Menuju konten utama

KPK Periksa Fredrich Yunadi sebagai Tersangka pada Jumat Pekan Ini

KPK mengumuman secara resmi penetapan Fredrich Yunadi dan dokter RS Medika Permata Hijau Jakarta Barat Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka pada Rabu (10/1/2018).

KPK Periksa Fredrich Yunadi sebagai Tersangka pada Jumat Pekan Ini
Fredrich Yunadi berbicara kepada wartawan usai pemeriksaan Setya Novanto di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Selasa (21/11/2017). tirto.id/Andrian Pratama Taher.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menjadwalkan pemeriksaan perdana untuk advokat Fredrich Yunadi sebagai tersangka dugaan mencegah, merintangi atau menggagalkan penyidikan kasus korupsi e-KTP yang terkait dengan Setya Novanto. Fredrich semula menjadi pengacara Novanto tapi belakangan mundur.

"Tadi saya cek juga, direncanakan pemeriksaan dilakukan pada hari Jumat (12/1/2018). Kami harap yang bersangkutan dapat memenuhi proses hukum," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, pada Rabu (10/1/2018) seperti dikutip Antara.

Febri berharap Fredrich Yunadi dapat memenuhi panggilan KPK. "Jika memang ada tanggapan dan bantahan nanti bisa disampaikan saat dirinya hadir memenuhi panggilan KPK tersebut," ujarnya.

KPK sudah mengumuman secara resmi penetapan Fredrich Yunadi dan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Jakarta Barat Bimanesh Sutarjo sebagai tersangka dalam kasus tersebut pada Rabu (10/1/2018). Di kasus ini, KPK telah memeriksa 35 saksi dan ahli pada proses penyelidikan sebelum penetapan 2 tersangka itu.

"Fredrich dan Bimanesh diduga bekerja sama untuk memalsukan tersangka Setya Novanto ke rumah sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan.

Basaria menjelaskan kronologi keterlibatan Fredrich dan Bimanesh di kasus ini yang bermula pada 15 November 2017. Saat itu, Setya Novanto diagendakan akan diperiksa sebagai tersangka korupsi e-KTP, tapi dia tidak datang dan mengirimkan surat pada KPK.

Lalu, pada 15 November 2017 sekitar pukul 21.40 WIB, tim KPK mendatangi rumah Novanto di Jalan Wijaya XIII Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta dengan membawa surat perintah penangkapan dan penggeledahan. "Setya Novanto tidak berada di tempat hingga proses pencarian di rumah itu dilakukan sampai pukul 02.50 WIB. Lalu, KPK mengimbau agar Setya Novanto menyerahkan diri," ucap Basaria.

Selanjutnya, pada 16 November 2017, KPK menerbitkan Daftar Pencarian Orang (DPO) untuk Setya Novanto dan menyurati Kapolri dengan tembusan ke NCB Interpol. "Malamnya, ada informasi mobil yang dinaiki Setya Novanto mengalami kecelakaan (menabrak tiang listrik) dan dibawa ke RS Medika Permata Hijau," kata Basaria.

Menurut Basaria, saat itu, Setya Novanto tidak dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD), melainkan langsung ke ruang rawat inap VIP. “Sebelum Setya Novanto dirawat di RS, diduga Fredrich Yunadi telah datang terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan pihak RS," kata Basaria.

Menurut dia, salah satu dokter di RS itu mendapatkan telepon dari seorang yang diduga sebagai pengacara Setya Novanto bahwa kliennya akan dirawat di sana sekitar pukul 21.00 WIB.

"Meminta kamar perawatan VIP yang rencana akan di-"booking" satu lantai, padahal saat itu belum diketahui Setya Novanto akan dirawat karena sakit apa," kata Basaria.

Selain itu, menurut Basaria, penyidik KPK juga mendapatkan kendala saat mengecek informasi peristiwa kecelakaan Novanto yang berlanjut pada perawatan medis di RS Medika Permata Hijau.

Atas perbuatannya tersebut, Fredrich dan Bimanesh disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Baca juga artikel terkait KORUPSI E-KTP

tirto.id - Hukum
Sumber: antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom