tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap Bupati Kudus Muhammad Tamzil. Disebut "kembali" karena faktanya Tamzil pernah terjerat kasus serupa sebelum ini.
Tamzil pernah ditangkap atas perkara korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan Kabupaten Kudus tahun anggaran 2004-2005. Perkara tersebut membuat Tamzil dijatuhkan hukuman penjara satu tahun sepuluh bulan pada Februari 2015 oleh hakim Pengadilan Negeri Kudus. Tamzil juga didenda Rp100 juta.
Tak jengah, Tamzil kembali diringkus KPK Jumat (27/7/2019) lalu. Kali ini, ia diduga jual-beli jabatan, uangnya dipakai untuk membayar utang pribadi, yakni pembelian mobil.
"Kasus ini diawali dengan pembicaraan Bupati Kudus MTZ (Tamzil) yang meminta kepada staf khusus Bupati, ATO (Soeranto), untuk mencarikan uang sebesar Rp250 juta untuk kepentingan pembayaran utang pribadinya," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (27/7/2019) kemarin.
Tamzil ditangkap bersama delapan orang lain. KPK telah menetapkan Tamzil dan dua orang lain sebagai tersangka.
Basaria pun menyinggung masalah berulangnya penangkapan Tamzil.
"Ini sebenarnya sudah dibicarakan pada saat expose. Kalau sudah berulang kali, bisa ada, yah, bisa nanti tuntutannya sampai dengan hukuman mati," tegas Basaria. "Tapi keputusannya masih dalam pengembangan terus," lanjutnya.
Parahnya lagi, seperti diungkapkan Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah, KPK menduga Tamzil sudah berkali-kali mempraktikkan jual-beli jabatan.
"Kami menduga sebelumnya juga sudah ada beberapa pemberian karena ada beberapa jabatan-jabatan kosong juga," kata Febri.
Apa kata Tamzil atas semua tudingan itu? Dia enteng mengaku tak bersalah.
"Yang jelas, dana itu tidak ada di saya," dalih Tamzil--yang sudah pakai rompi koruptor--saat keluar dari gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/7/2019). "Kalau yang pertama itu kan istilahnya tidak ada kerugian negara karena saya hanya salah prosedur," tambah Tamzil.
Pencabutan Hak Politik
Kasus ini, menurut peneliti dari Indonesian Corruption Watch (ICW) Donal Fariz, menegaskan pentingnya pencabutan hak politik bagi mantan terpidana koruptor.
Pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 35 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di sana disebut hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
"Kasus ini semakin menegaskan pentingnya pembatasan atau pencabutan hak politik dalam jangka waktu tertentu bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk dapat dicalonkan kembali menjadi pejabat publik," kata Donal kepada reporter Tirto saat dihubungi Sabtu (27/7/2019) malam.
Tamzil bisa mengulangi perbuatannya karena memang tidak dicabut hak politiknya pada kasus pertama. Dia bebas bersyarat pada Desember 2015. Sebelumnya Pengadilan Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman 22 bulan penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan terhadap Tamzil.
Pada Pilkada serentak 2017, atau dua tahun saja setelah bebas, Tamzil mencalonkan diri lewat Hanura. Dia pun terpilih dan resmi jadi Bupati Kudus pada 24 September 2018.
Alasan yang sering dipakai eks koruptor dan yang menolak pembatasan hak politik biasanya adalah pelaku sudah tobat atau tak akan lagi mengulangi perbuatannya.
"Akan tetapi," kata Donal dengan berkaca pada kasus Tamzil, "kenyataannya tidak."
Faktanya pencabutan hak politik bukan hal lazim penegakan hukum di Indonesia, setidaknya demikian berdasarkan data ICW. Pada 2016 lalu, ICW menemukan dari 576 vonis kasus korupsi, hanya ada tujuh vonis tambahan pencabutan hak politik.
Vonis itu di antaranya dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Djoko Susilo, mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaaq, dan mantan anggota DPR Dewi Yasin Limpo.
Pada pemilu kemarin, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebetulnya mengantisipasi kejadian serupa dengan tidak meloloskan caleg yang pernah jadi napi korupsi. Karena tidak diloloskan, mereka tak punya kesempatan memegang kembali jabatan publik dan tak ada kemungkinan melakukan perbuatan serupa.
Sayangnya keputusan ini dianulir Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Di tengah debat ini, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang condong membela Bawaslu. Dia menilai mantan koruptor tetap memiliki hak untuk berpolitik.
"Ya itu hak, ya. Itu konstitusi memberikan hak," kata Jokowi, Selasa (29/5/2018).
(Revisi 28 Juli 2019:Ada penambahan keterangan kronologi pada paragraf 15 dan 16)
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino