tirto.id - Anggota Komisi I DPR Agun Gunandjar Sudarsa yang juga Ketua Pansus Hak Angket KPK lebih memilih agenda mengunjungi Lapas Sukamiskin dan tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK kemarin. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan ulang pemanggilan kembali Agun Gunandjar dalam penyidikan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan e-KTP.
"Tidak bisa hadir hari ini dan tentu saja kami akan jadwalkan ulang," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Kamis (6/7/2017).
Menurut Febri, surat pemanggilan terhadap Agun sudah disampaikan sejak sebelum Hari Raya Idul Fitri 1438 Hijriah sehingga seharusnya yang bersangkutan mengetahuinya.
"Surat sudah kami buat sejak sebelum Idul Fitri. Seharusnya surat itu diketahui yang bersangkutan karena tidak hadir tentu kami jadwalkan ulang akan disesuaikan oleh kebutuhan penyidikan," kata Febri.
Febri juga menyatakan bahwa alasan dari ketidakhadiran Agun dalam pemeriksaan kali ini karena yang bersangkutan ada kegiatan lain.
"Kami berharap saksi-saksi yang dipanggil mematuhi kewajiban hukum dari penyidik. Apalagi bagi para pejabat negara ada contoh yang baik yang disampaikan, kami hargai saksi-saksi yang hadir ketika dipanggil penegak hukum dalam hal ini KPK," ucap Febri.
Politisi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa, mengungkapkan alasan dirinya tidak memenuhi panggilan KPK terkait penyelidikan korupsi e-KTP karena harus memimpin Pansus Hak Angket KPK di Lapas Klas I Sukamiskin, Kota Bandung.
"Saya berkirim surat (ke KPK) tanggal 4 yang lalu, saya mohon dijadwalkan pada persidangan berikut. Saya harus memimpin ke sini (Lapas Sukamiskin)," ujar Agun usai menggelar rapat dengar pendapat dengan sejumlah narapidana di Lapas Sukamiskin, Kota Bandung, Kamis malam.
Menurut dia, kedatangannya ke Lapas Sukamiskin telah ditentukan pada rapat internal Pansus Angket KPK, sebelum dirinya dipanggil lembaga antirasuah tersebut.
"Karena ini rapat diputuskan secara internal pada tanggal 3 yang lalu. Hari ini saya tidak mungkin mengabaikan tugas kewajiban konstitusional saya yang lebih utama, lebih mendesak," katanya.
Ia berdalih, dirinya tidak mungkin lari dari pemanggilan KPK. Namun, tugasnya untuk memimpin Pansus ke Lapas Sukamiskin tidak bisa ditunda.
"Karena ini Pansus yang harus bisa dipertanggungjawabkan. Tidak mungkin kami lari," katanya, seperti dikutip Antara.
Tim Pansus yang dipimpin Agun Gunandjar Sudarsa mendatangi Lapas Sukamiskin pada pukul 10.45 WIB dan selesai sekitar pukul 19.00 WIB. Mereka keluar membawa sejumlah berkas dan disimpan dalam beberapa kantung tas.
"Pada saat itu cukup banyak informasi yang kami peroleh, mungkin berkasnya dalam bentuk buku, termasuk testimoni yang ditandatangani, keterangan mereka kita rekam," ujar Agun di Lapas Klas I Sukamiskin, Kota Bandung, Kamis malam.
Agun menuturkan, data yang diperoleh dari narapidana cukup untuk dijadikan bahan pertimbangan Pansus Angket KPK. Namun ia enggan menyebutkan, siapa saja narapidana yang memberikan keterangan.
"Kami tidak bisa menyebutkan sejumlah nama-nama itu. Keterangan yang diperoleh harus diuji dulu," ujar Agun.
Dalam dakwaan disebut Agun Gunandjar Sudarsa yang saat itu sebagai anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR menerima sejumlah 1,047 juta dolar AS terkait proyek KTP-e sebesar Rp5,95 triliun itu.
Terdakwa dalam kasus ini adalah mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto.
Irman sendiri sudah dituntut 7 tahun penjara sedangkan Sugiharto dituntut 5 tahun penjara.
KPK juga telah menetapkan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, mantan Anggota Komisi II DPR RI 2009-2014 Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani, dan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golangan Karya Markus Nari sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.
Sementara Miryam S Haryani disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sedangkan Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri