tirto.id - Pasar dan jalan yang sempit berpadu dengan deretan bangunan yang ditopang tiang-tiang beton di pinggir sungai. Masuk ke dalam kota beberapa meter, terdapat permukiman, toko, hotel, dan apartemen saling berhimpitan di tebing-tebing curam.
Toko modern yang selalu ramai banyak disinggahi pedagang dari perdesaan yang membawa sayuran segar dan hasil ternak. Permukiman terhimpit dalam jarak 30 meter. Di titik lain, luasnya bisa mencapai 300 meter.
Dialiri Sungai Nanxi dan Sungai Heng yang keruh karena curah hujan yang tinggi, beberapa jembatan mampu menghubungkan dua perbukitan terjal di sebelah timur dan barat. Jalan raya di tepian sungai menjadi jalur utama transportasi menembus dinding-dinding lembah yang berliku.
Dua kota terkenalnya, Doushazhen dan Yanjingzhen terhubung dalam jarak 23 km melintasi tepi sungai, ngarai, juga terowongan yang menembus bukit-bukit.
Inilah Yanjin, sebuah kabupaten yang dicap sebagai kota metropolis tersempit di dunia.
Dikeliling Sungai, Tebing, dan Lembah
Provinsi Yunnan terletak di wilayah perbatasan barat daya China. Dari orang-orang Bo awal hingga akhir rezim Nanzhao, telah dikenal sebagai wilayah yang memiliki hubungan antaretnis yang kuat. Sejak Dinasti Qin dan Han, proses migrasi etnis dan integrasi antara China Dataran Tengah dan wilayah Yunnan terus berkembang.
Kabupaten Yanjin yang menawarkan berbagai macam keunikan yang menjadikannya tempat menarik untuk dikunjungi, terletak di provinsi ini.
Menurut Gregorius Jasson, pengamat isu arsitektur dan sosial perkotaan, sekalipun Yanjin hanya kota kecil yang berfungsi sebagai transit-hub antar kota-kota distrik sekitarnya, secara fisik infrastruktur kota ini tergolong lengkap dan dibangun dengan skema yang cukup rapi.
“Ini juga bisa jadi salah satu testament dari komitmen pemerintah pusat China untuk mengupayakan pembangunan merata sampai ke daerah pelosok. Terutama, ini mungkin juga masih ada kaitannya dengan komitmen nasional China menghapus total angka kemiskinan warganya di tahun 2020,” ujarnya lewat telewicara.
Kondisi topografi di Yanjin sangat beragam, terdiri dari perbukitan dan pergunungan dengan puncak-puncak yang curam dan penuh dengan hutan lebat. Wilayahnya berdekatan dengan perbatasan Laos dan Vietnam di sebelah selatan. Kota terdekat di Vietnam dari Yanjin adalah Lao Cai, yang terletak sekitar 160 kilometer sebelah selatan.
Beberapa gunung di Yanjin yang cukup terkenal ialah Gunung Wumeng dan Gunung Nannuo. Selain itu, terdapat juga lembah dan dataran yang cocok untuk pertanian dan peternakan yang dikembangkan penduduk lokal, seperti Lembah Nanxi.
Karena letaknya yang berada di daerah pergunungan, cuaca di Yanjin cenderung sejuk sepanjang tahun, dengan suhu rata-rata sekitar 15-20 derajat Celsius. Namun, selama musim panas, sebagaimana dilaporkan Badan Meteorologi China pada Juli tahun lalu, suhu dapat naik hingga 44 derajat Celsius atau lebih.
Musim hujan berlangsung dari bulan Mei hingga Oktober. Sebaliknya, musim kemarau berlangsung dari bulan November hingga April, dengan curah hujan yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Selain Kota Yanjing dan Kota Tua Dousha yang terkenal, kabupaten ini juga memiliki berbagai lanskap budaya yang memikat. Prasasti Tebing Yuanzi, Paviliun Guanyin, Peti Mati Bo, Jalan Kuno Wuchi antara Yunnan dan Sichuan, dan Celah Doushaguan merupakan beberapa contoh dari warisan budaya yang ada di Yanjin.
Prasasti Tebing Yuanzi menjadi salah satu pilihan pelancong yang ingin mengetahui sejarah orang-orang Yunnan. Ukiran-ukiran di tebing pada prasasti ini merupakan simbol keterikatan antara orang Yunnan di bawah rezim Nanzhao dan Dinasti Tang yang berkuasa dari tahun 608 sampai dengan 907 M.
Lanskap lainnya ialah Paviliun Guanyin, landmark terkemuka yang ramai dikunjungi peziarah. Kuil kuno ini terletak di Gua Qinglian yang curam dan mendapatkan namanya dari bodhisattva Buddha, Guanyin.
Pengunjung Paviliun Guanyin dapat menjelajahi situs bersejarah dan belajar banyak dari relief-relief maupun arsitektur bangunan yang telah menjadi tempat ibadah selama lebih dari seribu tahun. Selain makna religius dan sejarahnya, kuil ini juga menjadi daya tarik populer bagi penggemar alam luar yang menyukai hiking dan menjelajahi keindahan alam pergunungan.
Di masa lalu, Yanjin menjadi wilayah prefektur politik Wumeng dan saat Republik China berkuasa menjadi milik kabupaten Daguan sebelum akhirnya dibagi menjadi kabupaten Yanjin pada tahun 1917.
Karena letaknya yang strategis di sepanjang Sungai Nanxi dan Sungai Heng, Yanjin menjadi wilayah penting selama beberapa dinasti, seperti Qin, Han, Tang, Song, Yuan, Ming, dan Republik China.
Sisa Orang-Orang Bo
Orang-orang Bo dikenal sebagai kelompok etnis minoritas yang mendiami daerah Provinsi Sichuan, Yunnan, dan Guizhou di Tiongkok. Selama Dinasti Ming (1368-1644 M), orang-orang Bo di daerah Sichuan dikenal sebagai "Bo Yi" atau "Ba Yi", dan diperintah oleh kaisar Ming melalui seorang pejabat yang diangkat oleh pemerintah kekaisaran.
Selama periode ini, orang-orang Bo berperan penting dalam mengendalikan lalu lintas perdagangan antara China dan wilayah tetangganya di Asia Tenggara. Mereka juga terkenal sebagai ahli dalam memproduksi garam dan bambu, serta dalam pembuatan kerajinan tangan seperti kain sutra dan peti mati kayu.
Dalam memakamkan saudara atau kerabat yang meninggal, mereka memiliki tradisi unik dengan cara menempatkan mayat ke dalam peti mati di gua dan tebing-tebing.
Prosesi pemakaman dilakukan dengan mengangkat peti mati dari rumah duka dan membawanya ke tebing dengan menggunakan tangga kayu dan tali. Setelah peti mati diangkat ke tempat yang tepat, peti mati dibiarkan menggantung di tebing dan dijaga oleh orang-orang yang bertanggung jawab atas upacara pemakaman.
Meskipun tradisi ini mungkin terlihat misterius bagi sebagian orang, bagi kelompok etnis Bo, ini adalah cara untuk menghormati dan menghargai orang yang telah meninggal, serta memastikan bahwa arwah mereka diangkat ke surga dengan damai.
Namun, hubungan antara pemerintah Ming dan orang-orang Bo tidak selalu harmonis. Pemerintah Ming memperlakukan orang-orang Bo dengan keras dan semena-mena. Selain itu, pemerintah juga sering mengirim tentara untuk menindak orang-orang Bo yang memberontak atau menolak membayar pajak.
Pada abad ke-17, Dinasti Ming membersihkan etnis ini. Jejak-jejak orang Bo kini hanya dapat dilihat dalam bentuk peti mati yang tergantung di sekitar Sichuan dan Yunnan.
Di Yunnan, khususnya di Yanjin, terdapat sembilan peti mati di dalam gua alami di tebing dekat Sungai Heng. Lokasi ini kini dijadikan destinasi wisata oleh pemerintah setempat.
Berada di Kawasan Rawan Bencana
Meskipun sempit, kota ini memiliki aktivitas dan keramaian yang cukup lama. Di jam-jam biasa dan jam sibuk, jalan protokol yang sempit kerap dilanda kemacetan.
“Sulit bagi saya membayangkan pariwisata massal di Yanjin. Karena ini jalan utama di kota tua Yanjin dan ketika turis tiba disambut dengan kemacetan yang serius,” tutur Yan, vlogger China yang mengunjungi wilayah tersebut baru-baru ini.
Meski demikian, penduduk menikmati kehidupan perkotaan di tengah keindahan alam. Menampilkan arsitektur yang menarik dan budaya lokal yang kaya, Yanjin adalah tempat di mana tradisi dan modernitas saling bertemu.
Menurut Gregorius Jasson, sekalipun tampak terlihat rapi dan maju, perlu ada upaya melalui kajian-kajian, bagaimana kota ini bisa bertahan selama beberapa tahun ke depan.
“Bertahan di sini tidak sekadar ada tempat tinggal fisik dan sarana-prasarana, tapi juga bagaimana hak-hak warga terhadap akses-akses dasar, misalnya ruang publik bersama, lapangan pekerjaan, dan sekolah, juga bisa terjamin keberlanjutannya,” tukas pengamat isu arsitektur dan sosial perkotaan tersebut.
Di sisi lain, Jasson menyoroti posisi Yanjin yang letaknya di lembah sungai yang curam dan lokasinya di wilayah barat daya China yang cukup rentan dengan gempa bumi skala besar. Ini membawa risiko yang sewaktu-waktu bisa menghantam Yanjin, sehingga program mitigasi bisa dikampanyekan sejak dini.
“Karenanya, bagaimana bisa menjaga Yanjin tetap livable bagi warganya, terutama generasi muda di sana. Berhubung juga marak tren kota-kota rural dan sub-distrik yang mulai sepi penduduk akibat urbanisasi dan, secara kontra, juga tren penurunan penduduk yang berlangsung saat ini di negara-negara Asia Timur,” pungkasnya.
Nama Yanjin dalam bahasa China berasal dari produksi garam yang melimpah di daerah tersebut. Sumur-sumur garam merupakan sumber daya penting bagi perdagangan penduduk setempat.
Oleh sebab itu mayoritas penduduk menggantungkan hidup mereka pada pertanian, peternakan, dan usaha kecil. Karena letaknya yang terpencil, sulit bagi penduduk di Yanjin untuk mendapatkan akses ke lapangan kerja yang lebih beragam dan berkembang seperti di kota-kota besar di China.
Namun, dengan kemajuan teknologi dan koneksi internet yang semakin mudah diakses, sebagian penduduk di Yanjin terlibat dalam industri digital dan e-commerce untuk menghasilkan penghasilan tambahan.
Selama berabad-abad, kota ini terus berkembang dan mengalami transformasi menjadi kota modern seperti saat ini, dengan populasi sekitar 400.000 orang. Dalam skala China, angka ini memang terbilang kecil jika dibandingkan dengan kota-kota besar yang memiliki populasi jutaan orang.
Kota Yanjin dibangun dengan mempertimbangkan kondisi geografisnya, yaitu di antara sungai dan pergunungan. Hal ini mendorong perkembangan kota secara vertikal, baik ke atas maupun ke bawah.
Beberapa bangunan yang berada dekat dengan Sungai Nanxi dan Sungai Heng sengaja dibangun di atas tiang tinggi untuk menghindari banjir yang sering melanda daerah ini. Bencana ini seperti menjadi rutinitas musiman yang harus dihadapi penduduk kota.
Kisah tentang kota tersempit di dunia ini masih membuat penasaran banyak orang yang ingin melihat tata kota, keindahan alam, dan budayanya.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi