tirto.id - Kepala Biro Hukum KPK, Setiadi membeberkan pendapat Komisi Antirasuah yang mementahkan argumentasi Gugatan Prapradilan Miryam S. haryani terkait penetapan politikus Hanura itu sebagai tersangka pemberian kesaksian palsu di sidang korupsi e-KTP.
Dalam sidang kedua Gugatan Prapradilan Miryam, Setiadi menegaskan argumentasi gugatan Miryam, yang menganggap KPK tidak berhak menangani kasus keterangan palsu, lemah dan salah.
"Bahwa dalam UU tindak pidana korupsi (Tipikor) termasuk Bab III, pasal 22 tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi merupakan kewenangan KPK," kata Setiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (16/05/2017).
Di hadapan hakim Asiadi Sembiring, yang menangani perkara ini, Setiadi menyatakan, berdasar Pasal 6 huruf c UU KPK, Komisi juga memiliki tugas dan kewenangan melalukan penyelidikan dan penuntutan terhadap semua tindak pidana yang terkait dengan korupsi.
"Maka termohon (KPK) memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan bahkan penuntutan terhadap Pasal 22 UU Tipikor," kata Setiadi.
Setiadi menegaskan KPK sudah sering menggunakan Pasal 22 UU Tipikor, termasuk pada dugaan pemberian kesaksian palsu. Misalnya, di perkara Muchtar Ependy pada 10 Juni 2015, Romi Herton pada 17 Juni 2015, serta Budi Anton Al-Jufri dan Said Faisal Muchlis di tahun yang sama.
Selanjutnya, Setiadi juga menegaskan, dalam penanganan perkara Miryam, Komisi tidak menggunakan KUHAP, tapi UU Tipikor.
"Dalam tindak pidana umum, ada dugaan pemberian keterangan palsu menggunakan Pasal 242 KUHP yang prosedurnya menggunakan Pasal 174 KUHAP. Sedangkan dalam kasus pidana korupsi, kasus dugaan pemberian keterangan palsu diatur dalam Pasal 22 jo Pasal 35 UU Tipikor," kata Setiadi.
Dia menjelaskan Pasal 22 UU Tipikor memiliki cakupan lebih luas dan ancaman hukumnya lebih berat daripada Pasal 242 KUHP. Penetapan Miryam sebagai tersangka di kasus ini juga sudah disertai bukti kuat, termasuk sikap Miryam yang tak kooperatif dan memberikan keterangan berbelit di persidangan.
"Kami sudah cukup bukti, sehingga dalil pemohon yang menyatakan bahwa penetapan tersangka atas nama pemohon (Miryam) diterbitkan tanpa adanya dua alat bukti adalah tidak benar," kata Setiadi.
Adapun bukti-bukti yang dimaksud di antaranya BAP saksi kasus e-KTP atas nama Miryam, tulisan tangan Miryam pada saat dimintai keterangan dalam penyidikan, konsep revisi BAP Miryam, keterangan saksi Elza Syarief dan Yosep Sumartono, dan rekaman pemeriksaan Miryam.
Selain itu, bukti berupa rekaman video persidangan perkara korupsi e-KTP dengan terdakwa dua mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto di PN Jakarta Pusat.
Penjelasan Setiadi ini membantah argumen tim kuasa hukum Miryam di perkara ini yang menuding KPK tidak bisa menjerat kliennya sebagai tersangka kesaksian palsu dengan Pasal 22 jo Pasal 35 UU Tipikor.
Salah satu penasihat hukum Miryam, Aga Khan sudah menjelaskan argumentasinya pada sidang perdana perkara ini. Menurut dia, KPK tidak berwenang menangani kasus keterangan palsu Miryam sebab perkara ini termasuk ranah pidana umum. Sedangkan KPK, menurut Aga, hanya berwenang menangani korupsi.
Selain itu, Aga menilai alat bukti yang dimiliki oleh KPK untuk menjerat Miryam sebagai tersangka pemberian kesaksian palsu masih prematur.
Dalam gugatan itu, Aga juga menuntut agar KPK agar tidak melanjutkan proses pemeriksaan terhadap kliennya hingga adanya putusan dari sidang praperadilan.
Seusai persidangan kedua perkara ini, Aga menyatakan tidak gusar dengan bantahan KPK. Dia optimistis kliennya akan memenangkan gugatan ini.
"Walaupun dibantah, tetap saja KPK sebagai lembaga anti rasuah. Miryam perkara pidana murni. Itu dulu. Sementara alat buktinya minim. BAP sudah dicabut. Bagaimana bisa klien kami dinyatakan bersalah dan berkata bohong," kata Aga Khan.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Addi M Idhom