tirto.id - Jumlah eksekusi mati terkait narkoba sejak Presiden Filipina Rodrigo Duterte menjabat dan menyatakan perang terhadap narkoba pada Mei telah naik menjadi sekitar 1.800 orang.
Keterangan itu dikemukakan kepolisian setempat pada Senin (22/8/2016), satu hari setelah Duterte mengecam PBB atas kritikan terhadap serangkaian kematian itu.
Dalam sebuah konferensi pers pada Minggu (21/8/2016) tengah malam itu Duterte mengatakan, Filipina kemungkinan akan keluar dari PBB dan mengundang Cina serta negara lainnya untuk membentuk sebuah forum global baru, dan menuduh organisasi itu gagal melaksanakan mandatnya.
Meskipun demikian, Menteri Luar Negeri Perfecto Yasay, mengatakan pada Senin bahwa Filipina akan tetap menjadi negara anggota PBB dan menjelaskan komentar presiden itu sebagai sebuah pernyataan "kekecewaan dan frustrasi".
"Kami berkomitmen terhadap PBB meskipun adanya rasa frustrasi dan kekecewaan kami terhadap lembaga internasional," ungkap Yasay dalam sebuah konferensi pers pada Senin.
Pada minggu lalu, dua orang pakar hak asasi manusia PBB mendesak Manila untuk menghentikan eksekusi dan pembunuhan di luar hukum tesebut yang mengalami peningkatan sejak Duterte meraih posisi presiden pada Mei lalu dan memenuhi janjinya untuk memberantas narkoba.
Hingga pada Minggu, jumlah pengedar narkoba yang tewas dalam tujuh minggu pemberantasan narkoba oleh Duterte telah tercatat sekitar 900 orang oleh para pejabat Filipina.
Meskipun demikian pada Senin, Kepala Kepolisian Nasional Filipina, Ronald Dela Rosa mengatakan dalam sebuah komite Senat yang menyelidiki pembunuhan di luar hukum itu bahwa sebanyak 712 orang pengedar dan pengguna narkoba tewas dalam operasi polisi.
“Pihak kepolisian juga menyelidiki 1.067 pembunuhan terkait narkoba lainnya yang tidak dilakukan oleh kepolisian,” ujarnya.
Dela Rosa menambahkan bahwa jumlah korban terbaru itu telah disusun sejak 1 Juli.
Yasay mengatakan bahwa Duterte telah berjanji untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam pemberantasan narkoba dan telah memerintahkan kepolisian untuk menyelidiki dan mendakwa para pelanggar hukum. Dia mengkritik para pelapor PBB karena "terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa kami melanggar hak asasi rakyat".
"Itu sangatlah tidak bertanggung jawab untuk hanya bergantung kepada tuduhan yang demikian yang didasarkan oleh informasi dari sejumlah sumber tidak dikenal tanpa bukti yang pantas," dia mengatakan terkait PBB.
Senator Leila De Lima, seorang kritikus dari presiden, memulai sebuah penyelidikan kongres selama dua hari terkait pembunuhan itu pada Senin, dia menanyakan kepada para petinggi kepolisian dan pejabat tinggi anti-narkoba untuk menjelaskan kenaikan angka pembunuhan yang besar itu.
Penulis: Yuliana Ratnasari
Editor: Yuliana Ratnasari