tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku kesulitan memberantas tuntas kasus korupsi yang berkaitan dengan politik dinasti. Pasalnya KPK hanya bisa menjangkau penyelenggara negara saja, sementara bagi keluarga pejabat yang ikut menikmati hasil korupsi dan suap tidak bisa diusut, seperti yang terjadi pada skandal korupsi Dinasti Ratu Atut pada 2013 lalu.
Ketua KPK, Agus Rahardjo menyampaikan, dalam politik dinasti, ada kecendrungan pengalihan aset ke keluarga yang bukan pejabat. Untuk itu, KPK berharap dapat mengusut kasus korupsi yang tak terkait dengan penyelenggara negara atau yang dikenal dengan private sector.
"Selama ini pekerjaan rumah KPK paling besar itu ada di pemberantasan korupsi di pejabat negara. Padahal kita tahu politik dinasti ada kecendrungan mengalihkan aset ke keluarga yang bukan pejabat," kata Agus Rahardjo di Banten, Senin, (27/02/2017).
Hal tersebut disampaikan Agus dalam pidatonya di acara Pelatihan Bersama Peningkatan Kapasitas Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi Wilayah Hukum Provinsi Banten, di Hotel Santika Primiere Bintaro Sektor 9, Provinsi Banten.
Ke depannya Agus berharap bahwa politik dinasti akan menjadi sejarah. Artinya tidak akan ada lagi pejabat yang masih melegalkan keluarganya untuk menampung harta korupsi, di bidang suap, gratifikasi maupun Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Kalau kami bisa membidik private sector itu. Maka nanti baik keluarga koruptor, maupun sipil lainnya bisa kami pidanakan juga. Karena berkomplot menyelundupkan harta negara," jelas Agus Rahardjo.
Agus juga beranggapan, selain model korupsi yang lazim ditemukan di lembaganya, ada model korupsi lain yang juga menimbulkan kerugian negara yang cukup besar. Dia menyebut kasus pembukuan ganda dan tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Dia menilai NPWP sangat penting untuk mengetahui harta yang dimiliki pihak swasta, maupun keluarga pejabat lainnya. Sehingga, negara bisa lebih optimal mendapatkan upeti di sektor NPWP yang sering disepelekan oleh pihak sipil dan swasta.
"Ini yang tidak pernah dipikirkan pajak di NPWP itu besar sebenarnya. Kelalaiaan pajak itu sudah banyak yang mengetahuinya, tapi KPK tidak bisa menindak karena tidak ada regulasi yang mengaturnya," jelas Agus Rahardjo.
Agus sendiri mengaku bahwa KPK sering menerima laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai transaksi mencurigakan di private sector. Sayangnya, menurut Agus, KPK tidak bisa langsung menindaklanjutinya karena tidak ditemukan pihak penyelenggara negaranya di dalamnya.
Oleh karenanya, Agus berharap kepada DPR dan pemerintah agar segera menambahkan beberapa butir peraturan yang dapat menjerat para pengusaha nakal yang tak memiliki NPWP, maupun keluarga koruptor yang ditumpangi uang haram dari korupsi.
Hal lain yang menjadi fokus bidikan KPK berikutnya adalah keberadaan pertambangan liar yang marak di Kalimantan Timur. Agus menilai selama ini pihaknya telah berupaya meretaskan kasus pertambangan ilegal di Kalimantan, sayangnya KPK tidak menemukan indikasi penyelenggara negara yang terlibat di dalamnya.
"Padahal kita enggak bisa menutup mata, kerugiaan negara besar sekali. Baik materiil dan imateriil. Lahan rusak, hewan mati, masyarakat desa ikut imbasnya. Tapi kita terbatas di aturan. Jadi kita cuma bisa mengelus dada saja," jelas Agus.
Akan tetapi, Agus menyatakan akan ada solusi yang bisa didapatkan KPK untuk menjerat pihak swasta yang melakukan pelanggaran hukum, sekalipun tak melibatkan penyelenggara negara. Solusi yang sudah diberikan oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 13 tahun 2016 tentang Tindak Pidana Korupsi. Ada dua hal yang akan kita upayakan di sektor pencegahan dan penindakan.
"Kita sudah punya solusi di Perma 13 tahun 2016. Tapi pengesahan undang-undang itu yang harusnya dilakukan biar memberikan keleluasaan kami untuk menangkap para swasta nakal ke meja hijau. Sekalipun tanpa melibatkan penyelenggara negara," tutup Agus.
Penulis: Dimeitry Marilyn
Editor: Alexander Haryanto