tirto.id - Tim Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bukti tambahan yang diajukan Setya Novanto berupa Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI diperoleh di luar prosedur.
"Itu diperoleh di luar prosedur. Yang diperoleh ini kan penyampaian BPK kepada Pansus," kata Indah Oktianti, anggota tim Biro Hukum KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (25/9/2017).
LHP BPK RI yang diajukan Setya Novanto sebagai bukti dalam sidang praperadilan tersebut merupakan laporan kinerja KPK 2016 yang telah disampaikan pada saat sidang Pansus Hak Angket KPK di DPR RI.
Oleh karena itu, Tim Biro Hukum KPK keberatan atas bukti tambahan yang diserahkan kuasa hukum Setya Novanto dalam lanjutan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Indah menyatakan, seharusnya kuasa hukum Setya Novanto meminta atas laporan itu langsung ke BPK bukan kepada DPR RI.
"Itu di luar prosedur, apalagi DPR kan bukan lembaga yang mengeluarkan laporan BPK. Mohon dicatat dan ditolak," kata Indah, seperti dikutip Antara.
Kepala Biro Hukum KPK Setiadi juga menegaskan bahwa bukti tambahan yang disampaikan pemohon itu merupakan ranah sidang Pansus Hak Angket KPK di DPR.
"Kami tidak setuju apa yang disampaikan pemohon, karena ini ranahnya sidang pansus di DPR. Mohon dicatat keberatan kami oleh panitera," ucap Setiadi.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakum Tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto hari ini, Selasa (26/9/2017) dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon, yaitu Setya Novanto.
Adapun ahli-ahli yang dihadirkan antara lain ahli hukum pidana Romli Atmasasmita, ahli hukum acara pidana Chairul Huda, dan ahli administrasi negara I Gede Pantja Astawa.
KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-E) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.
Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri.
Setya Novanto disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: KPK Persoalkan Bukti dari BPK yang Diajukan Setya Novanto
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra