Menuju konten utama

KPK Periksa Kepala BPPN Edwin Gerungan Soal Korupsi BLBI

KPK memeriksa Kepala BPPN 2000-2001 Edwin Gerungan dalam penyidikan tindak pidana korupsi dana BLBI.

KPK Periksa Kepala BPPN Edwin Gerungan Soal Korupsi BLBI
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, memberikan keterangan kepada wartawan mengenai perkembangan kasus suap PT Rolls Royce kepada Mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar di gedung KPK, Jakarta, Senin (23/1). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Kepala BPPN 2000-2001 Edwin Gerungan dalam penyidikan tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Selasa (13/6/2017).

Selain memeriksa Edwin Gerungan, KPK dijadwalkan memeriksa Direktur Utama PT Datindo Entry Com Ester Agung Setiawati juga untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

Edwin Gerungan sudah tiba di gedung KPK, Jakarta pada pukul 09.45 WIB untuk menjalani pemeriksaan.

Dalam penyidikan kasus itu, KPK juga tengah mendalami secara serius terkait aset-aset yang sudah dijual dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Kami secara serius masuk lebih jauh dalam kasus BLBI ini untuk melihat terkait aset-aset yang sudah dijual dan tentu kami akan nilai aset tersebut untuk membuktikan masih ada kewajiban sekitar Rp3,7 triliun namun Surat Keterangan Lunas (SKL) sudah diberikan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Senin (12/6/2017).

Sebelumnya, KPK pada Senin (12/6/2017) memeriksa Menteri Keuangan 1998-1999 dan mantan Kepala BPPN pertama Bambang Subianto sebagai saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

"Saksi ini periksa dalam kapasitas sebagai mantan Kepala BPPN yang pertama, jadi beliau menjadi Kepala BPPN pertama Januari-Maret 1998. Kami mendalami tentang bagaimana proses pembahasan dan proses yang terjadi sebelum kebijakan "Master of Settlement and Acquisition Agreement" (MSAA) diputuskan terkait dengan BLBI ini," kata Febri.

Selain memeriksa Bambang, KPK memeriksa mantan pegawai BPPN Hadi Avilla Tamzil sebagai saksi juga untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.

"Untuk saksi Hadi, kami dalami terkat penjualan aset PT Tunas Sepadan Investama (TSI) pada saat itu terkait dengan kewajiban obligor BLBI yang sedang kami proses kasusnya saat ini," ucap Febri, seperti diberitakan Antara.

KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.

SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjaradjakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.

Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri