tirto.id - Keputusan hakim Mahkamah Agung Sri Murwahyuni terhadap Baiq Nuril dinilai tidak adil. Petugas Tata Usaha SMAN 7 Mataram Nusa Tenggara Barat itu dituduh menyebar konten bermuatan asusila.
Keberatan pun bermunculan, tak terkecuali dari perempuan politikus. Salah satunya Rahayu Saraswati dari Gerindra.
“Ini kado pahit untuk perjuangan perempuan,” kata Rahayu kepada reporter Tirto, Kamis (15/11/2018). “Seorang perempuan yang berani bersuara karena mendapatkan kekerasan, itu sudah sesuatu yang luar biasa di Indonesia, karena mayoritas memilih diam,” tambah anggota keluarga Djojohadikusumo ini.
Kasus yang menjerat Nuril bermula saat dia merekam percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram yang bernama Muslim. Dalam percakapan itu, Muslim diduga melecehkan Nuril secara verbal.
Rekaman itu kemudian diberikan ke rekan Nuril, Imam Mudawin. Dari Imam rekaman dikirim ke Dinas Pendidikan dan DPRD setempat. Ujungnya Muslim dimutasi. Namun sial, Imam rupanya juga menyebar rekaman percakapan tersebut.
Muslim kemudian melaporkan Nuril, bukan Imam, ke kepolisian atas tuduhan melanggar Pasal 27 Ayat (1) UU ITE. Majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Mataram sebenarnya membebaskan Nuril dari sangkaan, tapi jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke MA atas putusan ini.
MA kemudian menganulir putusan PN Mataram dan memvonis ibu tiga anak itu dengan enam bulan kurungan penjara dan denda Rp500 juta.
Rahayu menyayangkan putusan MA yang tidak berupaya mengerti situasi korban. Dan itu, menurutnya, karena kurangnya “pendidikan berperspektif gender dan sosialisasi rutin dari negara.” Perlu ada kegiatan rutin mengenai itu.
Hetifah Sjaifudian, politikus Golkar, juga kecewa dengan keputusan ini. Maka biar tak terjadi hal serupa di kemudian hari, katanya, Undang-undang yang mengatur kekerasan seksual semakin mendesak diterbitkan.
“Ini jadi catatan kami di DPR tentang betapa pentingnya Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Salah satu langkah yang telah kami lakukan ialah mengumpulkan dana. Itu sebagai dukungan simbolik,” tuturnya.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebetulnya telah diusulkan sejak 26 Januari 2016, tapi hingga kini tak juga dirampungkan meski telah masuk Program Legislasi Nasional 2015-2019.
Hetifah juga mendorong pemerintah daerah membuat crisis centre untuk menangani pengaduan tindak kekerasan seksual. Langkah lain yang ia lakukan ialah berupaya memastikan pemerintah daerah sungguh-sungguh menciptakan ruang kondusif demi mencegah terjadinya kekerasan seksual.
“Penerangan lampu di tempat umum misalnya,” kata Hetifah.
Selain mengkritisi putusan MA, Eva Kusuma Sundari, politikus PDIP, juga menyinggung UU ITE yang jadi landasan hukum menjerat Nuril. Menurutnya pada dasarnya UU ITE memang bermasalah, dan mungkin akan terus ada Nuril-Nuril baru jika itu tidak dicabut.
“UU ITE ini kontroversial. Banyak negara yang sudah mencabut Undang-undang ini. Tetapi di sini justru difungsikan untuk menangani isu personal dan jadi jebakan untuk memfasilitasi ego pihak tertentu,” kata Eva.
“Setop menggunakan UU ITE untuk kepentingan personal,” tegasnya.
Perempuan kelahiran Nganjuk ini pesimistis akan muncul bukti baru yang bisa meringankan hukuman Nuril. Oleh karena itu, ia menganggap Jokowi “perlu memberikan grasi (hak memberikan pengurangan hukuman) kepada Nuril.”
Cara agar Jokowi mau memberikan grasi adalah, kata Eva, “lakukan protes seperti saya.”
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Rio Apinino