tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyesalkan kebijakan Partai Hanura mengangkat Bambang Wiratmadji Soeharto sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina. Pasalnya, Bambang sendiri masih berstatus terdakwa dalam perkara suap Jaksa untuk legalitas sertifikat tanah di Nusa Tenggara Barat (NTB).
"KPK sudah mendengar kabar tersebut. Kalau dari kami pasti menyayangkan dan menyesalkan pengangkatan tersebut. Apalagi status dia masih menjadi terdakwa," tutur juru Bicara KPK Febri Diansyah di kantornya, Kuningan Madya, Jakarta Selatan, Senin, (27/02/2017).
Febri menambahkan, semestinya Hanura harus menumbuhkan kepercayaan publik terhadap partai politik. Salah satu cara mudah untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat itu dengan memilih kepengurusan seseorang yang memiliki integritas, termasuk mengutamakan rekam jejak dia sebagai pejabat di partai politik.
Apalagi, kata Febri, partai sekaliber Hanura yang terbilang sudah cukup besar di tanah air sebaiknya memberi keteladanan. Keteladanan yang dimaksud Febri adalah dengan memecat kader bermasalah kasus hukum, terutama korupsi dan suap. Namun, dia menilai sebelum melaksanakan pemecatan, Parpol sebaiknya mengutamakan sektor hulunya dengan memperketat rekrutmen keanggotaan.
"Jadi yang dipegang agar publik percaya parpol itu kredibel dan komitmen anti korupsi atau bukan itu ada di hulunya yaitu proses rekrutmen dengan rekam jejaknya. Dan di hilirnya, bila di dalam dia bermasalah korupsi, langsung di pecat saja. Tentu saja dia mempengaruhi nama baik parpol," jelas Febri.
Kasus tersebut juga mengundang perhatian dari pengamat Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar. Dia menyarankan kepada partai politik seharusnya meninggalkan cara-cara lama untuk mendapatkan nama baik dan integritasnya di mata publik.
"Mengangkat seseorang yang pernah bersinggungan dengan kasus hukum itu adalah pola lama. Seharusnya pola lama itu yang harusnya ditinggalkan," kata Direktur Pukat UGM, Zainal Arifin Mochtar saat dihubungi Tirto.id, Senin, (27/02).
Zainal menjelaskan pola lama itu juga sudah ada di beberapa partai yang sudah lama menguasai catur perpolitikan tanah air. Sayangnya, Zainal enggan menyebutkan secara gamblang partai-partai yang melakukan rekrutmen kadernya, tanpa memperdulikan rekam jejaknya di KPK maupun di Kepolisian.
"Saya enggak mau sebutkan partainya tapi 5 partai besar rata-rata gunakan pola seperti itu. Ada yang ketua-ketuanya pernah di penjara. Ada yang kuat muatan nepotismenya. Mereka salah enggak apa-apa yang penting mau di atur partai. Makanya kalau mau melakukan reformasi birokrasi, pemerintah harus mengendalikan di hulunya dulu itu partai politik," kata Zainal Arifin Mochtar.
Di sisi lain, KPK berjanji tidak akan tinggal diam. Oleh sebab itu, KPK akan membawa kasus Bambang ini ke pengadilan. Salah satu upaya yang akan dilakukan adalah melegalkan vonis pencabutan hak politik dalam hal tidak diperkenankannya untuk dipilih. Nantinya, Bambang cukup hanya diperbolehkan memilih hak untuk berpolitik saja.
KPK pun sangat positif akan membawa perkara tersebut kembali di persidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, bila kondisi Bambang telah membaik.
"Tentu kami pastikan perkara pemalsuan sertifikat tanah belum selesai. Kami akan mengawal kasus ini sampai keputusan ini inkracht," jelas Febri Diansyah.
Mengenai kasus yang menjerat Bambang terjadi dua tahun lalu, tepatnya Jumat, 12 September 2014 lalu. Bambang ditangkap sebagai tersangka kasus dugaan suap kepada Jaksa di Pengadilan Negeri (PN) Praya, NTB. Kasus Bambang sendiri telah diusut sejak 2013 lalu. Kala itu, Bambang sebagai Direktur PT Pantai AAN Lusita Anie Razak dan anak buahnya terbukti menyuap Mantan Kepala Kejaksaan Negeri Paraya, M. Subri.
Pasca insiden itu Bambang dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1).
Sementara koleganya sang penyelenggara negara atau penerima suap, mantan Kepala Kejaksaan Negeri Praya M. Subri divonis bersalah 10 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta subsider 5 bulan penjara pada sidang 25 Juli 2014.
Demi memudahkan upaya KPK untuk mengawal kasus ini, kasus Bambang pun dilimpahkan di pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan yang waktu itu menumpang di Gedung Ombudsman RI tahun 2015. Sayangnya kasus tahun 2014 ini sempat mangkrak lantaran Bambang hanya terbaring di ranjang rumah sakit saat menghadapi persidangannya perdananya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Keputusan menghentikan sidang yang sekiranya masih beragendakan pembacaan dakwaan ini di putuskan oleh Ketua Hakim Majelis John Halasan Butar-Butar. Hingga kini, kasus Bambang masih berstatus Niet Ontvankelijke Verklaard atau status kasus belum tuntas. Berkas pun diberikan kepada penuntut umum KPK dan diperkenankan bisa disidangkan bila Bambang telah pulih kembali.
Namun, semua mata terbelalak kaget, saat acara pengangkatan struktur organisasi Partai Hanura di Sentul International Convention Center, Bogor, Rabu pekan lalu. Terlihat sekali kondisi Bambang cukup bugar dan tidak ada selang oksigen, maupun infus yang terpasang di tubuhnya. Melihat kondisi Bambang membaik tentu saja KPK akan memperkarakan kembali kasus dua tahun lalu yang belum tuntas.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Agung DH