Menuju konten utama

Kontrak Bisnis Sumitro-Fox yang Membuka Kanal Impor Film Amerika

Pada saat yang bersamaan, kontrak tersebut membantu berjalannya pemerintahan Indonesia.

Kontrak Bisnis Sumitro-Fox yang Membuka Kanal Impor Film Amerika
Soemitro Djojohadikoesoemo. FOTO/Istimewa

tirto.id - Pada pertengahan tahun 1947, pemuda Sumitro Djojohadikusumo dikirim Perdana Menteri Sutan Sjahrir ke Amerika Serikat. Saat itu, usia Sumitro baru 30 tahun. Namun, dirinya sudah diberi tanggung jawab besar mencari kontrak bisnis di negeri Paman Sam demi mengisi kas pemerintah yang saat itu kosong melompong.

Theodore Friend dalam Indonesian Destinies (2009: 41-42) menyebut perjalanan Sumitro itu penuh tantangan. Ia pergi tanpa dibekali uang maupun visa. Sebelum berangkat, Sumitro malah sempat protes kepada Sjahrir.

Untungnya, protes Sumitro tidak berlarut-larut. Atas restu Sjahrir, Sumitro mulai menyelundupkan karet dan vanila menembus blokade ekonomi Belanda di Indonesia. Hasil penjualannya cukup untuk membiayainya terbang ke Singapura mencari visa untuk kemudian dilanjutkan perjalanannya ke New York.

Upaya Sumitro mencari mitra dagang di Amerika tidak selalu berjalan mulus. Berkali-kali dirinya dikecewakan oleh janji-janji palsu pebisnis Amerika. Menurut Friend, tidak semua orang rela membantu Indonesia yang tengah dirundung konflik dengan Kerajaan Belanda. Bahkan, seorang pengusaha sempat mengatakan itu adalah pekerjaan gila.

Lobbyist asal Washington, Joseph Borkin lantas memperkenalkan Sumitro kepada pengusaha bernama Matthew Fox. Bagi Amerika, Fox adalah pebisnis jenius yang dekat dengan keluarga Kennedy. Fox paham memainkan minat politik untuk mendatangkan keuntungan komersial.

Kontrak Sumitro-Fox

Sumitro dan Fox langsung cocok. Keduanya saling mengakui kecakapan lawannya mengelola uang sehingga muncul perasaan hormat.

"Dia orang yang sangat baik, seorang operator. Selalu berkutat dengan masalah likuiditas. Terlalu banyak memiliki proyek tetapi dia benar-benar manusia," kata Sumitro, seperti dikutip Friend.

Tanpa basa-basi, Fox setuju untuk mencarikan Sumitro dana pinjaman bank dengan menjadikan dirinya sendiri sebagai jaminan. Berkat Fox, Sumitro berhasil mendapatkan pinjaman sebesar 80 ribu dollar AS dalam waktu singkat.

Uang tersebut dipergunakan untuk segala keperluan, termasuk persiapan membentuk sebuah perusahaan bernama American-Indonesian Corporation (AIC) pada Januari 1948. Fox bahkan sampai rela melepas jabatan menterengnya demi membantu Sumitro membangun AIC. Menurut kesepakatan, Amerika memegang sebesar 51 persen saham AIC, sedangkan Indonesia 49 persen.

Sebelumnya, Sumitro dan Fox menandatangani perjanjian yang kemudian dikenal sebagai kontrak Sumitro-Fox. Sayang, dokumen setebal 37 halaman tersebut bocor ke tangan Duta Besar Belanda di Washington, Eelco van Kleffens. Tak butuh waktu lama, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Hubertus van Mook pun turut mengecam manuver Sumitro.

Belanda, disusul pemerintah Amerika, menjadi sangat murka. Menurut mereka, kontrak itu telah melanggar Piagam Perjanjian Perdagangan Internasional serta tidak sesuai dengan isi Perjanjian Renville. Seperti ditulis dalam memoar Sumitro, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000: 134), pihak Belanda serta-merta memperkuat blokade ekonomi terhadap Republik Indonesia, sekaligus mempersulit pelaksanaan kontrak Sumitro-Fox.

Pada pertengahan 1948, van Kleffens pun bertekad bertemu dengan Fox dan menyuruhnya menjauh dari urusan Indonesia. Gerlof D. Homan dalam makalah "American Bussines Interest in Indonesian Republic, 1946-1949" yang terbit di jurnal Indonesia, No. 35 (1983: 130), mendeskripsikan kekhawatiran van Kleffens yang menganggap Fox adalah sosok berbahaya bagi pemerintah Belanda. Kendati van Kleffens sangat menggebu, pertemuan keduanya tidak membuahkan hasil yang pasti.

Berkali-kali Fox maupun Sumitro dipanggil pemerintah Amerika dan dipaksa membatalkan kontrak. Namun, keduanya belum menunjukan gejala ingin mundur. Barulah pada Desember 1948, Agresi Militer Belanda II berhasil mengguncang keyakinan Fox untuk melanjutkan hubungan dagang dengan pemerintah RI.

"Fox memiliki sedikit peluang untuk mengumpulkan laba yang cukup besar. Dia juga tidak mampu menarik modal dari luar Amerika. Modal apa pun yang diinvestasikan dalam usaha itu pastilah miliknya sendiri dan mungkin tidak akan pernah dilunasi. Sulit untuk menentukan berapa banyak Fox berinvestasi dalam usaha Indonesia," tulis Homan.

Utusan Hollywood di Istana Negara

Johan Tjasmadi melalui buku 100 Tahun Sejarah Biskop Indonesia (2008: 32) mengkisahkan sebuah pertemuan ramah tamah antara Presiden Sukarno dengan utusan Motion Pictures Exporter Association (MPEA) dari Amerika. Mereka berbincang dalam sebuah pertemuan tertutup di Istana Negara sekitar tahun 1950.

Tidak jelas siapa utusan MPEA yang datang kala itu, yang jelas ia membawa misi agar pemerintah RI mau mengimpor film dari Amerika. Singkat cerita, utusan itu pulang dengan membawa kabar gembira sekaligus mencengangkan. Sukarno setuju mengimpor film Amerika sebanyak-banyaknya, tetapi juga menuntut agar perusahaan importir itu mau membagi keuntungannya menjadi pinjaman tanpa bunga pemerintah RI.

Berawal dari pertemuan itu, kanal impor film Amerika pun terbuka sangat lebar. Krishna Sen melalui buku Kuasa dalam Sinema (2009: 42) merinci angka impor film Amerika sejak tahun 1950 telah melonjak sebesar 100 persen. Setidaknya sebanyak 600 sampai 700 judul film Amerika dikirim ke Indonesia setiap tahun sampai pertengahan 1950-an.

Kepercayaan diri Sukarno dalam bernegosiasi dengan utusan MPEA bukannya tidak berdasar. Tjasmadi menyebut Bung Karno memang sudah paham arah pusaran bisnis film Amerika di luar negeri, tidak lain berkat kedekatan pemerintah dengan nama besar Matthew Fox.

Matthew Fox si Anak Ajaib

Fox bukanlah pengusaha biasa. Orang Yahudi kelahiran tahun 1911 itu sudah bekerja di bidang bisnis film sedari muda. Fox pernah menyelamatkan jaringan bioskop Skouras Theatre Corporation dari kebangkrutan. Atas jasanya, ia tidak hanya diganjar dengan gelar anak ajaib dalam dunia bisnis Amerika, tetapi juga diangkat menjadi wakil presiden Universal Pictures di usia 26 tahun.

Barangkali akibat kedekatannya dengan dunia perfilman, Gerlof D. Homan mendeskripsikan Fox sebagai sosok yang penuh imajinasi, agresif, cukup pandai, dan agak idealis-romantis. Kendati tetap bertujuan mengeruk keuntungan melalui monopoli perdagangan yang dibangun bersama Sumitro, Fox tetap bersimpati dan senantiasa membantu perjuangan Indonesia mencapai kedaulatan.

Theodore Friend sempat menuliskan hubungan dekat antara Fox dengan pemerintah RI di pengujung Perang Revolusi. Untuk mengantisipasi serangan tentara Belanda pada Desember 1948, Sukarno pernah meminta Fox untuk menyediakan pesawat besar untuk mengangkut dirinya beserta anggota kabinet ke luar negeri.

Permintaan itu disanggupi Fox yang harus merogoh kocek dalam-dalam hingga 140 ribu dolar AS untuk membeli dua pesawat bekas berjenis C-54. Selain itu, Fox juga diketahui telah banyak memberikan pinjaman kepada pemerintah untuk membiayai Perang Revolusi.

Infografik Kontrak Bisnis Sumitro

Infografik Kontrak Bisnis Sumitro

Kembali pada penelitian Homan, dengan alasan yang kurang jelas, kontrak Sumitro-Fox akhirnya dibatalkan oleh pemerintah Indonesia tak lama setelah pengakuan kedaulatan. Meski demikian, Fox nampaknya tidak kecewa karena itu memang sesuai dengan kehendaknya.

Sekembalinya ke Amerika, Fox kemudian kembali merintis peruntungan di bidang film dan televisi. Sepanjang sisa hidupnya, Fox disanjung atas jasanya membuka jalur bisnis film ke Indonesia. Bahkan, obituari Matthew Fox dalam New York Times (3/6/1964) menyebutnya sebagai "Economic Godfather of Indonesia."

Homan sendiri tidak mau mengamini julukan-julukan dari media Amerika kepada Fox. Meskipun begitu, ia tetap menyebut Fox punya jasa besar dalam perekonomian Indonesia, khususnya dalam meningkatkan relasi bisnis orang Indonesia di dunia internasional.

"Dengan cara yang lebih halus dan tidak langsung, kontrak Fox memang membantu kelangsungan Republik. Orang Indonesia menggunakan Fox untuk melanjutkan kebijakan mereka sendiri. Mereka mungkin menganggapnya sebagai orang Amerika yang naif dan romantis yang dapat digunakan untuk meningkatkan posisi internasional mereka," tulis Homan.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara