Menuju konten utama

KPK Kecewa Jaksa BLBI Penerima Suap Bebas Sebelum Waktunya

KPK kecewa dengan keputusan Kemenkumham yang memberikan status bebas bersyarat bagi mantan jaksa penerima suap terkait kasus BLBI, Urip Tri Gunawan. Urip divonis 20 tahun bui tapi sudah bebas saat baru menjalani 9 tahun hukuman.

KPK Kecewa Jaksa BLBI Penerima Suap Bebas Sebelum Waktunya
(Ilustrasi) Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan (kanan) dan Juru bicara KPK Febri Diansyah (kiri) memberikan keterangan tentang penetapan tersangka kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (25/4/2017). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah menyatakan Komisi Antirasuah kecewa dengan keputusan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang memberikan status bebas bersyarat untuk mantan jaksa kasus BLBI dan terpidana 20 tahun penjara, Urip Tri Gunawan.

Pada 2008, Urip menerima vonis 20 tahun penjara karena terbukti menerima suap 660.000 dolar AS dari Artalyta Suryani terkait penanganan perkara BLBI. Suap itu bertujuan agar Urip melindungi pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dari penyelidikan kasus BLBI di Kejaksaan Agung.

Tapi, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham malah memberikan pembebasan bersyarat kepada dia pada Jumat, 12 Mei 2017 lalu. Padahal Urip baru menjalani hukuman 9 tahun penjara.

"Bagi KPK, institusi yang menangani kasus ini dengan sangat sulit pada saat melakukan operasi tangkap tangan sampai dengan proses persidangan, tentu saja kecewa jika kemudian vonis tidak bisa dijalankan secara maksimal,” kata Febri di gedung KPK, Jakarta, pada Senin (5/15/2017) seperti dilansir Antara.

Febri melanjutkan, “Benar ada ketentuan tentang remisi, benar ada ketentuan tentang pembebasan bersyarat, namun itu perlu dilakukan dengan sangat hati-hati dan memperhatikan rasa keadilan publik."

Karena itu, Febri menyatakan KPK mendesak Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menjelaskan alasan pemberian status bebas bersyarat terhadap Urip.

"Yang kami ketahui vonis terhadap terpidana Urip Tri Gunawan adalah 20 tahun dijatuhkan pada sekitar 2008, pada saat itu sampai kemudian di periode berikutnya berkekuatan hukum tetap. Jadi kalaupun sampai dengan saat ini telah dipotong masa tahanan, tentu belum semua masa hukuman tersebut dijalani," kata dia.

Febri mengatakan seharusnya pembebasan bersyarat itu perlu dilakukan secara sangat hati-hati dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Kementerian Hukum dan HAM perlu menjelaskan sedetil-detilnya kepada publik. Ini bukan hanya kepentingan KPK yang menangani kasus ini tetapi kepentingan publik yang jauh lebih besar yang dirugikan akibat tindak pidana korupsi," kata Febri.

Menurut Febri, KPK mempertanyakan pembebasan bersyarat itu karena Urip baru menjalani masa hukuman penjara sembilan tahun dari yang seharusnya 20 tahun bui.

"Bukankah di Undang-Undang Pemasyarakatan misalnya diatur telah menjalani minimal 2/3 dari masa pidananya, nah apakah masa pidana yang dihitung itu 20 tahun atau setelah dipotong remisi atau potongan-potongan yang lain, tafsir ini perlu lebih dijelaskan karena kita bicara tentang akibatnya terhadap terpidana-terpidana kasus korupsi," kata Febri.

Dia mengingatkan publik bisa menilai pemerintah tidak konsisten karena sudah menyatakan berkomitmen memberantas korupsi tapi sekarang malah meringankan hukuman bagi koruptor.

Pemberian status bersyarat untuk Urip ini janggal sebab muncul di tengah KPK sedang menangani penyidikan kasus korupsi BLBI, yakni terkait dengan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk Sjamsul Nursalim, dengan tersangka mantan Ketua Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.

Syafruddin baru-baru ini mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka. Akan tetapi, dia langsung mencabut gugatan pra peradilan itu di sidang perdana pada Senin hari ini.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Addi M Idhom

tirto.id - Hukum
Reporter: antara
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom