masih menelusuri pihak-pihak lain yang ikut menikmati aliran dana yang diperoleh Nur Alam.
"Penyidik sudah mengantongi pihak-pihak yang terkait dengan aliran dana, tentu masih perlu pendalaman lebih lanjut," tambah Yuyuk.
Nur Alam diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana Sulawesi Tenggara.
Ia disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari