Menuju konten utama

Kontras Minta Polisi Usut Pelaku Penembakan Petani Dongi-Dongi

Kontras Minta Polisi Usut Pelaku Penembakan Petani Dongi-Dongi

tirto.id -

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan (KontraS) meminta polisi menindak tegas pelaku tindak kekerasan dan penembakan kepada para petani dan penambang di Desa Dongi-Dongi, Kabupaten Palu, Sulawesi Tengah. KontraS menilai, kajadian tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang harus dituntaskan.

“Kami meminta pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Sulawesi Tengah melakukan pemeriksaan terhadap seluruh jajaran personel dan mengambil tindakan bagi yang terlibat, “ kata Koordinator KontraS, Haris Azhar dalam keterangan tertulis yang diterima Antara, di Jakarta, Kamis (31/3/2016).

Menurut Haris, KontraS sendiri meyakini kemungkinan aparat keamanan sebagai pelaku di balik tindakan kekerasan yang diduga dilakukan dalam bentuk penganiayaan dan penembakan tersebut. Karena itu, pihaknya juga mendesak Polda Sulawesi Tengah untuk menarik mundur pasukan yang ada di lokasi karena telah memicu rasa takut, menyebarkan teror dan mengintimidasi warga.

Berdasarkan informasi yang diukumpulkan pihaknya di tempat kejadian perkara, lanjut Haris, penembakan diduga dilakukan oleh oknum aparat kepada petani yang berunjuk rasa ketika memperingati Hari Ketiadaan Tanah pada 28 Maret 2016. Adapun demonstrasi dilakukan karena para petani, buruh dan penambang mengalami ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya agraria.

Data Kontras setidaknya ada tujuh orang tertembak saat kejadian tersebut, selain ada pula yang mengalami penganiayaan.

Dari sudut pandang pihak Haris Azhar, kejadian berawal dari penggeledahan yang dilakukan aparat di Ranoromba terhadap para petani dan penambang dengan tujuan untuk memeriksa apakah ada senjata tajam atau tidak.

Tidak hanya itu, aparat juga melarang penambang membawa "rep" atau bongkahan batu beremas, yang rencananya akan dijual oleh penambang di Poboya untuk kebutuhan logistik demonstrasi. Ketika massa dan aparat sedang bernegosiasi, massa yang berbaris di bagian belakang mulai resah dan berteriak agar melanjutkan perjalanan dengan segera.

Aparat diduga menganggap tindakan itu merupakan usaha untuk mengacaukan keadaan sehingga menembakkan gas air mata. Massa yang panik kemudian berlari dan ketika itulah personel keamanan melakukan tembakan.

Atas dugaan tersebut, KontraS menyatakan aparat telah gagal melakukan upaya pencegahan (preventif) serta penilaian terkait perlunya tindakan (nesesitas) yang seimbang (proporsionalitas) dan masuk akal (reasonable) sehubungan dengan penggunaan kekuatan dalam peristiwa itu, seperti yang diamanatkan oleh Perkap Nomor 1 Tahun 2009.

Dugaan tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut juga bertentangan dengan Perkap Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengendalian Massa serta Perkap Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.

Karena itu, lanjut Haris, pihkanya meminta Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah memastikan agar pihak keamanan, baik polisi maupun tentara, menghentikan tindak kekerasan kepada masyarakat, menaati hukum dan menahan diri. Keselamatan masyarakat harus dinomorsatukan dan tidak dijadikan sasaran kekerasan lanjutan dari siapapun.

KontraS juga meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melindungi warga serta korban. Sementara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) didesak segera melakukan penyelidikan terkait peristiwa kekerasan dan pelanggaran karena diduga melanggar Pasal 25, 29, 33 dan 34 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM.

Komnas HAM, ujar Haris, mesti memberikan rekomendasi kepada pemerintah beserta aparat kepolisian untuk bersama-sama menciptakan situasi aman agar warga dapat menjalani kehidupan seperti biasa.

Selain itu, pihaknya juga meminta pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah melakukan evaluasi menyeluruh atas praktik dan izin perusahaan tambang di wilayahnya. Pasalnya, peristiwa ini telah menambah deret panjang kekerasan, pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam yang telah melibatkan unsur korporasi dan elit politik lokal, yang merugikan hak-hak dasar warga. (ANT)

Baca juga artikel terkait KOMNAS HAM atau tulisan lainnya

Reporter: Abdul Aziz