tirto.id - Yasmin baru saja melangkah ke luar rumah ketika suaminya tiba dari kantor. Hari itu, ia dan teman-teman kuliahnya membuat janji buka puasa bersama di sebuah restoran. Alih-alih mempersilakan Yasmin reuni, sang suami malah menyuruhnya kembali masuk rumah. Alasannya, ia tidak senang melihat istrinya bertemu dengan mantannya yang mungkin hadir dalam acara tersebut. Yasmin tak berkutik. Ia cuma bisa menurut meski dalam hati, sesal yang besar tidak bisa dielakkan.
Setahun silam, sang suami sempat menoyornya hanya karena Yasmin tidak sengaja menumpahkan kopi ke atas berkas-berkas di ruang kerjanya. Makian dari sang suami pun sudah seperti kicauan burung pada pagi hari bagi Yasmin. Ada saat-saat Yasmin tidak ingin berhubungan intim, tetapi sang suami mendesaknya. Tak boleh membantah kata-kata kepala keluarga, begitu terus yang diucapkan sang suami.
Klimaksnya terjadi pada hari-hari menjelang Idul Fitri tahun lalu, sang suami memukuli Yasmin karena ia pulang larut malam. Fisik dan mental Yasmin babak belur. Pada hari raya, laki-laki itu berlaku 180 derajat. Ia tampak sungguh-sungguh meminta maaf dan Yasmin pun memberikannya. Beberapa hari setelahnya pun, sang suami sempat kelihatan sangat perhatian kepada anak-anak mereka. Ketika mendapati anak-anaknya senang diajak jalan-jalan atau diberi hadiah oleh sang suami, ia kembali luluh. Meskipun terus mengalami macam-macam perlakuan buruk, Yasmin masih merasa cinta kepada sang suami. Ia masih percaya bahwa sang suami orang yang baik. Yasmin juga berpikir, suaminya menjadi emosional karena sedang mengalami masalah di luar dan sudah jadi tugasnya untuk menemani suami dalam situasi apa pun.
Kasus-kasus seperti ilustrasi ini telah jamak diangkat, baik dalam perbincangan kasual maupun di berbagai media massa. Tidak hanya dalam konteks rumah tangga kekerasan dapat terjadi, tetapi juga dalam konteks pacaran atau relasi keluarga di luar suami-istri. Acap kali orang gemas dan berkomentar, “Kenapa sih, mereka tidak bercerai atau putus saja?” Sekilas, sugesti orang semacam ini sederhana untuk dilakukan, tetapi kenyataannya jauh lebih pelik dan tidak memungkinkan hal tersebut diterapkan.
Jennifer Wild, psikolog klinis dari University of Oxford, menjelaskan bahwa kasus kekerasan domestik bisa berelasi dengan stockholm syndrome. Istilah ini merujuk pada kondisi psikologis di mana korban menjadi simpati terhadap pelaku.
Awal mula dicetuskannya istilah ini adalah peristiwa penculikan pada tahun 1973 di Stockholm, Swedia. Kendati para sandera mendapat kekerasan oleh pelaku, mereka tidak menunjukkan perasaan negatif. Malahan, para sandera yang telah berhasil diselamatkan mendukung tindakan orang yang menculik mereka. Para sandera bahkan merasa cemas saat polisi datang untuk membebaskan mereka. Salah satu dari mereka juga dilaporkan membantu finansial si pelaku saat menjalani proses hukum. Singkat kata, para sandera telah memiliki ikatan emosional dengan penculiknya.
Menurut Wild, dalam konteks kekerasan domestik, seorang korban—biasanya perempuan—menunjukkan dependensi terhadap pasangannya dan memilih tetap tinggal bersamanya. “Alih-alih marah, ia malah lebih mungkin merasa empati,” ujar Wild dalam BBC. Dalam relasi orangtua-anak pun stockholm syndrome bisa terjadi. Walaupun orangtua sering kali menyiksa anaknya secara emosional atau fisik, sang anak tetap menunjukkan sikap protektif terhadap orangtuanya dan tidak mau membicarakan hal itu kepada orang lain.
Menariknya, timbulnya empati terhadap pelaku kekerasan bukan tanpa alasan. Wild mengungkapkan bahwa ini merupakan strategi menyintas. Pada keadaan penuh tekanan yang berlangsung lama, korban akan mencoba beradaptasi dan melakukan normalisasi sampai akhirnya terbuka kemungkinan munculnya rasa empati.
Dr. Joseph M. Carver, PhD, psikolog klinis dari Ohio, AS, mengatakan bahwa sebagaimana sindrom yang lain, stockholm syndrom terdiri dari rangkaian gejala. Korban akan menanggapi negatif nasihat atau saran dari orang sekitar untuk meninggalkan si pasangan. Ia akan menghindari kemungkinan apapun yang bisa memisahkan dirinya dari si pasangan. Apa pun yang dibuat si pasangan, korban akan mendukungnya. Di samping itu, pelaku pun dapat menunjukkan perilaku positif kepada korban meski pada waktu-waktu lain justru menyiksanya.
Situasi yang Melanggengkan Stockholm Syndrom
Ada empat situasi yang memicu berkembangnya stockholm syndrome menurut Carver. Pertama, adanya ancaman fisik atau psikologis terhadap korban. Bentuk ancaman ini bermacam-macam, tidak mesti langsung diutarakan kepada korban. Perilaku destruktif pelaku seperti membanting atau melempar barang untuk melampiaskan emosinya bisa dibilang sebagai ancaman pula. Permainan psikologis seperti kata-kata, “Hanya kamu yang bisa membantu saya, maka tolong ikutilah kata-kata saya” merupakan jalan lain untuk mengintimidasi korban. Pelaku tahu empati adalah kelemahan korban, maka ia berusaha mengeksploitasinya untuk kepentingan sendiri.
Kedua, kebaikan-kebaikan kecil yang ditunjukkan pelaku. Dalam ilustrasi hubungan Yasmin dan suaminya, perilaku meminta maaf dan bersikap perhatian kepada anak-anak adalah contohnya. Sementara dalam hubungan pacaran, tidak jarang pelaku menunjukkan sikap romantis, membelikan macam-macam hadiah dan mengucapkan kata-kata manis setelah sebelumnya berlaku kasar pada korban.
Simpati dan empati kian digali pelaku dengan cara menceritakan serangkai pengalaman masa lalu yang membuatnya bersikap kasar. Mendapati informasi ini, korban pun terdorong untuk membantu pelaku sembuh dari luka-luka masa lalunya.
Terkait dengan strategi menyintas, Carver menjelaskan situasi ketiga, yakni sinkronisasi perspektif korban dan pelaku. Alih-alih memelihara rasa marah atau memendam kekesalan karena dikasari, korban akan mencoba melihat dunia dari sudut pandang si pelaku. Dengan kata lain, tindakan korban ini seperti pepatah “jika tidak bisa melawan musuhmu, bergabunglah”. Ini yang menyebabkan korban enggan mendengar saran-saran orang terdekat. Semakin banyak saran yang mereka dengar, semakin besar level disonansi kognitif yang ia alami.
Situasi terakhir yang mendorong langgengnya stockholm syndrome adalah ketergantungan antarpihak. Masalah finansial, perjanjian pranikah, atau anak dan relasi keluarga besar menjadi hal-hal yang diangkat pelaku untuk menyandera korban. Tidak jarang pula pelaku mengancam akan bunuh diri bila korban nekat meninggalkannya.
Apa yang Dialami Korban Setelah ‘Disandera’?
Sejumlah dampak psikologis dan fisik ditemukan dalam kasus-kasus stockholm syndrome. Carver menemukan, korban mengalami kehilangan kepercayaan diri, penurunan self-esteem, dan merosotnya energi untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Korban akan merasa depresi ketika ia membayangkan diri meninggalkan si pasangan.
Stockholm syndrome yang dialami remaja akan memicu rasa tidak aman dan kewalahan saat perubahan terjadi dalam hidup mereka. Dalam situasi perceraian orangtua yang salah satunya melakukan kekerasan, seorang remaja bisa jadi lebih memilih atau terikat kepada si pelaku. Ia akan berpikir bahwa pelaku bisa menstabilisasi hidup mereka dibanding korban.
Dalam studi Alexander dan Klein (2009) yang dimuat di Journal of The Royal Society of Medicine, efek psikologis stockholm syndrom dibagi menjadi tiga: kognitif, emosional, dan sosial. Pada tataran kognitif, korban bisa mengalami penurunan konsentrasi dan kemampuan mengingat. Dalam benak korban juga mungkin terlintas penggalan kisah lalu yang mengganggu serta penyangkalan-penyangkalan atas peristiwa buruk yang terjadi.
Sementara pada level emosional, korban bisa mengalami shock dan kekakuan, ketakutan, serta kecemasan. Korban yang diteliti Alexander dan Klein juga terlihat putus asa, marah kepada diri sendiri, pihak otoritas, serta kepada pelaku. Selain itu, hal-hal yang mulanya terasa menyenangkan bagi korban akan terasa hambar dilakukan setelah sindrom ini terjadi. Depresi dan perasaan salah yang besar ditemukan pula dalam diri korban-korban. Studi di Sardinia menunjukkan, 50% korban stockholm syndrom mengalami gangguan stres pascatrauma, 30% mengidap depresi akut.
Pada level sosial, korban akan cenderung menarik diri dari perkumpulan dengan teman-teman atau suatu acara yang melibatkan banyak orang.
Sementara dampak fisik yang terlihat akibat stockholm syndrome menurut Alexander dan Klein adalah munculnya gejala asma dan diabetes. Korban mungkin menjalani pola hidup buruk seperti mengonsumsi makanan rendah nutrisi, malas berolahraga, dan tidur tidak teratur atau singkat.
Menghadapi orang-orang dalam kondisi stockholm syndrome membutuhkan pendekatan yang berbeda. Carver menyarankan, orang-orang sekitar korban perlu meyakinkan bahwa korban tetap diterima sekalipun mengambil pilihan yang salah. Jika korban malah dicecar dengan pertanyaan atau sugesti untuk melepaskan orang yang menyakitinya dan menjalani hidup yang lebih baik, ia akan makin merasa kecil diri. Lebih lanjut, ucapan seperti “Kamu seharusnya pergi meninggalkannya sejak awal” merupakan salah satu bentuk victim blaming yang tidak akan menyelesaikan masalah. Bisa jadi ketika mereka berbicara, mereka hanya butuh didengarkan, bukan berharap orang sekitar menjelma jadi guru atau sosok penyelamat mereka dari hubungan yang tidak sehat.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti