Menuju konten utama

KPAI: Anak di Bawah 12 Tahun Tak Bisa Disebut Pelaku Terorisme

Susanto menyebutkan, anak-anak harus diberi pendampingan agar pikiran-pikiran mereka nantinya jernih dari radikalisme.

KPAI: Anak di Bawah 12 Tahun Tak Bisa Disebut Pelaku Terorisme
(Ilustrasi) Anggota Polres Tasikmalaya Kota berjaga saat penggeledahan di rumah terduga jaringan teroris. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

tirto.id - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto menegaskan, anak-anak di bawah umur 12 tahun tidak bisa disebut sebagai pelaku terorisme.

"Anak-anak yang diajak orang tuanya dengan imaji-imaji akan keagamaan, sehingga terlibat dalam kegiatan terorisme tidak bisa disebut sebagai pelaku," kata Susanto dalam konferensi pers di Gedung Komnas HAM, Jakarta Utara, Jumat (23/11/2018).

Hal tersebut, kata Susanto, sudah tercantum dalam UU nomor 11 tahun 2012 yang mengatur tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Susanto juga menyebutkan, anak-anak tersebut harus diberi pendampingan agar pikiran-pikiran mereka jernih dari radikalisme.

"Ini harus hati-hati, agar anak ke depannya tidak lagi memiliki pikiran-pikiran radikal. Pendampingan akan sangat penting dilakukan," kata dia mengungkapkan.

Menurutnya, sekolah juga memiliki peranan penting agar anak-anak bisa terhindar dari pikiran-pikiran radikalisme sejak dini.

Konferensi pers ini merupakan bagian dari sidang HAM IV dengan tema Intoleransi, Radikalisme dan Ekstrimis dengan Kekerasan, berlangsung sejak 21-22 November 2018.

Sidang HAM ini digelar KPAI, Komnas HAM dan Komnas Perempuan untuk menanggapi diskriminasi dan radikalisme yang masih menjadi masalah serius di Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan hampir semua wilayah di Indonesia ada diskriminasi pembangunan rumah ibadah.

"Mengenai wilayah, hampir semua di wilayah Indonesia ada diskriminasi," ujarnya.

Diskriminasi tidak hanya terjadi pada agama yang diakui oleh negara, juga pada agama-agama lokal. Pembangunan rumah ibadah pada agama-agama lokal juga kerap didiskriminasi.

"Tidak hanya pada enam agama yang diresmikan oleh pemerintah, tetapi juga kepada penganut kepercayaan atau amanat-amanat lokal," ujarnya.

Menurutnya, relasi kuasa yang ada di suatu daerah kerap mengakibatkan sikap intoleran di suatu daerah.

"Ini harus ditangani secara serius dan adil oleh pemerintah," tambahnya.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Nadhen Ivan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nadhen Ivan
Penulis: Nadhen Ivan
Editor: Alexander Haryanto